The Threembak Kentir's

Xie Nur
Chapter #35

Sayonara, Tahun Baru! (3)

Pendakian Gunung Sumbing

*Hari Operasional Pertama (HOP1: 20.30 – 21.00 WIB): Mencari Bang Mufakat

Pheenux tiba-tiba menabrakku yang sedang mengantuk. Akibatnya gerak tubuhku yang tidak terkontrol tanpa bisa kucegah langsung menjatuhi Citonk yang berjalan paling depan. Tepatnya, tanganku refleks mencari sandaran. Maunya sih, sandaran hati, tapi nemunya malah kaki. Kaki Citonk yang kuganduli tubuhnya jadi ambruk. Saat bersamaan mukaku sekonyong-konyong menghantam tanah tanpa ampun.

Intinya tiga barisan di depan Ujang tumbang pada nyungsep mencium tanah. Sungguh efek domino yang dramatis.

“Sush, apa-apaan sih!” omel Citonk yang jatuh paling depan. Dia berusaha menghempas tanganku yang menggelayut di kakinya.

“Sori, Tonk. Tanganku gerak sendiri.” ujarku sambil berusaha bangun. “Pheenux tuh, yang dorong aku duluan.” imbuhku menoleh pada Pheenux yang menimpaku hampir separuh tubuh.

Dia terlihat merangkak menjauh. Deretan gigi Pheenux yang putih memantulkan cahaya dari senter Kentang yang tengah menyorot ke arah kami. Ujang tampak membantu melepaskan carrier yang saat itu sedang dipakai Pheenux, seolah dia itu pahlawan sekaligus kambing hitam.

“Ujang nih?” tuduh Pheenux sama sekali tidak mengucapkan terima kasih.

“Kok aku?” protes Ujang. “Tapi demi kamu Pen, jadi kambing hitam guling. Atau sate kambing hitam ga pa-pa.”

“Sak karepmu! Terserah!” balas Pheenux yang tidak mempan dengan gombalan dalam kesempatan di tengah kesempitan. “Sori, Tonk. Tadi aku ketiduran.”

“Tidur sambil jalan?” kata Ujang. “Kamu ini. Unik tapi kusuka.”

“Sama aku juga lagi nahan kantuk.” sahutku yang juga hampir jatuh tertidur. Melupakan logika bahwa Ujang sedang berusaha mempertegas hatinya untuk Pheenux.

Maafkan diriku yang tidak peka, kawan!

Ngomong-ngomong, fenomena tidur sambil jalan bukan hal baru bagiku, Pheenux dan Citonk. Semasa diksar, kami secara tidak langsung seperti dilatih tidur sambil jalan saat long march. Meski Dantib dan Tatib selalu berkoar-koar agar kami tidak tidur, tetap saja kami menyela tidur karena saking lelah dan mengantuk.

Biasanya Tatib akan mengecek apakah kami tetap terjaga atau tidak dengan cara memanggil kami satu persatu. Jangan kalian bayangkan mereka akan memanggil nama kami dengan mesra. Selama diksar kami mempunyai nama panggilan sesuai nomor urut berdasarkan abjad. Waktu itu aku mendapat nomor urut dua belas. Jadilah namaku Dua Belas selama diksar. Kalau Pheenux dia punya nama Kosong Sembilan, sementara Citonk bernama Kosong Satu. Terasa seperti tahanan suatu lapas, nggak sih?

Bahkan antar sesama teman diksar kami dilarang memanggil nama asli. Kami harus memanggil nama teman sesuai dengan name tag yang terkalungi dan bertuliskan nomor. Kalau sampai salah memanggil nama, hukuman tidak bisa terhindari.

Nah, saat pemanggilan nama atau nomor itu. Bila tidak ada jawaban, bisa dipastikan siswa yang namanya terpanggil itu sedang tidur. Atau saat seksi ketertiban menyuruh kami berhitung, lalu ada yang tidak segera melakukan penghitungan urutan selanjutnya, yah, langsung kena hajar deh, karena pasti siswa tersebut sedang terlena mimpi sesaat.

“Kalian tadi lagi pada ngapain sih,” celoteh Kentang yang duduk berseberangan dengan rombongan cewek. “Lucu banget, deh.” sambung Kentang.

Kami tidak mengacuhkannya, sibuk memeriksa tubuh dari luka lecet yang mungkin ada. Aku tak lupa memeriksa kondisi kacamata apakah aman dari retakan saat menumbuk tanah. Untungnya aman. Atas dasar pengalaman diksar, yang mana waktu itu aku memakai kacamata lensa kaca lalu pecah saat terjatuh, untuk selanjutnya aku memilih memakai kacamata dari bahan mika.

Lihat selengkapnya