The Threembak Kentir's

Xie Nur
Chapter #44

Salam Terakhir (6)

Pendakian Gunung Slamet

*Hari Operasional Ketiga (HOP3: 05.30 – 14.30): Tak Dapat Gambuhan, Kaliwadas pun Jadi.

Aku tersentak terbangun. Pertama yang kulakukan memeriksa tubuh. Semua terasa normal, tidak ada bagian tubuhku yang terluka. Atau justru diriku sejatinya sudah tidak berada dalam raga?

Ketika mata mengerjap membiasakan dengan remang sekitar. Ternyata aku masih di dalam tenda. Sadarku tergugah bulat, seiring desisan ucapan hamdalah lirih. Yang terjadi semalam hanya mimpi. Mimpi yang cukup seram hampir seperti kenyataan.

Aku lalu melihat jam tangan yang bisa memperlihatkan waktu meski di tempat yang gelap. Lapisan fotoluminesen pada jarum jam dan titik angka menjadi teknologi terkeren kala itu. Pukul setengah enam. Tanpa menunggu lagi, aku segera menunaikan salat Subuh. Khawatir tambah terlambat.

Pheenux dan Citonk langsung aku bangunkan kemudian. Saat kami bertiga menjemput pagi di luar tenda, nuansa yang hadir terasa muram. Gerimis tampak menggaris udara tanpa malu.

“Wah, kabutnya tebal banget!” celetuk Pheenux sembari menggeliat.

“Yang penting mari kita menyiapkan sarapan dulu.” ujarku mulai membongkar peralatan tempur dapur.

Kami sarapan sambil membicarakan badai semalam yang menghajar sekitar tenda. Tentang petir yang sampai menggetarkan tanah. Serta tenda yang terasa mau terbang. Malah kata Ujang yang sempat buang air, dia melihat ada pohon tumbang yang masih segar. Tak jauh dari tenda, kurang lebih lebih lima meter di arah tenggara.

Setelah sarapan kami lanjut packing dengan masih ditemani rintik gerimis nan syahdu. Jarak pandang kala itu kurang lebih hanya satu setengah meter.

“Ayo kita berdoa biar kabutnya segera enyah.” kata Citonk yang sudah menyandang tas rangselnya.

Kami lalu berdoa bersama sambil membentuk lingkaran dengan takzim. Penuh harap perjalanan menggapai puncak kali ini aman tidak ada halangan yang berarti. Kami dapat pulang dengan selamat tak kurang suatu apa pun.

Noly memimpin jalan menuju igir pelawangan yang sebenarnya. Kurang lebih sepuluh menit kemudian kami semua menghadap bebatuan nan gersang, namun berselimut kabut kelabu.

“Lanjut, kan?” Noly menoleh pada kami yang ada di belakang.

“Gimana kalau kita tunggu sampai kabut hilang,” kataku tidak berani spekulasi mendaki ke puncak tanpa bisa melihat jalur.

Masalahnya risiko ditanggung penumpang, seperti tersesat, kehilangan suar teman. Kemungkinan terkena hipotermia juga besar, karena kabut biasanya membawa uap basah. Belum lagi kalau badai tiba-tiba menyapa. Wasalam kita. Pokoknya jangan pernah meremehkan pertanda alam yang tampak nyata.

“Memang kenapa?” Ujang kelihatan tidak sabar.

“Mau nyasar langsung nyebur kawah?” sahut Pheenux.

“Kita sih, gak mau tragedi Mapagama terulang pada kita.” ujar Citonk.

Aku mengangguk mantap sangat setuju dengan ucapan Citonk. Masih tergambar jelas kejadian yang menggegerkan seisi kampus setahun lalu. Sembilan anggota Mapagama yang melakukan pendakian via Kaliwadas berpuncak di Baturaden, meninggal karena nekat mendaki sewaktu kabut tebal. Bukan karena kabut tebal semata, sebab tiba-tiba begitu sampai pertengahan pelawangan badai turut menghajar.

Kami sebagai sesama Mapala jelas ikut berduka atas kejadian tersebut. Tapi juga menyayangkan kenapa mereka tetap nekat mendaki ke puncak meski cuaca sedang tidak bersahabat.

Sewaktu kejadian itu, aku dan teman seangkatan minus Pheenux dan Citonk sedang melakukan Susur Pantai di Nusakambangan dalam rangka pengembaraan Anggota Muda, sebelum naik tingkat jadi Anggota Biasa. Beda dengan dua sobat gunungku, Pheenux dan Citonk yang memilih pengembaraan Konservasi Sungai, meneliti kualitas air Sungai Serayu.

“Kita tunggu aja, sabar.” Kentang bertindak sok bijak.

Kami meletakkan carrier dan terus menatap ke udara berharap kabut pekat segera berlalu. Penantian kami pun membuahkan hasil, pukul setengah sembilan kabut perlahan-lahan menyingkir. Semua bersorak dan mulai merayap menuju puncak Baturaden yang jalurnya berupa batu-batuan labil. Bahkan ada yang berupa tebaran batu kerikil. Sedikit susah untuk naik, karena setiap naik satu pijakan, berarti turun beberapa senti. Butuh ekstra kehati-hatian agar tidak terperosok turun dan mencium batuan yang kasar.

Lihat selengkapnya