Pendakian Gunung Sumbing
*Hari Pertama Operasional (H1OP: 14.00 – 20.30): Garung Yang Riuh
Bus ekonomi jurusan Purwokerto-Wonosobo-Semarang berangkat pukul dua siang. Seperti biasa kami memilih jok paling belakang. Biar bisa duduk berjejer satu kelompok sekaligus.
“Anak-anak jadi turun ke air?” tanya Citonk pada Pheenux dalam bus yang menderu.
“Iya, tadi malam habis koordinasi.” sahut Pheenux yang intensitas nongkrong di sekre lebih banyak daripada aku.
“Arung jeram?” Ujang memastikan.
“He-em!” deham Pheenux.
“Kalian kok nggak pada ikut?” tanya Kentang.
“Kalau kami ikut, nasib kalian gimana?” Citonk balik tanya.
“Ya naik sendiri.” jawab Kentang santai. “Ya, kan Jang?”
“Tenang, kami tetap setia pada gunung kok.” ujarku ketika Ujang tidak menanggapi Kentang.
“Yeah, hidup gunung!” seru Pheenux mengangkat tangan lalu tos denganku.
Kami berdua sama sekali tidak menyangka bila akhirnya kami akan menyeleweng, selingkuh ke lain hati. Kita memang hanya bisa merencanakan atau berpegang teguh pada mimpi yang satu. Tetapi jikalau takdir telah mengetukkan palunya, bukankah kita tidak bisa berbuat apa-apa.
“Kalian pada ngapain sih?” Kentang mengernyitkan kening, keheranan melihat ulah para mahluk cewek di sebelahnya yang begitu berapi-api.
“Aku juga heran, Pheen. Sejak naik Lawu aku juga berubah jadi suka gunung. Padahal aku dulu maniak tebing.”
“Aku juga heran, Jang. Kenapa anak-anak tebing jelek-jelek semua ya?” celotehku spontan.
“Itu beda cerita lagi.” sungut Ujang.
Percakapan terus berlangsung. Candaan yang kadang garing juga sering terlontar. Sampai pada titik Ujang protes keras karena kami tidak mengajaknya naik ke Merbabu dan Sindoro.
“Kalian hampir tiap bulan naik gunung, kenapa enggak ngajak aku?” cetus Ujang setelah mendengar alasan dari kami yang sama sekali tidak bisa dia terima. “Lagian kalian banyak duit amat!”
“Jangan salah, November kami free, lho.” kata Citonk. “Soal duit, kami di peradaban super mengirit.”
Antara pertengahan Oktober hingga akhir Desember, setelah mendaki Sindoro, kami bertiga sama sekali belum ada agenda mendaki lagi.
Pertama, karena cuaca yang tidak kondusif untuk mendaki. Seperti yang pernah kubilang, bulan November hingga Februari bukan musim pendakian yang aman. Bila di kaki gunung dan sekitarnya sedang musim hujan, maka di kepala gunung kerap berkecamuk badai.
Hal kedua, penyebab kami tidak merencanakan pendakian dalam rentang waktu tersebut karena pertengahan November kemarin, UPL punya gawe menjadi penyelenggara TWKM, Temu Wicara Kenal Medan. Sebuah forum yang mewadahi unit kegiatan mahasiswa pecinta alam se-Indonesia. Kegiatan ini bermaksud untuk menambah wawasan di bidang kepecintaalaman yang meliputi manajemen organisasi hingga masalah sosial dan lingkungan.
Yang cukup membanggakan TWKM ini terselenggara berkat pertemuan Kemah Bakti atau Camping Ceria yang diadakan oleh UPL MPA UNSOED pada tahun 1987. Sementara TWKM pertama mulai tahun 1988 di Yogyakarta sebagai dan sebagai tuan rumahnya Mapala MADAWIRNA IKIP Yogyakarta.