Pendakian ke Gunung Sumbing
Pra Operasional: Penjemputan, Tanpa Undangan.
“Kamu mau ke UPL, Shie?” tanya Arin teman kuliahku yang setia. Maksudnya kalau aku bolos melarikan diri ke gunung dia akan setia menandatangani presensiku.
“Enggak, mau pulang kos trus tidur.” sahutku.
“Perasaan selama kuliah kamu udah ngorok deh,” sambarnya.
“Ah, itu perasaanmu aja.” aku meringis malu. Tetapi memang selama perkuliahan entah mengapa aku selalu tidak bisa menahan kantuk.
Usut punya usut, setelah aku melakukan penyelidikan kenapa aku gampang mengantuk ternyata ada beberapa faktor penyebabnya. Ini secara global ya, antara lain: sindrom kelelahan kronis, anemia, gangguan tidur, dehidrasi atau kekurangan cairan dalam tubuh, sering begadang, makan berlebihan, kekurangan gizi, protein dan depresi.
Nah, berdasarkan diagnosis ala diri sendiri faktor yang paling memungkinkan mengapa aku mudah mengantuk bisa jadi karena sindrom kelelahan yang bertumpuk-tumpuk. Hal tersebut ditunjang dengan makanan kurang protein, tersebab sering makan mi instan kalau sedang berada di peradaban. Termasuk bonus tambahan sesekali begadang kalau ada rapat-rapat di UPL.
“Hai, Shie.” Tiba-tiba Nene teman lain, yang selalu mengidolakan cowok UPL, menepuk pundakku. “Kalau ke UPL salam buat Yadi ya.”
“Sip!” balasku mengacungkan jempol.
Heran kenapa cowok UPL banyak penggemarnya. Belum teman kos yang sering ikutan kirim salam. Apakah bagi mereka cowok Mapala itu keren? Beuh! Keren darimana? Ya, mungkin karena aku sudah sering kumpul sama mereka, jadi tahu luar dalamnya, sehingga sisi keren yang tampak dari luar sama sekali tidak terdeteksi oleh radarku.
Yang parah dan mengenaskan justru para cewek Mapala. Sepi penggemar. Apa karena cewek Mapala identik tomboi? Sepenglihatanku tidak juga. Teman perempuan di Mapala banyak juga yang feminin, contoh jelas Kisti, Lenox, Meikom, Mbak Riana dan beberapa yang tidak bisa kusebut satu persatu.
Lagipula ketika kami ke kampus tidak beda seperti cewek lainnya, kok, berpakaian manis dan rapi. (Kecuali aku, ding). Mungkin para cowok non Mapala takut kalah saing kekar. Apalagi kalau sudah melihat para gadis Mapala dengan tas carrier di punggung, sisi femininnya berganti penampilan gagah bertahta. Pada ngeri kali ya? Ngeri dilemparin carrier.
Aku segera melenggang setelah mengucap salam perpisahan pada teman kuliah. Belum sampai keluar gerbang seseorang telah menyamai langkahku. Dia Heka. Aku menoleh sekilas.
“Hai Sey, ntar malem jadi tahun baruan bareng ya. Anak kosku dah siapin motor.” cerocos Heka yang kemarin bersama anak kosku berencana merayakan tahun baru ke Baturaden.
Belum sempat aku menjawab, mataku telah terdistraksi oleh pemandangan di depan. Saat itu di pintu gerbang menanti dua pejantan yang asli tidak ganteng, tetapi mengundang perhatian. Keduanya berdiri sok cool. Yang satu menyandar pada ujung pintu gerbang dengan kaki menekuk menumpu pada pintu gerbang bagian bawah. Pejantan lain bergaya bak foto model. Dua tangan masuk saku depan celana, menatap menyamping dengan dagu setengah naik ke atas.
“Ujang, Kentang?” aku mengucek mata siapa tahu salah penglihatan. “Woi, kalian lagi ngapain?”
“Jemput kamulah,” sambut Kentang.
Bersamaan dengan itu, Pheenux nongol dari balik tubuh Ujang. Sementara Citonk memunculkan kepala di samping tubuh Kentang.
“Ke Sumbing yuk,” kata Ujang tanpa basa-basi.
“Serius?” tanggapku antusias menghambur ke mereka.
Heka langsung terlupakan.
“Apa wajahku masih kurang serius?” ujar Ujang. “Udah serius begini masih ditolak juga.” Mata Ujang melirik Pheenux.
Aku sama sekali tidak bisa menahan tawa. Tanganku pun menunjuk-nunjuk Pheenux yang mendengus sebal. Citonk tak mau ketinggalan menggoda.