The Threembak Kentir's

Xie Nur
Chapter #29

New Inspiration: Threembak Kentir (4)

Pendakian Gunung Sindoro

*Hari Operasional Pertama (H1OP 15.00 – 21.30 WIB): Kompor Terendus Meleduk

Perjalanan berlanjut. Tanjakan-tanjakan hebat kami titi dengan hati-hati. Medan berupa batuan menghantam kaki. Sesekali aku harus meringis menahan nyeri, manakala kaki yang cedera memijak kemudian luncas akibat pergerakan bebatuan yang labil.

“Kakimu aman, Sush?” tanya Citonk terlihat khawatir.

Citonk yang berjalan di belakangku sepertinya bisa melihat langkah kakiku yang terkadang timpang. Hari ini aku menjadi leader perjalanan atas usul Citonk juga. Biar tim di belakang bisa mengimbangi langkah kakiku yang belum sempurna.

“Aman sentausa. Tenang aja.” balasku sambil menoleh ke belakang.

Wajah kelelahan Widi sangat terlihat. Dia juga tertinggal beberapa langkah di belakang Citonk. Pheenux yang berjalan di belakangnya tampak sabar menunggu sambil matanya memandang ke arahku. Memberi semacam isyarat agar aku berhenti atau mengurangi kecepatan jalan.

Sementara itu Kunyit dan Braja tidak kelihatan. Aku sedikit paham, karena berjalan dengan beban berat kalau harus terus berhenti rasanya justru melinukan lutut kaki. Mending terus tetap berjalan walau perlahan tetapi konstan. Mereka pastilah memilih rehat lama, untuk kemudian menyusul dengan langkah yang pasti, tidak sebentar-sebentar berhenti.

“Widi, aku padamu!” seruku pada Widi dengan maksud memberi semangat.

Satu lantunan kalimat yang aku culik dari Ujang saat di Lawu dulu. Satu ungkapan perasaan yang berarti suka pada Pheenux. Kali ini aku menyelewengkan kata-kata itu menjadi sebuah kobaran semangat. Aku harap Widi paham.

“Semangat, Widi!” Citonk ikutan berseru dengan ungkapan yang lebih nyata, gamblang.

Widi memandang ke atas dengan helaan napas panjang. Selanjutnya dengan ayunan kaki seperti gerakan slow motion, dia merangkak menuju keberadaanku dan Citonk.

Ketika cewek yang juga mengenakan jilbab itu tinggal satu langkah dari Citonk, aku mulai melangkah lagi. Kali ini dengan tempo yang lebih pelan dengan harapan Widi tidak tertinggal.

Payahnya begitu jam menunjukkan pukul setengah enam dan sampai Pos III Seroto, aku, Pheenux dan Citonk terkena sindrom nge-camp. Apalagi melihat tempat strategis yang dibentengi rimbunan pepohonan semak. Dengan pasang tenda dibaliknya, terpaan angin bisa ditangkis manis.

Tradisi lama; sindir Kunyit. Tapi dia mau tidak mau harus ikut. Tidak mungkin dia naik sendiri ke puncak, kan? Esensi sebagai bodyguard, guide dan porter bisa tidak teridentifikasi.

Sekadar info, zaman now di Pos III ini sudah ada warung. Luar biasa pokoknya. Mereka menjual gorengan dan nasi ramesan. Kadang tuh, jadi miris kalau kondisi gunung telah berubah jadi tempat piknik sembarangan. Iya, kalau yang sadar pada kebersihan lingkungan. Kebanyakan kita orang Indonesia mana peduli sama yang namanya sampah. Akibatnya sering terlihat sampah tercecer di mana-mana. Menyedihkan!

Makan malam kali ini terlambat. Kami baru menikmati perut kenyang pada pukul sembilan malam, melewati waktu tidurku. Penyebab makan malam telat adalah karena kompor gas yang ngadat. Tidak mau menyala. Untung bawa tukang reparasi kompor, siapa lagi, Kunyit tentu. 

Dan selama menunggu proses perbaikan kompor gas, sebuah kompor spirtus harus rela kerja rodi menanakkan semua bahan yang wajib matang, contohnya nasi. Walau bagi seorang petualang makan beras pun oke—dalam rangka survive, tapi keadaan kami kan baik-baik saja (dengan nada lagu milik Ratu yang sedang hit kala itu). So, kenapa harus makan beras?

“Pheen, coba nyalain!” ucap Kunyit setelah selesai mengutak-utik kompor yang bermasalah.

“Apa nggak apa-apa dipegang gitu?” ujarku khawatir.

Lihat selengkapnya