Pendakian Gunung Sindoro
*H-1 Sebelum Keberangkatan: Mbah Dukun, Tolong Dong!
Citonk dan beberapa anak UPL menyambut kedatanganku dari mendampingi Jungle Survival. Itu tuh, cara bertahan hidup di hutan. Praktek terkhusus bagi Anggota Muda (AM).
Selama melakukan praktek survival peserta hanya boleh membawa beras satu kali makan, garam, dan air saja. Perlengkapan pun, hanya dimodali ponco alias jas hujan model kelelawar, satu set baju ganti, golok, senter, korek api dan alat masak tanpa kompor. Pokoknya sebelum berangkat ada pemeriksaan barang bawaan. Barang yang tidak sesuai dengan daftar catatan, langsung sita.
Tetapi razia barang bawaan tidak berlaku bagi pendamping. Kami bebas membawa makanan apa pun. Tugas pendamping selain mengawasi dan menilai juga bertindak sebagai setan yang menggoda dengan aroma makanan yang kami masak. Biasanya ada menu wajib yang harus pendamping bawa, yaitu; ikan asin. Bisa bayangkan gimana aroma ikan asin yang sedang digoreng, sangat menggiurkan lidah. Pokoknya pendamping wajib membawa menu yang enak-enak. Biar AM yang sedang survival merasa lapar, terus berusaha mencari bahan makanan di hutan yang bisa dimakan. Dan kalau ingin makan masakan matang, silakan membuat perapian untuk menanakkan. Ingat dalam list barang bawaan, no kompor!
Lalu untuk tempat bermalam karena tidak boleh bawa tenda. Mereka harus membuat bivak dari dedaunan atau pepohonan yang ada di sekitar. Yah, bikin gubug-gubugan gitu. Bivak bersifat personal. Paling asyik jungle survival pas musim hujan. Jadi ketahuan siapa yang bisa membuat bivak tanpa bocor. Jadi ketahuan siapa yang bisa buat perapian pakai kayu basah. Dan jadi ketahuan siapa yang bisa bertahan hidup dalam kondisi terbatas di hutan.
Selain pembelajaran cara survive di hutan, AM juga dilatih mencari jalan pulang. Maksudnya kalau tersesat, harus bisa menelusur ke mana arah menuju peradaban. Itulah, pentingnya peta dan kompas. Dengan dua alat sakti itu diharapkan tidak ada acara tersesat. Bila tidak ada kedua alat itu, mudah saja kok mencari jalan pulang. Cari saja sungai lalu ikuti alirannya. Menurut ilmu pengetahuan alam, air selalu bergerak turun ke bawah. Kalau konsisten mengikutinya pasti akan sampai ke pemukiman penduduk. Tetapi tetap harus hati-hati. Kontur sekitar sungai seringnya terjal dan curam.
Sebelum berangkat, pendamping akan menentukan tiga buah titik di peta topografi (Peta yang gambarnya berupa lekukan garis-garis. Ada yang melengkung ke atas, ada yang melengkung ke bawah, ada yang melingkar dsb). Tugas AM adalah mencari posisi titik-titik tersebut di lapangan, dalam hal ini tentu hutan. Diharapkan, dengan terjun langsung di lapangan anggota baru UPL menjadi lebih paham perihal navigasi darat, tidak hanya sekedar teori yang tersampaikan.
Balik ke acara penyambutan. Iya, kami para anggota yang habis turun dari hutan atau berkegiatan apa pun selalu mendapat sambutan meriah. Saling jabat tangan, lalu membentuk lingkaran sebagai bentuk upacara penyambutan. Ketua umum atau pengurus yang berada di sekre wajib memberikan kata-kata sambutan yang kemudian diakhiri dengan doa penutup sebagai wujud syukur bahwa kegiatan telah berjalan lancar, anggota pulang dengan selamat.
Nah, saat itulah Citonk melihat keganjilan jalanku.
“Kualat sama Mbah Sastro,” bisikku meringis atas interogasi Citonk.
Saat sedang berjalan dengan kecepatan tinggi, turun keluar hutan. Tiba-tiba aku mendengar bunyi berdebam. Spontan aku menoleh dan mendapati Mbah Sastro jatuh terduduk dengan posisi yang manis. Kaki lurus menjuntai pasrah di tanah, sementara kedua tangan menyatu di antara dua lutut. Lalu wajahnya yang berewokan mendongak menatapku seolah memohon ampun.
Melihat itu, tawaku langsung muncrat. Maklum, penampilan Mbah Sastro campuran antara preman dan dukun santet. Kalau ada yang tahu Ki Joko Bodo, ya, sebelas dua belas mereka berdua itu.
Masih belum bisa menguasai rasa geli, aku melangkahkan kaki. Siapa sangka tanah yang aku pijak menghadirkan satu lekukan curam. Akibat tidak melihat jalur, aku terpeleset pada lekukan yang menyebabkan tumpuan kaki terjadi di samping telapak kaki. Terjatuhlah aku. Mbah Sastro gantian menertawakan diriku. Nah, saat bangun kemudian. Engkelku terasa tidak pada tempatnya.
“Untung nggak sekalian disantet, kau!” rutuk Citonk. “Lah terus, besok ke Sindoronya?” Citonk memandangku cemas.
“Tenang aku pasti ikut.” sahutku dengan pikiran harus segera menemukan tukang urut.
“Dengan kaki seperti itu?” Citonk sangsi.
“Kamu besok mau ke Sindoro, Sush?” tanya Indro teman seangkatanku yang juga ikut mendampingi Jungle Survival kali ini.
“Kalau diurut pasti sembuh. Kamu ada referensi dukun pijat urat?” tanyaku pada Indro lalu memaling ke Citonk.
Keduanya menggeleng.
Indro mendesah. “Sebaiknya jangan memaksakan diri.” lanjut Indro dengan wajah berkerut-kerut. Indro ini seperti yang pernah aku bilang, seorang nice guy. Rasa pedulinya sangat tinggi pada orang lain.