The Threembak Kentir's

Xie Nur
Chapter #37

Sayonara, Tahun Baru! (5)

Pendakian Gunung Sumbing

*Hari Operasional Kedua (HOP2: 12.30 - 14.30): Saat Ego Harus Tunduk Pada Sabda Alam

Selepas Tanah Putih, tanjakan super kembali menantang. Tiba di persimpangan yang menunjukan arah ke Puncak Sejati dan Puncak Buntu, kami diskusi sejenak. Mengingat cuaca yang makin ingin memuntahkan badai, kami memilih melaju ke Puncak Buntu yang kata Ujang lebih dekat.

Seiring kaki yang patah-patah, angin menderu lebih seru. Kegelapan perlahan mencekat. Hujan tak mau ketinggalan ingin ikut meramaikan orkestra angin ribut yang segera tayang. Di depan, tampak beberapa pendaki menghampiri kami dengan terburu-buru.

“Ayo, turun Mbak!” ajak mereka dengan wajah cemas.

“Benar buruan!” sambar yang lainnya.

Aku yang berjalan paling di depan menoleh pada Citonk. Saat itulah tubuhku sedikit oleng terdorong oleh angin.

“Woi, kita ikutan turun aja yuk!” Terdengar suara Kentang seolah ingin mengalahkan gejolak angin yang seakan bertambah marah.

“Yuk, turun.” Citonk menjawil lenganku.

Kali ini kami tidak melakukan perundingan untuk menentukan langkah selanjutnya. Seperti telah saling mengerti situasi dan kondisi yang bisa menyebabkan mati konyol.

Meski berat rasanya meninggalkan puncak yang ibaratnya tinggal selangkah, kami balik kanan. Berjalan cepat mengikuti langkah kawan di depan.

Ujang tidak disangka melipir ke sisi jalur. Dia menyuruh kami para cewek jalan duluan dengan panduan Kentang.

“Nunggu apaan?” sapaku padanya yang merasa heran.

“Udah buruan,” sahut Ujang lalu meloncat ke belakangku.

Pada titik itu aku menyadari satu hal, bahwa Ujang ternyata bisa berjiwa lelaki sejati. Dia tidak ingin membiarkan kami gerombolan cewek yang selalu sok perkasa terbiar dalam bahaya, tidak terlindungi oleh kaum pejantan yang secara naluriah mempunyai sifat melindungi. Seharusnya demikian kan, meski aku juga yakin tidak semua laki-laki bisa bersikap jantan seperti itu.

Hujan deras melanda. Angin juga tak mau kalah seperti ingin mengoyak-koyak tubuh kami. Kami berusaha berjalan secepat kami bisa. Jas hujan yang melindungi dari basah air rasanya sudah tidak bisa melindungi kulit dari rembesan air.

Pokoknya kami harus bergerak. Apalagi sama sekali tidak ada tempat yang memungkinkan untuk berlindung dan membangun tenda. Pada situasi seperti ini hal yang tepat adalah terus berjalan, agar tubuh tetap merasa hangat dari dalam. Kalau kami memaksa berhenti, serangan hipotermia akan berganti mengancam.

Kami terus berjalan tidak peduli rintisan jalur yang mirip tebing sesekali membuat kami melakukan gerakan serosotan daripada terjungkal. Sepertinya kami menjadi rombongan terakhir yang turun gunung. Kami berusaha mengejar rombongan lain di depan yang tidak terlihat pandangan mata karena terhalang pekat kabut hujan.

Saat itu aku terus melantunkan doa agar kami semua diberikan keselamatan. Khususnya untuk Kentang yang sedang merintis jalan dalam remang, supaya tidak salah jalan dan berakhir dengan menuntun kami ke jurang.

Deru angin masih terdengar meraung-raung di belakang. Hembusannya seolah terus mendorong kami turun. Seiring langkah menjauh dari gumpalan hitam pekat di angkasa curahan air hujan perlahan mengecilkan bulatan airnya yang semula terasa membuat tubuh pegal-pegal.

Tiba di Watu Kotak yang terlindungi tebing tinggi, banyak pendaki yang tengah beristirahat di sana. Kami hanya mengambil napas sejenak, karena target kami Pestan yang tempatnya lebih luas, sambil berharap badai tidak sampai di sana. Biasanya sih, badai seringnya hanya menghajar sekitaran puncak. Badan gunung, terkadang hanya mendapat mendung yang gelap, hujan rintik dan angin yang tidak terlalu ribut.

Lihat selengkapnya