Pendakian Gunung Slamet
*Hari Operasiona Ketiga (HOP3: 15.30 – 20.00):
Jalur semakin melandai. Perjalanan semakin cepat pula. Tiba di persimpangan Sumur Penganten, aku menawari siapa tahu ada yang mau mampir. Siapa tahu ada yang ingin mandi dan segera jadi pengantin. Semua kompak menjawab; enggak! Melajulah kami hingga sampai Jembatan Wlingi.
Setengah jam kemudian kami sampai di Tuk Suci. Sekitar pukul tiga waktu itu. Kami istirahat ngemil snack sembari menikmati jernihnya sumber air yang mirip kolam. Bila teman-teman ke sana sekarang, Tuk Suci telah mengalami perubahan total. Maksudnya sudah ada jembatan permanen untuk melintasi juga terdapat undak-undakan dari semen untuk menuju ke sumber air.
Pukul empat kami berenam menyongsong pemukiman penduduk. Lega rasanya. Tak perlu kemping lagi. Bisa langsung meluncur pulang.
Kali ini peruntungan rupanya berpihak pada kami. Setelah pamitan di pos pendakian Kaliwadas, sebuah truk lewat mengarah turun. Tanpa pikir panjang aku, Pheenux dan Citonk langsung menyetop truk itu agar mau memberikan tumpangan. Sayang dewi fortuna hanya memihak sekejap, baru jalan satu kilometer truk tersebut sudah berhenti. Sempat bingung, Pak Sopir bilang mau mampir ke rumah sebentar. Tapi hampir setengah jam ditunggu dia tidak muncul.
Di tengah kekecewaan yang beraroma gemas geli, tiba-tiba ada seorang warga yang memberi tahu kalau ada mobil pick up yang mau turun ke kota. Mereka menunjuk sebuah pick up yang sedang melaju membelok ke arah kanan.
“Yah, ketinggalan!” keluh Citonk.
Di tengah pengejaran yang berbuah kecewa, seorang bapak lain bilang kalau kami ternyata sedang ditunggu selepas belokan depan. Rupanya secara getok tular (informasi berantai) warga sekitar mengabarkan pada si empunya pick up kalau ada yang mau menumpang.
Setelah mengucapkan terima kasih pada warga setempat kami lalu berlari-lari menyongsong mobil pick up putih yang sedang menunggu kurang lebih dua ratus meter dari belokan.
Perjalanan nelangsa belum berakhir kawan, karena baru dapat setengah jalan kami telah diguyur hujan yang sangat deras. Raincoat kembali terpakai, terpal yang ada kami gunakan sebagai atap pelindung meskipun bocor sana-sini. Meski demikian kami masih sempat ketawa-ketiwi menahan gigil.
Tawa kami mendadak senyap ketika mobil tiba-tiba berhenti. Sudah begitu Pak Sopir meminta bantuan kami untuk mendorong mobilnya. Okelah, kalau begitu. Sebagai ungkapan rasa terima kasih, kami jelas tidak keberatan dengan permintaan si bapak.
Akan tetapi, si mobil pada akhirnya manja. Setiap akan melintasi tanjakan, dia selalu merengek minta didorong terus menerus. Tetapi kami ikhlas kok membantu mendorong. Malah masih sempat becandaan mengenai mobil si bapak yang mogok lagi, mogok lagi dengan bernyanyi.
Di tengah riuh nyanyian, Kentang tiba-tiba berceloteh bak seorang ahli mesin yang profesional, “Sepertinya mobil ini memakai bensin campur, deh” bisiknya kepada kami dengan mimik serius. “makanya sering mogok.”
“Sok tahu, kau!” rutuk Noly.
“Lah, iya, kan. Fakta nyata. Nggak mungkin murni pakai bensin. Buktinya selalu minta dorong. Mobil ini sudah pasti menggunakan bahan bakar bensin campur dorong.” Raut wajah Kentang masih terlihat sedang tidak becanda.
Kontan kami tertawa mendengar analisis Kentang yang super cerdas melampui IQ Einstein. Tetapi benar juga kata Kentang. Mobil pick up yang kami tumpangi sungguh merupakan suatu kombinasi yang sempurna antara tenaga mesin berbensin dengan tenaga dorong manusia.
Setelah menyadari hal itu, kami pun membuat jadwal pendorongan, agar kami tidak menjadi lelah semua. Dibuat sistem shift, gitu. Kelompok pendorong pertama terdiri dari Pheenux, Ujang dan Citonk. Pokoknya di mana ada Pheenux di situ harus ada Ujang. Kelompok pendorong kedua, jelas tinggal anggota yang tersisa, yaitu; aku, Noly dan Kentang.
Meski pada akhirnya Ujang mengeluh karena menjadi pejantan sendirian dalam kelompoknya. Kentang dan Noly tidak peduli. Lagi pula yang menentukan perkelompokan juga Ujang sendiri.
“Jilat tuh, ludah sendiri!” sembur Noly terdengar tak berhati.
Ujang merengut di pojokan. Aku senyum-senyum geli. Citonk berusaha menggodai.
“Dorong, Mas!” Pak Sopir terdengar berteriak dari arah kemudi.
“Siap!” seru kami kompak tak peduli hujan terus jatuh di antara kami.