Pendakian Gunung Slamet
*H-1 Pra Operasional: Kegalauan Pheenux
“Sush, aku nggak ikut aja ya?” rengek Pheenux ketika kami berdua kebagian jatah belanja logistik di mini market dekat kampus, buat pendakian besok pagi.
“Kenapa sih?” tanggapku kurang senang, “Kamu nggak ikut berarti batal naik. Ya udah, kita balikin aja belanjaannya, mumpung belum bayar.”
Pheenux tertawa, “Masa kamu nggak berani sendiri?”
“Bukan itu masalahnya,” aku memandang keranjang yang dipegang Pheenux. “Aku balikin nih!” kataku sambil memungut mie rebus yang udah tergolek pasrah di keranjang belanjaan.
“Segitunya.” Pheenux menatapku dengan senyum nakal.
“Terus terang aku ngeri. Meski kita udah beberapa kali naik bareng, aku nggak yakin sama mereka. Itu loh Pheen, manajemen pendakian mereka kan, kacau belia.” jelasku. “Inget kan pas ke Salak, kita malah piknik ke Kawah Ratu. Naik Sumbing, kita juga nggak muncak, yaah, aku akui di Sumbing faktor dari alam dominan, ada badai. Terus lagian mana asyik cewek sendirian. Kalau sama anak cowok UPL sendiri sih nggak masalah.”
“Iya, aku tahu. Mereka kalau naik memang asal dan kamu tidak mau sesuatu yang buruk terjadi.” perjelas Pheenux.
“Seperti itulah. Slamet, jalur Baturaden, Pheen! Kalau cuma naik gunung mati, sih oke.”
“Terus terang aku malas bareng Ujang. Kamu tahu sendiri dia ngejar aku terus. Risih, tahu!”
“Risih apa risih?” godaku sambil menatap tajam mata Pheenux. Mencari indikasi cinta. “Alah, dibikin santai aja, kenapa.” lontarku. “Ikut ya?” rayuku tersebab Citonk ada ujian praktikum sama sekali nggak mungkin ikut. “Please!”
Pheenux menyeringai, “Sebenarnya pengin naik juga sih. Asal nggak ada mahluk itu.”
“Tapi dari lubuk hatimu yang paling dalam kamu suka dia kan?” godaku sekali lagi.
“Cuih! Nggak mungkin! Dia bukan tipeku banget. Ih, apaan ngomongin dia. Pokoknya gak!”
“Ya udah, bilang aja terus terang kalau kamu nggak suka,”
“Nah, itu yang susah.”
“Hadeh, parah. Yang penting, jadi naik kan?” aku tetap memaksa.
Anggukan samar Pheenux memantapkan jiwa ragaku menuju kasir. Bismilah, semoga perjalanan kami nanti aman. Mengingat masih musim hujan.
Sebulan setelah pendakian ke Sumbing, tiba-tiba Ujang mengajak naik ke Slamet. Sekitar pertengahan bulan menuju akhir Februari. Tepat setelah UPL melaksanakan Pendidikan Dasar.
Atas usul aku, Pheenux dan Citonk; mengingat pendanaan, biar hemat, kami memutuskan naik Slamet via Baturaden. Jalur ekstrim yang jarang pendaki sambangi. Kebanyakan pendaki memilih jalur Bambangan yang rutenya pendek.
Tetapi bagi anak UPL, jalur favorit tetap Baturaden. Hemat di transport dan jalurnya tidak seramai jalur Bambangan. Benar-benar bisa menikmati sensasi mendaki gunung yang sebenarnya, hanya dekat dengan alam. Tidak berdesak-desakan dengan pendaki lain seperti sedang mengantri sembako.
Ruang tamu kos Ali tampak berantakan. Ada banyak peralatan dan perlengkapan mendaki berserakan belum sempat di-pack dalam carrier. Masih proses pembagian barang bawaan.