The Throne

Mentari
Chapter #2

Takdir

Ok, class is over. Don’t forget to submit your paper before Friday 8 p.m by email.”

Yes, Sir.”

               Tamara menutup buku catatan Biologi dan mulai membereskan meja. Tepat saat sedang merapikan alat tulis, ponselnya bergetar.

From: Mr. Anton

Tamara, come to my office at first break. I have something to tell you.

     Belum selesai menulis pesan balasan kepada Pak Anton, ponselnya bergetar lagi. Kali ini panggilan masuk dari Bella.

“Halo?”

Aku dan Renata sudah menunggu dekat tangga. Ayo kita ke kantin.”

“Maaf, aku harus menemui Pak Anton sekarang juga. Aku akan menemui kalian di kantin setelah urusanku dengan beliau selesai.”

“Oke. Semangat, Tamara! Bye!”

Buru-buru Tamara memasukan barang-barangnya ke dalam tas kemudian berlari kecil menuju gedung A. Kantor Pak Anton sang ketua dewan kesiswaan berada di lantai dasar. Ruangan kedua dari kiri. Siapa pun bisa menemukan kantornya dengan mudah. Tidak ada staf atau guru SMA Purna Bakti lain yang memasang hiasan origami di pintu kantor. Kecuali Tamara, tidak ada siswa yang tau cerita dibalik hiasan origami yang sudah menghiasi pintu kantor Pak Anton sejak hari pertamanya menjadi guru di SMA Purna Bakti sehingga menganggapnya sebagai sesuatu yang aneh dan menggelikan. Tamara yang sudah ribuan kali mendengar cerita tentang hiasan origami itu, justru menganggap Pak.

“Permisi, Pak.”

Tamara mengetuk pintu kantor Pak Anton dengan sopan. Pak Anton yang tengah menyeruput segelas teh panas melambaikan sebelah tangan yang tidak memegang gagang cangkir, memberi isyarat pada Tamara untuk masuk dan duduk di hadapannya.

“Ada hal penting apa, Pak?”

“Jadi begini.” Pak Anton menyodorkan map biru kemudian menunjukan selembar surat di dalamnya. “Kamu memberi surat panggilan orang tua kepada Gigih sebulan yang lalu?”

Tamara mengangguk.

“Apakah kamu sudah tau tentang kedua orang tuanya?”

Tamara mengangguk lagi.

“Saya sudah tau, Pak. Akan tetapi, aturan tetap aturan. Surat panggilan orang tua harus tetap diberikan kepada siapa pun yang telah mendapatkan poin pelanggaran lebih dari tiga ratus poin. Siapa pun, tanpa terkecuali. Saya dengar Gigih dibantu oleh pamannya. Gigih bisa meminta pamannya datang sebagai seorang wali.”

Kerutan tegas terbentuk di antara kedua pangkal alis tipis Pak Anton.

“Ada masalah apa, Pak?”

“Seseorang datang kemari sebagai wali Gigih dan membawa surat panggilan orang tua yang kamu berikan padanya. Kamu bisa menebak siapa yang datang?”

Tamara menggelng. Kemungkinan terbesar paman Gigih yang datang tapi Tamara tidak sepenuhnya yakin. Dia sama sekali tidak mengenali siswa itu. Dia hanya tau nama, kelas, dan kenyataan bahwa—entah untuk alasan apa— dia membenci siswa itu lebih dari siapa pun.

“Adiknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar kelas lima. Dia menemukan kertas ini di lemari baju kakaknya dan mengatakan bahwa seseorang telah membuat kesalahan. Dia percaya kakaknya tidak mungkin melanggar peraturan sekolah.”

“Saya menghitung poin pelanggarannya berkali-kali dan hasilnya tidak berubah, Pak. Poin pelanggarannya memang sebanyak itu.”

“Saya percaya padamu. Saya rasa, akhir-akhir ini Gigih mengalami banyak kesulitan. Pada awal semester ganjil, dia tidak seperti sekarang meskipun sudah mulai terlihat bergaul dengan gengnya Bono yang tingkah lakunya seribu macam. Sejak semester dua, dia mulai sering melakukan pelanggaran terutama terlambat, persis seperti Bono dan gengnya. Saya sempat mengundangnya kemari dan dia bersikap seolah semuanya baik-baik saja.”

“Lalu?”

“Seingat saya, kamu aktif di komite kedisiplinan pada akhir semester ganjil menjelang awal semester genap.”

“Mohon maaf Pak sebelumnya.” Tamara menegakkan punggung. “Kenapa jadi membahas tentang saya”

“Ketika saya menemui Gigih, ditanya apapun dia selalu menjawab seenaknya. Dia bahkan menganggap terlambat masuk sekolah adalah hal yang wajar bagi seorang siswa. Akan tetapi, begitu saya membahas jadwal patrolimu dengan Pak Firman, gelagatnya berubah.”

“Kalau boleh tau, ada masalah apa ya dengan jadwal patroli saya?”

“Pak Firman berpikir keterlibatanmu pada patroli hari Kamis bisa mengontrol peningkatan jumlah siswa-siswi yang terlambat tiap minggu. Tapi kamu tetap ditugaskan patroli pada hari Senin karena ada upacara bendera sehingga sebisa mungkin jangan ada yang terlambat."

Tamara meng-oh lirih.

“Kembali pada Gigih.” Jemari Pak Anton terjalin di atas meja. “Sejak saat itu, entah kebetulan atau tidak, dia terlambat pada hari Senin.”

Tamara menelan ludah pelan.

“Saya rasa Gigih memandangmu sebagai seorang role model, seorang panutan, seseorang yang punya kemampuan mengubah orang lain. Bisa jadi sebenarnya Gigih sedang menunggu seseorang membantunya tapi tidak ada yang bisa dia percaya selain kamu. Jadi Tamara,” Pak Anton menatap serius salah satu murid kebanggaannya, “tolong bantu saya untuk mencaritau seperti apa sebenarnya keadaan keluarga Gigih dan bantu dia kembali ke jalan yang benar sebelum dia terlibat masalah. Saya bersyukur hingga saat ini dia tidak terlibat perkelahian seperti Bono dan kawanannya dan saya tidak mau hal itu sampai terjadi. Saya tau Gigih tidak sama seperti Bono dan kawanannya. Bahayanya, sedikit saja dia mendekati batas akhir poin pelanggaran, pihak sekolah akan mempertimbangkan untuk mengeluarkannya dari sekolah. Dan saya tidak mengharapkan itu mengingat dia anak yang cukup pintar”

“Jadi saya harus mengintrogasi Gigih?”

“Bukan dengan introgasi tapi dengan suatu pendekatan. Berusahalah agar dia terbuka denganmu dan pada akhirnya mau berbagi cerita tentang keluarganya atau apapun terkait kehidupan pribadinya denganmu.”

Tamara mengatur laju napas dan detak jantungnya. Gadis itu tidak bisa membayangkan dirinya melakukan pendekatan dengan siswa seperti Gigih, ketika sejujurnya dia tidak ingin berurusan dengan siswa nakal itu lagi.

Lihat selengkapnya