Pendakian Gunung Slamet
*Hari Kedua Operasional (H2OP: 06.00 – 16.00 WIB): Terowongan Tikus Mengaduh
Pagi menjelang, matahari begitu ceria menyapa. Kami semua jadi merasa senang. Setidaknya baju basah yang akan kami kenakan kembali saat operasional akan kering dengan sendirinya. Tadi malam sih, sudah di angin-angin dekat perapian, lumayan tidak terlalu basah.
Setelah membereskan semua peralatan dan perlengkapan kemping, kami berenam merayap lagi menyusuri jalur yang semakin menanjak. Hutan gunung Slamet via Baturaden masih sangat perawan. Ciri khas hutan hujan tropis dengan banyak tumbuhan epifit seperti paku-pakuan, anggrek hutan dan lumut menjadi pemandangan sepanjang jalan. Malahan jalur yang dilewati terkadang mulai tertutupi tumbuhan semak karena memang jarang yang lewat sini. Tapi bagi anak UPL, jalur Baturaden selalu menjadi jalur favorit.
Apa pasal? Ya, seperti yang pernah kuulas sekilas;
Pertama, karena jarak yang dekat. Kedua, udara yang terhirup benar-benar segar, tidak ada gangguan debu nakal yang menerobos lubang hidung. Kita bisa menikmati lengangnya hutan yang sebenarnya. Alias sepi, tidak ada gangguan pedagang yang iseng buka warung seperti di Sindoro atau Lawu. Ketiga, karena jalur Baturaden sudah seperti jalur ekslusif bagi kami, seolah jalur pribadi milik UPL, jalur VIP UPL. Berhubung sangat jarang yang lewat jalan tersebut.
Perjalanan menuju Pos 3 melewati trek yang menanjak aman. Kurang lebih satu jam kami sampai di Pos 3 yang terdapat tugu triangulasi sebagai penunjuk ketinggian. Pada sisi lain terdapat kayu tumbang melintang yang setengah menghalangi jalan. Kami berfoto di atas batang kayu tersebut secara berurut-urutan.
Waktu berleha-leha usai. Jalur berikutnya berupa tanjakan terjal yang seperti tidak ada habisnya. Jalan setapak yang kami tempuhi lumayan licin, efek dari musim hujan. Untungnya ada perakaran yang saling silang hingga membentuk semacam tangga.
Lagi-lagi Ujang dan Kentang tertinggal jauh. Aku, Pheenux dan Citonk harus bersabar menunggu sampai mereka merapat kembali. Kami bertiga menunggu di Pos 4 yang bisa memuat tiga atau empat tenda. Ciri khas dari pos ini terdapat pohon berlubang pada pangkal pohonnya. Sebenarnya bukan lubang yang tembus pandang, lebih tepatnya pohon itu terkelupas hingga lapis kambium terdalam. Hal tersebut memunculkan imajiku sebagai tempat masuk ke negeri antah berantah.
Ujang dan Kentang sempat mengeluh tentang jalur yang naik turun tidak habis-habis. Padahal bila dibanding jalur Sumbing via Garung, di trek engkol-engkolan, jalur Baturaden bagiku terasa lebih menyenangkan.
“Kami juga kalau naik tanpa kalian biasa membawa carrier seberat itu dari bawah sampai puncak.” tuturku mematahkan keluhan Ujang.
“Muncak menggunakan carrier?” Kentang terlihat syok, sepertinya dia telah membayangkan summit attack dengan beban berat di punggung.
“Iyalah, kami selalu mendaki dengan melintas. Turun lewat jalur lain. Nggak mungkin dong, carrier ditinggal di pelawangan.” terang Citonk.
“Dan kalian akan merasakan itu.” tawa mengerikan tersurat dari bibir Pheenux.
“Tidaaak!” teriak Kentang sambil meremas rambutnya, membuat kami para cewek tertawa.
“Serius kita akan melintas?” Ujang memastikan. “Turun mana?”
“Gambuhan.” sahut Citonk cepat.
“Waow,” komentar Kentang.
“Ayolah, nggak ada salahnya mencoba.” ucap Noly yang kontan dapat pelototan dari Ujang dan Kentang. “Kalian nggak punya nyali, jangan-jangan nggak punya kemaluan. Masa kalah sama mereka.” tunjuk Noly pada kami geng cewek yang kebetulan duduk berjejer tepat depan Noly yang seolah menengahi antara grup yang pro dan kontra.
“Oke, siapa takut!” Ujang langsung berdiri.
Kentang mengerjap-kerjap pasrah tak dapat dukungan. Dengan malas dia pun berdiri. Bersamaan dengan itu Noly mengerling padaku, Pheenux dan Citonk.
Sesuai dugaan, Ujang kembali berkesah manakala kami harus melewati terowongan tikus selepas Pos 4. Bukan terowongan sesungguhnya hanya penampakannya mirip lorong tikus sebab jalurnya menurun dan banyak cabang kayu dan akar kayu yang melintang di atas kepala seakan berfungsi sebagai atap. Bagaimana tidak protes, carrier-nya sering tersangkut di langit-langit terowongan.
“Harus merangkak, nih?” keluh Ujang.