Pendakian Gunung Sindoro
*Hari Operasional Pertama (H1OP: 13.00 – 15.00 WIB): Mengunggah Mimpi
Pukul 10.00 WIB kami berpamitan dengan seluruh penghuni rumah Kunyit. Ekspresi Ibu Kunyit tidak dapat aku deskripsikan secara jelas. Entah itu lega karena serbuan tamu yang datang tiba-tiba telah pergi. Entah itu khawatir karena anaknya kami bawa serta. Atau malah penuh harap, juga was-was bila salah satu dari kami ternyata calon menantunya.
Terlepas dari kenekatan kami yang terkesan ugal-ugalan. Mendatangi rumah cowok malam-malam. Sungguh saat itu kami tidak sadar bahwa kedatangan kami pastilah kurang pantas. Tak heran bila Kunyit menjuluki kami tiga cewek gila dalam bahasa keren meng-Inggris; Threemas Kentir yang kuralat menjadi Threembak Kentir. Setelah dipikir-pikir, jangan-jangan Kunyit tidak menganggap kami perempuan lagi. Buktinya yang terlontar dari mulutnya Threemas Kentir.
Meski demikian, sebelum berangkat kami mendapat kejutan lain dari Kunyit. Tanpa kami undang dia memperkenalkan seorang teman. Namanya Braja. Terus terang aku cukup terkejut ternyata Kunyit tidak setangguh Ali yang bersedia sendirian mengasuh aku, Pheenux dan Citonk sewaktu ke Lawu.
Kunyit pun segera beralibi: kalau harus jadi porter sendirian mana asyik.
Iya deh!
Beda dengan Kunyit. Braja ini tingginya kurang lebih sama dengan Pheenux sekitar 165-an sentimeter. Badannya gempal, rambut berpotongan super cepak, lima senti dari kepala.
Sesuai dengan koordinasi sebelum meluncur ke Kledung, kami menyempatkan mengubek-ngubek pasar Secang untuk membeli sayuran dan rol film. Kali ini kami jalan kaki menuju pasar. Habis memang dekat sih jaraknya. Lumayanlah, buat latihan jalan. Bahasa kerennya aklimatisasi.
Pembagian tugas terjadi. Aku, Widi dan Braja membeli film kamera di studio foto. Kunyit, Citonk dan Pheenux dapat jatah belanja sayur dalam area pasar. Satu jam kemudian kami sudah naik bus berbalik arah ke pos pendakian Sindoro.
Tiba di basecamp pendakian hari sudah semakin siang. Sebelum meneruskan perjalanan kami menyempatkan untuk makan, salat dan mengisi air. Seperti biasa untuk air hanya ada di desa terakhir ini. Di gunung sana katanya kering-kerontang tidak ada lagi sumber air.
Pukul setengah dua kami berenam mulai merayap naik. Rumah-rumah penduduk masih mengiringi. Beberapa kali bertemu dengan pendaki lain yang turun. Wajah mereka terlihat gosong kemerah-merahan.
“Tuh Tonk, siap-siap wajah kita jadi seperti itu!” tunjukku.
“Wah, terbakar matahari!” ucap Widi. “Ada yang bawa sunblock?”
“Tenang Wid, Sushie pasti bawa. Iya, kan?” Pheenux memastikan.
“Sip! Obat genit selalu aku bawa. Jangan khawatir. Sushie!” Aku membanggakan diri.
Semua anak mencibir. Bahkan seperti biasa Pheenux mengecamku sebagai ratu ganjen gunung. Pasalnya yang namanya sunblock, pembersih muka, lipgloss, deodorant, cologne, handbody lotion dan bedak meskipun cuma bedak talc selalu kubawa.
“Meski di gunung penampilan tetap nomor satu dong! Siapa tahu nemu pejantan tangguh.” ucapku tertawa sendiri.
Eh, tapi, semua yang kubawa itu penting loh! Lipgloss penting agar bibir tidak pecah-pecah, sunblock biar wajah tidak terbakar,handbody untuk perlindungan tangan, talc siapa tahu ada yang friksi_lecet selangkangan karena celana yang terlalu ketat (biasanya yang pakai celana jeans nih) atau lecet ketiak karena terhimpit carrier. Kalau deodoran, jelas agar tidak terendus bau badan membuat pingsan tetangga sebelah.
“Sepertinya ada yang ketinggalan.” tanggap Kunyit.
“Apaan?”
“Yang bikin merah bibir menyala.”
“Kalau itu sama sekali nggak penting.” sahutku dengan wajah bersungguh-sungguh. Tapi justru ekspresi wajahku yang datar itu menjadi bahan ledekan.
Jalur pertama yang terpampang berupa tanah kering. Kanan-kiri kami telah berubah berupa bentangan ladang-ladang penduduk yang ditanami kentang dan daun bawang. Ada juga yang menanam kol dan bawang itu sendiri.