Pendakian Gunung Sindoro
*Hari Operasional Kedua (H2OP: 08.30 - 19.30): Menjelajah Kawah
Bola warna oranye menyembul dari garis cakrawala. Semburatnya menebar warna jingga yang menumbuhkan semangat pagi dengan optimisme tinggi. Seakan meyakinkan bahwa pendakian kali ini direstui bumi
Sementara itu di sebelah kanan terdepan, Gunung Sumbing tidak lagi malu-malu menampilkan guratan tubuhnya. Seperti atlet binaraga yang tengah memperlihatkan otot kekarnya.
Aku mengaguminya sambil menghirup udara yang lembab menggigilkan. Saat aku tak jemu memandanginya, dengan tega dia malah berujar mengejek:
“Week… kalian nggak berani ke sini kan?” cibir Si Sumbing yang membuatku makin mendendam hasrat.
Awas, tunggu saja. Tak lama lagi kami bertiga pasti akan segera melucuti kepongahanmu. Meski pada akhirnya kecongkakan diri justru membalik keadaan. Ikuti cerita selanjutnya saat kami mendaki ke Gunung Sumbing.
Mataku beralih pada sisi lain, tepatnya di belakang Gunung Sumbing yang masih memamerkan pesonanya. Puncak Merbabu dan Merapi terlihat seakan mengapung di antara gerombolan awan. Lama-kelamaan dua kerucut kecil itu seperti pulau-pulau di lautan lepas.
Pukul setengah sembilan kami kembali menapaki setiap tanjakan yang menantang dengan angkuh. Matahari pun seia sekata mengiringi perjalanan, bahkan karena begitu setianya ketika sang cahaya siang semakin berjaya, serasa ingin memanggang kami hidup-hidup. Belum lagi debu yang ikut menyemarakkan langkah patah-patah.
Untung dua carrier dibawa oleh Kunyit dan Braja, azaz pemanfaatan. Sedang yang satu lagi kami pakai secara bergantian. Namun, ketika giliran Widi yang membawa carrier, aku, Pheenux dan Citonk merasa tidak tega. Bagaimana tidak, baru dapat tiga tapak Widi sudah berhenti mengambil napas. Begitu seterusnya, sampai akhirnya setelah berunding dengan bahasa isyarat. Pheenux yang dapat giliran sesudah Widi langsung meminta carrier yang baru saja tersandang.
“Sori, aku nggak biasa naik gendong carrier,” ucap Widi memohon permakluman.
“Nggak apa-apa. Santai aja!” kata Pheenux yang kubantu saat memakai carrier.
Biasanya Pheenux memakai carrier ala pejantan tangguh. Yaitu, dengan cara mengangkat carrier dari depan, lalu melompat melewati kepala sebelum si tas rangsel raksasa terjun bebas ke punggungnya. Berhubung pergantian carrier di tengah tanjakan, akan sulit untuk melakukan gerakan itu. Butuh pijakan kuat dan landasan yang datar agar tidak terjungkal.
“Tenang Wid, selama ada badak yang satu ini. Semua beres, kamu juga bisa nitip bawakan tasmu itu.” terangku sambil menepuk carrier yang sudah tersandang dipunggung Pheenux.
“Gundulmu!” semprot Pheenux. “Habis ini giliranmu!”
“Gantiannya kalau sudah sampai puncak, key?” godaku.