The Threembak Kentir's

Xie Nur
Chapter #46

Cerita Mistis Pendakian Gunung Slamet

Ketika hujan telah reda dan terpal dibuka, serta kami tidak harus dorong-mendorong mobil lagi karena jalanan sudah mendatar, kami bisa menikmati perjalanan sambil menghirup udara secara leluasa. Saat itu Noly yang jarang bicara membuka mulut hingga membuat kami para cewek terpana.

“Aneh nggak sih, kalau tengah malam di tengah badai ada pendaki turun dari puncak?” ucap Noly memandang kami semua.

“Bisa jadi, mereka naik dari jalur lain lalu turun lewat Baturaden.” tanggap Kentang

“Aku pun memikirkan kemungkinan itu.” kata Noly. “Tapi tetap mustahil. Mereka jalan tanpa penerangan.”

“Kamu mimpi atau ngigau?” tanggap Ujang.

“Serius, aku melihat dengan mata kepala sendiri. Kebetulan aku kebelet pipis, nah, selesai itu sekelompok pendaki terlihat turun dari arah pelawangan.”

“Kamu senterin mereka?” tanya Pheenux.

“Iyalah, penasaran karena terdengar derap langkah kaki. Tapi nggak ke muka, ke arah jalan yang mereka lalui.”

 “Berapa pendaki?” tanyaku.

“Sekitar lima orang kalau nggak salah. Habisnya mereka terus jalan, hanya satu yang berhenti dan berpesan agar jangan naik saat badai.” terang Noly.

“Rupa mereka seperti apa?” tanya Citonk terdengar iseng, tetapi membuat kami semua penasaran.

“Seperti orang. Memangnya seperti apa?” ucap Noly memandang kami semua dengan bingung. “Lagian juga gelap, nggak begitu kelihatan juga sih.”

“Oh, berarti mereka memang orang.” tanggapku berpikir positif meski masih terdengar tidak masuk akal. Walaupun, kemungkinan mereka beneran pendaki yang kemalaman setelah muncak bisa saja terjadi.

Tetapi sekali lagi, di Gunung Slamet sangat tidak disarankan mendaki ke puncak saat malam hari. Sama seperti gunung berapi lainnya yang terdapat larangan mendadaki pada jam tertentu. Pada gunung yang masih aktif, kita juga tidak bisa menjelajah puncak sekehendak hati tanpa melihat waktu.

Dan lagi, kenapa setelah menjemput badai mereka tidak beristirahat barang sebentar untuk melepas lelah atau berkemah karena malam telah larut. Sebegitu ingin segera pulangkah sehingga melupakan resiko jalan malam di tengah hutan.

“Jangan-jangan mereka anak Mapagama yang dulu meninggal di sana.” Pheenux mencetuskan satu pemikiran horor. Senyumnya teruntai dengan mimik jahil.

“Hush!” sergahku. Aku menoleh ke Citonk.

“Yang meninggal berapa orang?” Noly memastikan.

“Lima,” sahut Pheenux.

Lihat selengkapnya