Pendakian Gunung Sindoro
*Hari Operasional Kedua (H2OP 16.00 – 11.23 WIB): Begadang Agar Bisa Pulang
Di Pos III kami beristirahat lama. Waktu itu jarum jam pendek sudah berada di angka empat. Setelah merasa cukup menghela napas kami meluncur turun kembali. Jalur berupa tanah lumayan membuat kakiku merasa nyaman. Bisa jalan cepat lagi.
Senda gurau mengiringi setiap pijakan kaki. Lebih ramai dibanding saat naik. Apalagi setelah beberapa kali dari kami berenam terdeteksi nyaris terpeleset jatuh atau malah sudah jatuh sekalian. Derai tawa lepas tak dapat dihindari. (Apanya yang lucu coba, teman jatuh malah diketawain. Tapi asli lucu lo, suer!).
Saat azan Isa menggaung di angkasa, rombongan sudah mulai menjejak kawasan desa. Cahaya senter yang semula menemani ayunan langkah, kami matikan ketika sampai di kawasan rumah penduduk. Lampu listrik perumahan cukup membantu mencermati jalanan berbatu.
Atas usul Widi, kami berhenti di sebuah tempat pemandian umum dekat musala. Bersih-bersih badan dulu itu wajib. Sekalian menumpang salat. Kurang lebih satu setengah jam kemudian kami telah berjalan menuju gerbang untuk mencari bus pulang. Tentu setelah berpamitan ke basecamp pendakian setempat.
Namun, teman. Ada berita gawat darurat saat kami sampai di seberang jalan. Dan kabar itu bertandang kira-kira satu jam setelah kami menanti bus ke arah Purwokerto.
Kunyit tiba-tiba menepuk jidatnya, seolah ada nyamuk yang singgah di sana. Selidik punya selidik, ternyata Kunyit baru ingat kalau bus malam yang mengarah Purwokerto baru ada sekitar jam satu dini hari.
Wah, wah, kami bakal lumutan lagi.
“Kok baru bilang sekarang?” protesku yang sudah mulai mengantuk. Padahal dalam anganku, setelah naik bus aku mau langsung tidur. Tidak masalah kalau tidak dapat tempat duduk. Ada untungnya bawa tas rangsel besar yang nantinya bisa dijadikan tempat duduk. Yang penting bisa menumpang tidur sebelum sampai tujuan.
“Namanya aja lupa. Piye tho, itu di luar kendali pikiran.” Kunyit membela diri. “Kamu juga lihat sendiri dari tadi nggak ada bus yang lewat.”
“Tapi beneran ya, nanti jam satu ada bus yang lewat?” aku meminta kepastian. “Maksudnya kalau tidak ada, kita mending pasang tenda sekalian.”
“Ya, kita lihat aja nanti.” ucap Kunyit nyengir.
Mendengar itu, hancur sudah semangat tidurku.
“Daripada di sini kita balik ke sana yuk! Ke gudang sana.” ajak Kunyit yang sudah menyambar tas carrier-ku.
Sementara Braja mencomot tas besar milik Citonk. Mau tak mau kami semua menyeberang jalan lagi. Masuk gerbang kembali, seolah kami pendaki yang akan naik ke Sindoro.
“Masih ada mi instan, kan?” tanya Kunyit dengan tatapan lapar pada tas carrier yang telah dia letakkan di emper sebuah gudang atau lumbung padi. Orang Jawa sering menyebutnya sebagai tempat selipan. Yang mana di depan gudang seringnya terhampar tanah lapang bersemen sebagai tempat menjemur bulir padi sebelum dikupas kulitnya.
“Banyak, tenang aja.” sahut Citonk yang segera membongkar carrier-nya.
“Sini biar aku yang masak.” tawar Kunyit bersemangat.
“Trus nanti yang pegang selang gas siapa?” Pheenux mengingatkan perihal kompor ajaib yang kami bawa.
“Halah, kok kayak kena pukul berkali-kali aku.” Kunyit mendadak depresi. Dia menjatuhkan diri dengan tatapan kosong sambil memegang kompor yang baru saja kuserahkan padanya.
Melihat ekspresinya itu, kontan membuatku tertawa terpingkal.