Ujang menjawilku yang berdiri sambil terkantuk-kantuk. Dia memberi kode agar aku merapat ke belakang. Dia juga menyuruhku memanggil Pheenux dan Citonk yang berdiri di depanku terjeda seorang penumpang lain.
Zaman dulu, bus AKDP (Antar Kota Dalam Provinsi) non AC masih sangat laku. Penumpang bahkan sampai ada yang berdiri termasuk kami waktu itu. Mungkin juga karena yang kami tumpangi bus terakhir sehingga banyak yang memilih naik sekarang daripada menunggu hingga tengah malam nanti. Kecuali memang yang ingin sampai di tempat tujuan pagi hari.
“Permisi, permisi,” ucapku pada beberapa orang yang harus aku lewati.
Tiba di kursi bagian belakang bus, tampak Kentang duduk tepat di tengah-tengah antar dua kursi yang kosong. Dia langsung berdiri setelah melihatku berjalan mendekat dengan terhuyung-huyung.
“Sini duduk,” ujarnya mempersilakan aku dan Citonk menempati dua bangku yang kosong tersebut.
Pheenux yang tidak mendapat tempat duduk harus rela tetap berdiri menyandar pada kursi yang ada di sampingnya.
“Nanti kita gantian.” ucapku pada Pheenux memberi harapan indah bagi pantatnya yang merindukan kursi idaman.
Tetapi Ujang selalu punya cara manis untuknya. Dia menggeser satu carrier ke sisi Pheenux lalu menyuruhnya duduk sembari bersandar di samping kursi penumpang lain.
“Lumayan, kan?” kata Ujang dengan cengiran lebar. Posisinya berdiri hampir sejajar dengan Pheenux pada sisi kiri, di mana Kentang duduk meringkuk pada undakan jalan keluar bus.
Melihat adegan itu, aku dan Citonk berdeham sampai serak betulan. Pheenux gantian yang menyoraki kami berdua. Kena tulah, katanya.
“Oh ya, tadi malam kalian merasa tenda kita melayang terbang nggak sih?” Tiba-tiba Ujang membuka percakapan baru, seperti ingin membuang godaan kami terhadapnya dan Pheenux.
“Pengin jadi Superman?” komentar Pheenux.
“Serius, nih.” Mata dan mulut Ujang terasa menghujam tajam. Ini tandanya dia benar-benar sedang tidak ingin bercanda.
“Aku sih, enggak. Cuma menggigil kedinginan.” Kentang menoleh menyahuti.
“Beneran terbang?” tanyaku dengan mata membuka lebar antara percaya dan tidak percaya.
“Kamu habis menghisap sesuatu?” picing Citonk dengan tuduhan yang menjurus ke arah hal terlarang.
Citonk pernah cerita kalau Dede pernah ketahuan menghisap rokok ganja sewaktu kami mendaki ke Gunung Salak. Citonk, sebagaimana orang-orang pasti berpikir Ujang terimbas ikutan menghisap rokok haram itu. Dan, kalau kalian berpikir kami bertiga akan terkena pengaruh salah satu dari anak buah narkotika tersebut, dugaan kalian; salah. The Threembak Kentir's, meski gila tetapi anti memakai barang-barang yang tidak halal.
Perihal mengapa Citonk mengetahui perbedaan antara rokok biasa dan ganja, mungkin karena Citonk seorang perokok. Sehingga dia tahu beda antara aroma tembakau dan ganja.
Saat aku tanya apa bedanya. Citonk bilang aroma tembakau terasa wangi manis dan segar. Sangat berbeda dengan aroma ganja yang menurut Citonk seperti bau kotoran sapi.
Makanya saat pendakian ke Gunung Salak waktu itu mata Citonk selalu terlihat waspada pada anak-anak Yogya. Apalagi kalau mereka sedang merokok. Dia pasti akan mendorong aku, Pheenux dan Teh Mei agar menjauh, atau setidaknya menjaga jarak. Ada semacam kekhawatiran kami bertiga terkena efek asap ganja.
Dede kala itu sempat menawari Citonk. Tetapi Citonk menolak dengan alasan merokok ganja bukan sesuatu yang keren. Citonk juga mengatakan, meski dirinya merokok, dia tidak mau menghisap rokok ganja. Masih sayang otak. Cukup gunung saja yang menjadi candunya. Ditanggung otak selalu segar setelah mereguknya.
“Enggaklah, kan ada Peni. Takut dimarahi.” sahut Ujang dengan melirik takut-takut pada Pheenux.
“Kalau tendanya beneran terbang, kok aku nggak kerasa ya?” ujarku berusaha mengingat-ingat atau setidaknya ingin menangkap sedikit sensasi melayang seperti yang Ujang bilang.