The Threembak Kentir's

Xie Nur
Chapter #19

Three on Three (1)

Pendakian Gunung Merbabu

*Hari Pertama Operasional (13.00 WIB): Akan Menjadi Sebuah Penantian Panjang

“Halah, malah hujan,” gerutu Citonk yang berdiri depan rumah Pak Bau. Juru kunci jalur pendakian Selo. Gerimis turut mewarnai suasana kelabu yang telah lama melingkupi sekitar.

Saat ini kami sedang berada di basecamp pendakian gunung Merbabu di dusun Tarubatang, desa Genting, Kecamatan Selo. Istirahat dululah, setelah tadi jalan dari Polsek Selo (saat pendakian kala itu belum ada kendaraan menuju ke sana). Kalau sekarang enak, ada ojek dan carteran yang bisa membawa kita ke basecamp.

“Kalau cuma hujan sih nggak masalah. Kabutnya itu lho nggak nguatin, tebal kebangetan!” tambahku.

“Hhh….” Citonk menghela napas kemudian masuk menghampiri Pheenux yang sedang memasak makan siang kami.

“Nasinya belum matang?” tanya Citonk.

Pheenux membuka tutup nasi, lalu mencicipinya. “Sebentar lagi.”

“Anak-anak sepertinya udah pada naik,” ujarku yang ikut duduk mengerubuti kompor menanti hidangan dari Chef Pheenux.

“Heh, ketawa sendiri.” tegur Citonk padaku.

“Nggak, cuma lucu aja. Akhirnya, bisa juga kita berangkat bertiga. Nekatzzz!”

Saat mengatakan itu rasanya ada sesuatu yang menggelegak di dalam dada. Kenekatan kami, yang mungkin bila berpamitan dengan senior UPL tentu tidak boleh. Mereka pasti akan menyuruh salah satu pejantan senior menemani. Maklumlah, saat itu kami masih dianggap anak-anak yang manis. Mereka secara tidak langsung menjadi penanggungjawab kami bila suatu hal yang tidak diinginkan terjadi.

Yeah, sebenarnya tidak minggat ke gunung murni. Kami tetap membuat rencana operasinal (RO) perjalanan yang kami pajang di papan info kegiatan. Seperti yang sudah pernah aku ceritakan, setiap anggota yang berkegiatan harus meninggalkan RO sebagai panduan ke mana para anggotanya berkegiatan, melalui jalur mana bila ke gunung, kapan anggota harus kembali merapat ke sekre. Bila jauh melebihi jadwal, tim SAR akan bersiap terjun ke lapangan.

Menjadi nakal ternyata sangat menyenangkan. Tentu nakal yang masih pada jalur ya, bukan nge-drugs, minum-minuman keras atau melakukan pergaulan bebas. Terkadang nakal itu kelak menjadi suatu kenangan yang indah.

“Eh, kemarin dia ngajak kita naik mana? Wekas atau Thekelan?”

“Wekas,” jawab Citonk. “Meragukan, nggak jelas mau beneran naik apa nggak. Daripada kita telantar mending naik sendiri.”

“Dan kita ambil jalur Selo.” aku bertepuk tangan sendiri.

“Mau gimana lagi, pusdok cuma punya data pendakian lewat sini.” kata Pheenux.

“Judulnya cari yang praktis?” komentar Citonk.

“Aman juga dong!” imbuhku. “Jangan sampai edisi pendakian ke Salak terulang lagi.”

“Yap matang!” seru Pheenux. “Mari kita eksekusi!”

Kami pun mulai sibuk membagi jatah makan siang kali ini yang berupa sayur sop dan tempe goreng. Sejak pukul setengah dua belas kami sudah nongkrong di rumah Pak Basecamp. Aku lupa namanya, mari kita panggil beliau dengan sebutan Pak Bari, sesuai dengan penghuni basecamp sekarang.

Bagian depan rumah Pak Bari telah ter-setting sebagai tempat transit untuk para pengunjung puncak Merbabu. Di situ terdapat area khusus bagi pendaki yang hendak bermalam. Siap pakai pokoknya, ada tiga hamparan tikar mengisi sudut ruang sebelah kanan.

Sebelah rumah Pak Bari, berdiri mushola kecil yang dapat berfungsi sebagai tempat istirahat lain. Tentu jika rumah Pak Bari telah penuh sesak tak mampu menampung pendaki yang lapar puncak.

Rumah Pak Bari sewaktu kami mendaki belum permanen lho, depan rumahnya juga masih kebun yang luas. Sekarang rumah beliau sudah permanen, dan ladang yang menghampar menghilang berganti areal perumahan.

Lihat selengkapnya