Jam weker di atas meja kecil dekat ranjang Tamara masih menunjukan pukul enam pagi tapi gadis itu sudah sangat siap berangkat sekolah. Dilihatnya kalender dekat jendela kamar yang menghadap ke arah jalan besar, liburan panjang telah selesai. Kini Tamara telah berstatus sebagai siswi kelas dua sekaligus ketua komisi kedisiplinan acara masa orientasi siswa selama seminggu ke depan.
“Tamara... Mama pulang...”
Tamara menoleh cepat ke arah pintu kamar kemudian bergegas menyambar tas punggungnya dan menuju ruang tamu untuk menyambut wanita berumur empat puluhan yang terakhir kali dia temui hampir dua bulan yang lalu.
“Pagi-pagi kok sudah rapi?” Mama memeluk Tamara begitu dalam sembari mengelus pelan kepala putri semata wayangnya.
“Hari ini aku bertugas, Ma. Hari ini, kan masa orientasi siswa dimulai.”
Tamara membetulkan posisi tali tas di pundaknya.
“Maaf, prestasiku turun semester kemarin. Aku sempat kurang fokus pada masa-masa ujian.” Mama melepas pelukannya kemudian menatap dalam kedua mata Tamara, di mana berkelut begitu banyak ketakutan di sana.
“Kamu tidak diam-diam... kamu tau, ketika anak-anak beranjak remaja... mereka...” Buru-buru Tamara menggeleng sebelum Mama sempat memperjelas pertanyaannya.
“Aku tidak ada waktu untuk memikirkan hal-hal tidak penting seperti itu, Ma. Aku sudah cukup sibuk belajar, menjadi ketua komite kedisiplinan dan mengurusi kegiatan OSIS lainnya. Aku janji, nilaiku akan lebih baik semester depan.”
“Tidak apa-apa, Sayang.”
Tidak apa-apa. Sungguh jawaban yang tidak pernah Tamara duga. Tamara kira setelah ini Mama akan mendaftarkannya ke beberapa program bimbingan belajar intensif meskipun baru saja menginjak tahun kedua, seperti dulu saat dia masih duduk di bangku SMP. Mama tidak pernah mentoleransi nilai turun. Mama bahkan telah memperingatkan Tamara sejak hari pertamanya sebagai siswi SMA dimulai. Mama mengatakan nilai turun akan memperburuk grafik rekam akademik sehingga memperkecil kemungkinan mendapatkan undangan untuk melanjutkan sekolah di universitas negeri ternama.
Mama mengelus ujung pundak Tamara.
“Ada apa, Ma?” Secepat kilat Tamara menyadari perubahan garis wajah Mama.
“Hm...” Pandangan mata Mama yang tidak fokus menatap Tamara membuat Tamara semakin penasaran. “Kamu ada waktu, kan malam Sabtu minggu ini? Bagaimana kalau kita dinner di restoran Italia kesukaan kita seperti dulu?”
“Dalam rangka apa?”
“Ti-tidak ada apa-apa. Hanya... Mama ingin menghabiskan waktu denganmu.”
“Tidak mungkin.” Tamara menurunkan kedua tangan Mama dari pundaknya. Kerutan tegas muncul di tengah pangkal alisnya. “Mama tidak mungkin ragu mengatakan sesuatu sesederhana itu. Jujur, Ma. Ada apa sebenarnya?”
Mama menghembuskan napas berkali-kali, selama beberapa menit tidak ada yang terucap dari mulutnya sementara Tamara telah mati penasaran.
“Ma, jawab pertanyaanku.”
“Mama ingin mengenalkanmu pada Robby.”
“Siapa Robby?”
“Teman Mama saat kuliah. Mama tidak sengaja bertemu dengannya saat Mama pergi bertugas ke luar kota. Ternyata dia juga sekarang tinggal di Bandung.”
“Untuk apa aku bertemu dengannya?”
“Sayang...” Mama menekuk lutut kemudian menatap intens mata Tamara. “Mama dan Robby dulu berteman sangat dekat semasa kuliah tapi sesuatu terjadi dan Mama tidak bisa menghubunginya lagi. Sekarang, situasinya telah berbeda—”
Tamara menyadari cincin dengan batu warna merah darah menghiasi jari manis Mama yang biasanya dihiasi cincin dengan batu kaca yang kini pindah ke jari tengah.
“Jadi Mama mau menikahi orang itu?”
Nada bicara Tamara meninggi. Perlahan dia melangkah mundur, kedua matanya berkaca-kaca. Tamara kira dia berlebihan menanggapi ucapan Mama dan cincin batu merah itu. Akan tetapi, Mama yang memilih diam seolah menjelaskan bahwa dugaan Tamara tepat sasaran.
“Lalu bagaimana denganku?”
“Bagaimana denganmu? Sayang, kita akan kembali menjadi keluarga utuh. Itulah yang kan terjadi.”
Mama tak gentar berusaha membujuk Tamara tanpa tau bahwa sejak awal Papa meninggalkan rumah, Tamara berniat untuk tidak menerima siapa pun menjadi papa barunya.
“Kenapa kamu bertanya demikian seolah dengan Mama menikahi Robby semuanya akan menjadi lebih buruk?”
“Pokoknya, aku tidak akan menemui Robby. Apapun yang terjadi. Titik.”
Belum sempat Mama membalas ucapannya, Tamara sudah berlari menuju garasi dan mencari Pak Johan untuk mengantarnya ke sekolah. Wajah Papa muncul dalam bayang-bayangnya. Tamara pikir, setelah berpisah selama hampir dua tahun, Mama dan Papa bisa mulai saling memaafkan dan kembali menerima satu sama lain. Terutama Mama yang dua tahun lalu melayangkan gugatan cerai kepada Papa. Akan tetapi, permintaan Mama yang terdengar begitu konyol dan egois barusan dalam sekejap berhasil meruntuhkan harapan Tamara untuk mempersatukan kembali keluarganya.
**
Masa orientasi siswa hari ketiga diawali dengan pemeriksaan barang bawaan para siswa kelas X. Para siswa-siswi kelas X-S3 dengan sigap beranjak dari bangku saat mendapati sosok Tamara memimpin pasukan komite kedisiplinan memasuki ruang kelas untuk memulai pemeriksaan.
“Saya rasa peraturan untuk kalian selama masa orientasi siswa tidak terlalu sulit. Akan tetapi, rupanya masih ada yang melanggar seolah hal itu bukan masalah besar.”
Suasana kian tegang, hampir semua siswa menundukan kepala, tidak berani memandang Tamara yang berdiri tegap dengan posisi istirahat di tempat.
“Tujuan dari adanya peraturan adalah agar terciptanya keamanan, kenyamanan, dan ketertiban. Peraturan dibuat sebagai pedoman, bukan untuk memberatkan. Kalau tidak sejak dini kalian belajar mematuhi aturan, mau kapan lagi? Apabila di sekolah saja kalian tidak bisa mematuhi aturan, bagaimana kalian menyesuaikan diri dengan mematuhi peraturan di masyarakat? Bagaimana dengan peraturan bernegara? Semuanya berawal dari sini, di sekolah. Mau jadi apa kalian nanti? Sampah masyarakat? Beban negara?”
Suasana semakin hening. Beberapa murid lain yang kebetulan melintas depan kelas X-S3 melambatkan langkah, sesaat turut menyaksikan apa yang sedang terjadi.
“Keluarkan isi tas kalian. Jangan coba-coba menyembunyikan sesuatu dari kami.”