Pasca ketegangan dengan Petugas Karcis dan Pak Polisi ganteng yang naksir sama kami bertiga—aku, Pheenux, dan Citonk. Teh Mei tidak ikut hitungan karena dia tidak ikut melobi genit mana mungkin kepincut sama dia (gede rasa level sepuluh), Kentang menghadirkan cerita seram yang lain.
Aku dan Pheenux yang duduk di pinggir toilet kereta berkali-kali melirik ke arah pintu yang setengah menganga. Parno, siapa tahu hantunya nongol dari sana. Serem, kan?
“Coba waktu itu aku tidak segera menyuruh kalian masuk tenda. Mmh... entah apa yang akan terjadi pada kita.” ucap Kentang mengakhiri cerita pembukaan kismis, kisah mistis yang baru saja dia alami.
“Memangnya apa yang akan terjadi?” Teh Mei yang duduk bersebelahan dengan Citonk di ujung pintu keluar lain memeluk lengan Citonk.
“Ya, nggak apa-apa sih.” jawab Kentang sambil menghisap gabus rokok. Para lelaki juga pada kehabisan rokok tuh.
“Serius, Tang!” Ujang mendribel kepala Kentang.
“Lagian cuma aku yang lihat. Sebaiknya ceritanya sampai di situ aja.” ujar Kentang santai menghisap lagi gabus rokok.
“Aku juga lihat,” kata Dede bergidik tidak dinyana. “Wow, deh!”
“Apaan sih?” Pheenux mulai tidak sabaran.
“Kalian pernah lihat film Mahabarata?” tanya Dede.
“Pernah,” sahutku mengingat-ingat film perang kolosal India yang sangat fenomenal pada masanya.
“Nah, satu pasukan mirip di film Mahabarata itu berderap menuju ke perkemahan kita.” lanjut Dede dengan ekspresi serius tidak jenaka seperti biasa.
“Kamu jangan membayangkan pemainnya ganteng-ganteng, Sush!” Mata Kentang langsung menghakimi aku yang sudah senyum-senyum gembira.
“Kok tahu?” sahutku sambil mengelus kepala ke arah belakang.
“Tuh, lap ilernya.” tunjuk Dede kemudian.
Aku mengikuti ucapan Dede. Mengusapkan ujung kerudungku ke sudut mulut.
Kentang berganti melanjutkan cerita tidak terpengaruh gerakan lebay-ku.
“Pasukan itu orang-orangnya tinggi besar, hitam, rambutnya panjang awut-awutan, gigi taringnya mencuat keluar dan pakaiannya kayak wayang orang atau ketoprak gitu. Sangar! Ngeri deh!”
“Terus, terus....” Pheenux makin penasaran. “Mereka mau menyerang siapa?”
“Mana aku tahu, aku bukan dalangnya.” Sedang tegang-tegangnya Kentang malah sok ngelawak.
“Kentang!” teriak koor aku, Pheenux dan Citonk.
“Iya, aku nggak tahu. Kita kan udah masuk tenda. Yang jelas, derap langkah kaki mereka terdengar jelas melewati tenda. Tak lama kemudian, gemuruh peperangan terjadi di sekitar perkemahan. Denting pedang, teriak kesakitan. Hiiya....” Kentang berjoget merinding. “Ya, tepat saat kalian pada menyanyi-nyanyi riang. Untung mereka enggak terganggu oleh nyanyian sumbang kalian.”
“Perasaan kamu juga ikutan nyanyi deh.” kata Citonk.
“Hehe... iya, buat menyamarkan suara heboh pertempuran.” ringis Kentang.