Menuju tengah malam, suasana makin senyap. Bahkan lalu lalang kendaraan yang berada kurang lebih 50 meter di depan telah jarang. Percakapan di antara kami berenam pun hampir padam.
Tak heran bila mataku rasanya juga makin berat membuka. Akan tetapi, setelah hampir terkurung sepi, Kunyit menceritakan sesuatu yang membuatku membuka mata lebar penuh waspada.
“Wah, tadi tu, aku sangat khawatir.” ucap Kunyit mengawali kisah.
“Memangnya ada apa?” tanya Citonk mewakili yang lain.
Kunyit mengernyitkan kening. “Kalian sama sekali nggak khawatir ada orang yang mengacungkan parang ke kita?”
“Hah?” kantukku lenyap seketika. “Kapan? Di mana?”
“Setelah kita melewati pos III. Orang itu juga menatap kita dengan bengis.” ucap Kunyit mencermati kami satu persatu.
Kebetulan posisi duduk kami membentuk satu lingkaran tidak sempurna. Mengelilingi kompor yang menyala memasak air.
Kami semua saling pandang menghentikan aktivitas. Pheenux waktu itu bersiap menyeduh kopi entah untuk yang ke berapa kali. Citonk mengemil snack, Widi yang duduk di area terluar teras tampak menghitung bintang, Braja menyulut rokok yang baru. Sedangkan aku tentu saja asyik terkantuk-kantuk menopang dagu di samping Citonk.
“Beneran?” Pheenux ingin meyakinkan perkataan Kunyit tidak sedang bercanda.
Oh ya, saat ini tempat yang dimaksud Kunyit tersebut sudah mempunyai nama Area Batu Longko. Dulu tempat itu mempunyai area yang lebih luas dibandingkan sekarang. Mungkin seiring waktu ada bagian tanah yang berguguran.
“Masa kalian enggak lihat?” Kunyit kemudian menelengkan kepala, menjadi tidak yakin dengan penglihatannya sendiri.
“Enggak,” jawab kami serempak.
“Ampun dah, dia berdiri dekat sekali dengan jalan kita. Sekali tebas, kita semua bisa langsung koit.”
“Dia orang atau apa?” tanya Widi tengak-tengok pada kami semua. Mungkin dalam pikirannya kalau itu benar-benar orang kenapa hanya Kunyit yang melihat.
“Itulah yang aku bingung. Apa iya, hantu nongol siang-siang?” ujar Kunyit terlihat menelaah kejadian tadi siang menjelang sore.
“Dia pengin tayang lebih awal, kali.” komentar Pheenux.
“Ada gitu yang seperti itu?” tanggapku.
“Kunyit pasti salah lihat. Jangan-jangan berhalusinasi.” Widi urun pendapat. “Makanya selalu fokus kalau sedang melakukan perjalanan di gunung.”
“Bukan,” sanggah Kunyit. “Ini pasti karena jalan kalian kayak celeng lurus nggak tengak-tengok sampai nggak tahu ada orang bawa parang.” (Celeng itu Bahasa Jawa dari babi hutan).
“Bisa jadi kami jalan kayak celeng.” kata Pheenux membuat kesimpulan berdasarkan fakta yang mana; saat jalan turun kami pasti mengebut tanpa mengerem.
“Yaa, daripada lihat hantu di siang bolong.” lanjutku menghibur diri.
Kupikir ada untungnya jalan seperti sedang dikejar anjing. Sehingga kami tidak melihat orang yang mengacungkan parang itu. Meskipun kalau penglihatan Kunyit benar adanya, lalu orang tersebut berencana mencelakakan kami, posisi kami yang tidak menyadari kehadirannya bisa langsung tertebas habis tanpa ampun.
“Mustahil itu hantu.” ucap Braja mengemukakan pendapatnya yang lebih percaya hantu hanya keluar di malam hari.
“Kalau benar orang, kenapa dia tidak menyerang?” ujarku penasaran.
“Cuma untuk menakuti-nakuti kita, barangkali.” Widi yang selama perjalanan banyak diam, kali ini sering menimpali.