Pendakian Gunung Merbabu
*Hari Kedua Operasional H2OP (13.30 – 20.00 WIB): Mendaki Kesabaran
Semua menatap bingung ke arahku. Aku pun memandang mereka semua dengan mimik muka yang serius.
“Iya, si Radit baru tiga kali memperdengarkan suara seksinya, kan?” ujarku kemudian.
Citonk menyepak kakiku. Posisi Citonk duduk manis di jalur yang mengundak sementara aku berdiri di sisi kirinya berdampingan dengan Pheenux.
“Kamu ngitungin Radit ngomong?” Dina melongo.
“Dia ini memang sering kurang kerjaan.” ungkap Pheenux tertawa seraya menepuk lengan kiriku. “Eh, tapi bener Sush, seksi. Kok jarang ngomong sih?” lanjutnya mengarah pada Radit atau Pandu. Nama lengkapnya Raditya Pandu.
Selanjutnya Citonk memiliki nama panggilan sayang untuk Radit dengan menyebut namanya dengan Pandu.
“Yaah, karena seksi makanya dia jadi pelit ngomong. Takut ntar kalian pada klepek-klepek, hayo, gimana coba?” tantang Dina.
“Tipe cowok dingin, Pheen!” timpal Citonk teriring sesapan dari mulutnya.
“Cowok es?” Inggit membuat istilah baru. Tetapi dia merasa geli sendiri, terlihat dari gerakan bahunya. Selanjutnya dia mengerang kesakitan ketika Radit mengoles engkelnya yang keseleo.
Jadi curiga Radit sengaja menekan keras agar Inggit tidak menggodanya sembarangan. Kilatan matanya menembus hingga kaca mata yang berbingkai hitam.
“Kami juga cewek dingin lho!” ucapku. “Hei, Pheen yang kul, kenapa?” Kami berdua langsung pasang gaya sok kul.
Pheenux segera jongkok dengan satu lutut menumpu tanah. Sementara tangan kirinya menumpu ujung lutut yang mendongak ke atas dengan jemari menyentuh dagu. Matanya memandang jauh ke padang sabana.
Aku sendiri tetap berdiri. Berusaha elegan saat melepas kaca mata seperti Clark Kent yang mau berubah menjadi Superman. Bedanya, aku tidak langsung terbang. Hanya memandang ke angkasa biru yang ceria, membayangkan sedang terbang. Secara tidak sadar aku telah menyelipkan ujung gagang kaca mata di mulut.
“Kalian berdua pada ngapain?” Dina tertawa. “Kalian lagi pose jadi kulkas konslet?”
Saat aku kembali ke bumi, terlihat Inggit sedang senyum-senyum. Sedangkan Radit yang telah tunai melaksanakan tugas sebagai tukang urut Inggit, tersenyum satu milimeter sembari menunduk lalu memfokuskan arah pandangan ke perbukitan yang hijau segar.
Benar-benar pelit senyum si Radit itu. Kalau aku bawa jemuran baju, sudah pasti akan kujepit kedua sudut mulutnya agar memelar lebar. Menyungging senyum lebih cemerlang. Tidak terlihat suram.
Aku dan Pheenux saling pandang berusaha diam tidak menyahuti Dina.
“Sudah ah, nggak seru. Terlalu sepi.” kata Dina gara-gara kami yang tadinya berisik jadi begitu tenang.
“Oh ya, Inggit gimana kakinya? Masih bisa jalan tidak?” tanyaku asli sebagai wujud simpati. Tetapi berbuah tanggapan yang berbeda dari yang lain.