Pendakian Gunung Sindoro
*Hari Pra Operasional: Mari Kita Berseru; Kunyit, Kunyit, Kunyit!
Selanjutnya aku pun telah berkelana dalam dunia mimpi hingga teriakan Mas Kondektur membangunkanku. Yang lain juga terlihat menggeliat membuka mata.
“Kledung, Kledung!” Mas Kondektur cuap-cuap memberitahu siapa tahu ada yang mau turun di Kledung.
Sementara itu kami terpana melihat pemandangan kanan kiri sepanjang perjalanan. Dua gunung menjulang seakan dipaksa terbelah oleh jalanan beraspal tempat bus kami melaju.
“Kledung… Kledung… Kledung tra… lala… Kledung, Kledung… tralalalala….” tiba-tiba tanpa sadar aku telah menyenandungkan lagu burung kakak tua dengan bagian akhir syair lagu diganti kata Kledung bukan ‘trek dung’. Selanjutnya tanpa komando yang lain ikutan menyanyi.
Hampir lima jam kami berlari dengan menggunakan bus ekonomi. Hari telah gelap ketika Mas Kondektur mengingatkan agar kami bersiap-siap. Bus berhenti. Kami langsung ditendang keluar. Bikin berisik! Pasti demikian seruan para penumpang dan jeritan Mas Kondektur.
Begitu turun, kami langsung dikerubuti oleh beberapa cowok yang langsung menawarkan diri siap antar jaga. Mereka itu tukang ojek, Bleh!
Tanpa sungkan-sungkan kami menanyakan tentang keberadaan Kunyit, rumahnya gitu. Tak dinyana para tukang ojek yang mangkal di dekat pintu gerbang jalan masuk tersebut mengenalnya.
“Jauh Pak?” korek Pheenux.
“Jauh Mbak, harus ngojek! Udah, sepuluh ribuan sampai tujuan,” kata seorang Bapak yang berkumis lebat.
Kami bertiga saling pandang. Niat hati yang mau jalan kaki sampai tujuan mendadak goyah. Jangan-jangan kumis si bapak mengandung ajian pelet yang bisa menarik penumpang.
Kami pun berunding. Menghitung untung ruginya. Terlebih terkait masalah keuangan. Tahulah, kami mendaki selalu dengan modal limit. Mengingat hampir tiap bulan kami pergi menjenguk gunung. Otomatis, situasi keuangan masing-masing dari kami selalu terasa mencekik.
Acara tawar-menawar harga terjadi. Bahkan kami yang tetap kekeuh dengan harga penawaran yang kami ajukan, sempat memilih berjalan duluan. Agak nge-trick juga, sih, barangkali mereka, mas tukang ojek mau mengalah menurunkan harga daripada tidak mendapat penumpang sama sekali.
Pokoknya kedatangan kami ke rumah Kunyit memakai tingkat percaya diri level Himalaya. Bayangkan, malam-malam datang mau menjemput cowok. Benar-benar kegilaan yang tidak terpikirkan.
Parahnya, Kunyit sedang pergi. Katanya sedang ke rumah saudara. Kami langsung kecewa berat. Sudah jauh-jauh datang buat ngontrak dia jadi guide sekaligus porter, eh, malah kabur. Jangan-jangan dia punya firasat buruk akan kedatangan musibah, ya, kami ini.
Keluarga Kunyit sempat kaget manakala rumahnya didatangi empat orang cewek yang mengaku sebagai teman anaknya, apalagi bawaan kami tidak tanggung-tangung, tiga buah carier full body plus sebuah tas rangsel milik Widi.
Apa mereka ini mau pindahan kemari? Bagaimana kalau mereka minta pertanggungjawaban Kunyit agar menikahi?
Kira-kira demikian kata hati ibu Kunyit yang tercermin dari mimik wajahnya. Antara rela dan tidak rela, antara percaya dan tidak percaya mungkinkah ia akan panen menantu sampai empat.
Untunglah sedikit dongeng dari kami yang bersahut-sahutan tentang kisah pertemuan tak terduga di Gunung Lawu, pancaran lega langsung tertangkap di wajah beliau. Indahnya lagi, kami boleh masuk dalam arti menginap. Mau bagaimana lagi, waktu itu kan sudah malam. Masa tega sih, membiarkan empat cewek manis terbiar di jalanan. Dari kumpulannya yang terbuang.
Awalnya sih, kami mau minta ijin tidur di mushola depan rumah Kunyit. Setelah mendapat tawaran tersebut, tentu kami tidak akan menyia-nyiakan. Tidak perlu banyak ba bi bu langsung sepakat, mufakat tanpa musyawarah.
“Wah, jadi enak nih, Bu! Makasih.” ucap Pheenux setelah mandi dan makan malam. Mmm nyam nyam… nyummmy!
“Ya, maaf adanya cuma ini.” ujar si Ibu ramah.