The Threembak Kentir's

Xie Nur
Chapter #20

Three on Three (2)

Pendakian Gunung Merbabu

*Hari Pertama Operasional (14.30 – 18.00 WIB): Jomlo-Jomlo Bahagia

 “Lho, mau naik sekarang?” tanya Pak Bari setelah mengantar tamunya hingga teras depan.

Prasangka itu muncul ketika melihat kami telah merapikan beberapa isi carrier yang sebelumnya muntah keluar.

“Tergantung kabut, Pak. Kalau kabutnya hilang kami langsung berangkat.” sahut Pheenux.

“Sepertinya hari ini akan kabut terus,” katanya. “Heran, padahal kemarin cuaca cerah sekali.”

“Apa karena kami datang jadi berkabut begini, Pak.” sambarku.

Pak Bari tertawa. “Bisa jadi,” komentarnya. “Ya sudah, silakan menunggu. Kalau ada apa-apa panggil saya. Jangan sungkan.”

“Iya Pak!” koor kami kompak mirip anak SD yang habis dikasih instruksi sama pak guru.

“Sekarang mau ngapain lagi nih?” keluh Pheenux berkacak pinggang. “Bosen.”

“Sepi, sepi,” timpalku.

Kami bertiga kompak duduk bersila menopang dagu menghadap pintu ditemani segelas air teh dan sebungkus biscuit susu. Detik-detik berlalu.

Sejak pendakian perdana ke Lawu tanpa anak UPL, aku merasa mendaki gunung menjadi sebuah candu. Mungkin Pheenux dan Citonk juga merasa demikian. Buktinya bila berkumpul yang kami bicarakan tema tidak jauh dari rencana penaklukan gunung berikutnya.

Dan tahun ini mulai Mei, saat musim pendakian_dalam arti musimnya sedang bagus untuk mendaki. Kecuali pada bulan Desember sampai Februari, musim badai. Kami telah menjajah Lawu. Kemudian Agustus kami menjejak Gunung Salak meski tak sampai puncak. Sekarang ini kami telah berada di kaki Merbabu di tengah-tengah bulan September.

Itu belum termasuk berkegiatan bersama anak UPL di medan yang lain. Kadang ke goa, tebing, berarung jeram atau bermain lumpur di rawa. 

“Keluar yuk!” ajak Citonk.

Acara bengong massal berpindah ke teras depan yang berundak. Mata kami tidak lepas memelototi kabut yang terus bergantungan di udara. Rintik hujan tidak lagi turun. Dalam hati kami terus memohon agar kabut segera disingkirkan dari pandangan.

“Mulai terang!” pekikku girang.

“Tunggu sebentar, serius nggak nih.” ucap Pheenux mencegah kegembiraanku.

Selama lima belas menit menunggu dalam harap-harap cemas. Akhirnya cuaca semakin terlihat cerah. Matahari rupanya sukses menembus pertahanan kabut yang mengitari desa terakhir ini.

“Siap-siap yuk!” ajakku bersemangat kuda. Ringkikannya bahkan terdengar menggugah sadar Citonk dan Pheenux yang masih ragu-ragu dengan aura kasih, eh, aura wajah langit yang sendu malu.

“Jam berapa, Sush?” tanya Citonk.

“Jam setengah tiga,” sahutku yang memang suka memakai jam tangan. Cerminan dari diriku yang selalu disiplin tepat waktu.

Khawatir si kabut berubah pikiran, turun kembali ke bumi, kami langsung memakai sepatu gunung menggusur alas kaki favorit, skandal jepit_nama tren sandal jepit di luar peradaban alias di gunung. Menghabiskan teh yang masih tersisa, lalu memasukkan biskuit yang tinggal tiga keping dalam kantung tas carrier bagian atas berdesakan dengan alas kaki merk swallow.

Aku yang sudah siap, segera berderap menyongsong mentari sang pahlawan kami. Jeng, jeng....

Ini sungguh menggelikan. Sang kabut seakan tidak mengijinkan kami berangkat sekarang. Tawaku pun menyembur seiring tatapan heran dari Pheenux dan Citonk yang masih di dalam rumah. Mungkin mereka pikir; kesambet jin mana tuh anak?

“Pheen! Kabutnya turun lagi.” laporku masih dengan tertawa.

“Serius?”

Citonk yang tidak percaya meyakinkan diri dengan melongok keluar. “Benar. Gelap lagi.”

“Wah, kita dipermainkan!” rutuk Pheenux sambil menjatuhkan carrier-nya dengan gerakan kasar.

Tidak jadi mengangkat carrier, kami akhirnya keluar dari basecamp dengan melenggang lalu duduk di bangku yang ada di depan pintu masuk halaman. Aksi bengong terjadi lagi. Menunggu dan menunggu. Bosan oi! Tidak terasa jam sudah menunjukkan pukul tiga sore.

“Nggak ada harapan.” desis Citonk.

“Dari pada bengong, kita foto-foto aja yuk!” usul Pheenux.

“Benar, benar,” aku menjadi bersemangat. “Aku ambil dulu kameranya?”

Lihat selengkapnya