Pendakian Gunung Slamet
*Hari Pertama Operasional (H1OP: 11.00 – 16.30 WIB): Merambah Kerajaan Pacet
Hutan kawasan jalur Baturaden masih tergolong lebat. Pohon-pohon tinggi menaungi sempurna. Tetumbuhan semak dan jenis paku-pakuan hidup subur di bawahnya. Tanah yang kami pijak pun sangat lembab. Terlebih pada musim hujan seperti sekarang.
Jenis hutan yang kami temui pertama kali, terpindai sebagai hutan homogen. Hanya ada satu jenis pohon yang tumbuh di sekitar. Kata senior saat aku bertanya nama dari pohon itu, dia menjawab: pohon damar. Pohon yang sama seperti di kawasan Bukit Cendana tempat kami biasa latihan navigasi dan survival. Aku bisa mengetahui itu dari getah yang mengalir lalu mengeras seperti lelehan lilin. Getah yang keras tersebut pernah kami pakai sebagai pengganti bahan bakar ketika melakukan survival.
Tiba di pertigaan samar, Citonk sebagai leader perjalanan mengarahkan langkah ke kiri yang langsung turun melompati sungai kecil. Kalau di kota sungai kecil macam itu kita sering menyebutnya selokan.
Kontan aku memeriksa tanganku. Khawatir ada sesuatu yang iseng merayapinya. Kalau kaki, tidak terlalu khawatir. Sebab aku memakai sepatu lars tinggi. Meski betis ke atas tetap tidak aman, karena kadang sesuatu itu dapat menembus kain celana panjang, apalagi kalau kainnya tipis.
Mendaki gunung lewat jalur Baturaden sangat disarankan memakai sepatu gunung ala tentara atau memakai geither (pelindung kaki dari kain parasut tebal). Kalau mendaki gunung lain atau naik Slamet lewat jalur lain, pakai sepatu gunung biasa atau malah pakai sepatu olahraga menurutku tidak masalah. Beda dengan jalur Baturaden yang jalurnya cukup ekstrim dan banyak hewan atau tumbuhan yang bisa melukai kaki.
Pergerakan dari titik start ke Pos I lumayan cepat, pasalnya lebih banyak melipir punggungan dengan tanjakan ringan. Kira-kira kami menempuhinya selama satu jam.
Tiba di Pos I hujan lebat turun lagi. Sepertinya kesabaran titik air yang semula turun sedikit demi sedikit tak sanggup menahan beban yang menggantung sejak lama. Berhubung perut lapar kami beristirahat untuk makan.
“Kok berasa makan nasi sop ya?” celetuk Kentang yang berjongkok dekat Ujang dan Noly. Padahal waktu itu kami membawa bekal nasi bungkus dengan lauk tumis kangkung, orek tempe dan balado telur.
Aku tertawa mendengar komentarnya. Aku yang memilih duduk di atas carrier berdesak-desakan dengan Pheenux, memandang nasi bungkus yang mendapat tambahan kuah dari air hujan.
“Jadi nggak keseretan,” kata Noly yang tampak makan dengan lahap. Beda dengan Citonk yang tidak begitu berselera. Dia duduk bersila di depanku tidak peduli tanah yang basah.
“Yang penting kenyang.” timpal Ujang. “Ayo, makan yang banyak, Tonk. Biar tubuh hangat dan ada tenaga.” lanjut Ujang saat melihat Citonk lebih banyak memandang nasi bungkus yang digelar di atas taburan dedaunan kering daripada memakannya.
“Iya, mubazir kalau nggak habis.” ucapku menambahi.
“Kenyang,” balas Citonk malah membungkus nasinya. “Nanti kalau masih layak makan, kumakan lagi.”
“Paling bakalan basi.” ujar Pheenux.
Citonk tidak peduli. Dia memasukkan bungkusan nasi ke kantong plastik putih yang semula menjadi wadahnya, lalu memasukkan ke tas daypack-nya.
Aku sendiri berusaha menghabiskan jatah makanku hingga tak bersisa. Dalam kondisi darurat dan lapar, segalanya jadi terasa nikmat.
Pukul setengah dua kami meninggalkan sedikit remahan makan siang di Pos I yang luasnya kurang lebih hanya bisa memuat dua tenda. Pohon-pohon tinggi sejenis damar menaungi. Di bawah payung pepohonan itulah kami berteduh sambil menikmati makan siang yang sedikit terlambat.
Perjalanan kami lanjutkan. Hujan masih tidak mau enyah. Badan bahkan telah terasa basah hingga meresap ke nadi.
Setelah awal perjalanan tidak ada tanjakan yang berarti, mendekati Pos II tanjakan dahsyat menyambut dengan senyum yang ingin menggelindingkan tubuh-tubuh kami. Napas mulai tersengal seiring hujan yang masih ramai menemani.