The Throne

Mentari
Chapter #1

Mustahil

Bel SMA Purna Bakti berbunyi tepat saat jarum panjang menyentuh angka 12. Puluhan siswa berlarian menyusuri jalanan rata yang menghubungkan gerbang luar dengan gerbang dalam sekolah.

Tamara berdiri tegap dengan posisi kedua tangan di depan dada. Rambutnya terkucir rapi, kacamata berlensa tebal bertengger di pangkal tulang hidungnya, lengan kemeja tidak tergulung lengkap dengan rompi hitam-biru tua dengan hiasan pin emas berbentuk perisai dengan ukiran bintang di bagian tengah dan tulisan “Discipline Comittee” mengelilinginya, rok abu-abu dengan lipatan rimple yang tegas, dan sepatu model warrior dengan tali yang terikat sempurna. Berdiri di sisi kanan dan kirinya dua siswi lainnya; yang satu berambut sebahu dengan bandana sementara satunya lagi memiliki rambut ikal yang dikuncir setengah. Masing-masing mendekap map berisi rekapan data pelanggaran yang dilakukan para siswa sejak tahun pertama.

“Bagi yang terlambat, buat barisan lima banjar di hadapan saya.”

 Tamara memperhatikan satu per satu wajah para siswa yang dengan malas berusaha merapikan barisan. Barangkali mereka bosan mendapat perlakuan yang sama karena pelanggaran yang berulang kali dilakukan. Namun, Tamara tidak akan pernah bosan mengadili setiap pelanggaran.

“Aku akan mendata barisan pertama dan kedua. Bella, Renata, kalian urus sisanya.”

Bella dan Renata mengangguk bebarengan kemudian bergegas melaksanakan perintah.

Tamara, siswi kelas X-A1 kelas internasional, dikenal oleh para senior sebagai junior paling kurang ajar, tidak tau sopan santun, dan miskin ilmu mengenai hal-hal terkait senioritas. Seakan tidak peduli dengan statusnya sebagai siswi tahun pertama, Tamara tidak pernah ragu menegur dan mengadili setiap pelanggaran yang dilakukan oleh kakak kelas. Hukum bersifat universal dan dibuat untuk dipatuhi. Pelanggaran tidak dapat ditoleransi dan harus diadili. Seperti itulah prinsip yang Tamara pegang erat-erat sejak hari pertamanya bertugas sebagai ketua komite kedisiplinan.

Mendapati Tamara kian mendekat, siswa-siswi pada barisan pertama dan kedua mendengus kesal. Tidak ada yang lebih sial dibandingkan datang terlambat pada hari Senin dengan kondisi seragam sekolah, atribut, dan rambut yang tidak sesuai dengan aturan sekolah dan diadili oleh Tamara Adzkia Putri. Tidak seperti Bella dan Renata yang bisa diajak kerja sama dengan dalih ‘Kita, kan teman’, ‘Ingat, aku kakak kelasmu’, atau kedipan maut, keputusan Tamara bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.

Tamara mencatat dengan cepat pelanggaran masing-masing siswa pada barisan yang menjadi tanggung jawabnya. Cepat dan cermat, tanpa ada satu pun yang terlewat.

“Oke, yang terakhir adalah...”

Tamara mengangkat kepala. Berdiri di hadapannya siswa dengan tinggi sekitar seratus tujuh puluh senti tengah mengumbar senyum yang berhasil membuat Tamara mengerutkan dahi.

“Kenapa kamu senyum-senyum begitu?”

“Hm... tidak apa-apa.” Siswa itu menjawab dengan santai, seakan tidak tau dengan siapa dia sedang berbicara. “Lagipula di dalam buku peraturan sekolah tidak ada larangan untuk tersenyum, kan?” Senyum siswa itu kian merekah, membuat Tamara menggelang-gelengkan kepala.

“Rifki Amrullah, ya?” Tamara membolak-balikan kertas dalam map, mencari lembar kontrol milik Rifki.

“Kamu tau namaku?” Dari nada bicaranya, jelas siswa itu terkejut. “Padahal kamu anak kelas internasional, sementara aku anak kelas reguler.”

 Tamara berhenti membolak-balikan kertas setelah berhasil menemukan lembar kontrol Rifki yang ada dibagian paling belakang, tanpa ada kolom kosong yang tersisa. Pelanggaran yang dilakukan siswa berambut gondrong itu sudah kelewat banyak. Tamara kembali menatap siswa itu dan dengan pulpen yang digenggamnya, dia menunjuk sesuatu yang tersemat pada kemeja kusut yang dikenakan siswa itu.

“Aku tau dari papan namamu.”

Siswa itu mengangguk. Tanpa sadar dia mengusap punuknya yang tidak gatal.

“Lagi-lagi, pelanggaran yang sama. Rambut panjang melebihi tiga senti, tidak mengenakan dasi dan rompi, lengan kemeja terlipat, setidaknya kali ini kamu telah memasang papan namamu.”

“Bagaimana kamu tau kalau sebelumnya aku tidak memasang papan nama?”

Tamara meremas pulpen dalam genggaman tangannya. Entah mimpi apa dia semalam hingga harus berurusan dengan orang yang tengah berdiri di hadapannya saat ini.

“Karena semua pelanggaranmu tertera jelas di sini.”

Siswa itu meng-oh, senyumnya kian mekar.

“Karena pelanggaran hari ini, total poin pelanggaranmu sudah melebihi batas. Aku akan mengirimkan surat panggilan untukmu menemui Pak Anton.”

Siswa itu mengangkat tangan kanannya kemudian meletakan ujung jarinya di sisi kepala dekat bagian pelipis, seolah-olah memberi hormat kepada komandan upacara. Tamara menghembuskan napas lega karena urusannya dengan Rifki sudah selesai. Tamara berharap Rifki tidak lagi terlambat pada hari Senin sehingga dia tidak perlu repot-repot berurusan dengannya lagi.

**

Atmosfer seketika berubah ketika Tamara melangkah tegas melewati lorong gedung kelas reguler. Buru-buru para siswa yang tengah berlalu lalang menepi, memberi jalan kepada Tamara. Bella dan Renata yang mengekori Tamara tidak kuasa menahan tawa.

“Ada apa?”

Tamara bertanya tanpa menoleh. Pandangan matanya tajam tertuju ke depan. Tubuhnya tegap dan sebelah tangannya menggenggam selembar amplop.

“Kamu harus perhatikan ekspresi para siswa di sekeliling kita. Mereka begitu ketakutan seakan kedatangan guru paling killer di sekolah.”

“Atau mungkin malaikat pencabut nyawa.” Bella menimpali, membuat Renata memegangi perutnya yang semakin sakit karena terlalu lama tertawa.

“Kalau membunuh tidak menjadikanku orang jahat, akan kubunuh siapa pun yang melanggar peraturan sekolah.”

Bella dan Renata spontan terdiam dan saling melempar pandangan. Keduanya sepakat, suasana hati Tamara sedang tidak terlalu bagus hari ini. Barangkali karena seorang siswa kelas X-S3 yang akan Tamara temui kali ini.

“Saya perlu bertemu dengan Rifki Amrullah.”

Lihat selengkapnya