The Throne

Mentari
Chapter #5

Egois

“Pemimpin, seringkali dianggap sosok yang paling hebat. Akan tetapi, seorang pemimpin sejatinya tidak akan pernah bisa berdiri sendiri. Oleh karena itu, dengan sepenuh hati, saya mohon dukungannya agar saya, Gigih Eka Permana dari kelas XI-S3 bisa menjadi ketua OSIS selanjutnya. Terima kasih.”

Tamara mengusap leher dengan kedua tangan beberapa kali kemudian memeluk guling dengan erat. Geli rasanya mengingat kata-kata yang diucapkan Gigih tadi siang. Entah bagaimana bisa siswa yang beberapa bulan lalu tercatat sebagai salah satu siswa dengan poin pelanggaran paling banyak di sekolah kini menjadi calon ketua OSIS.

Sebenarnya, perubahan drastis pada diri Gigih secara tiba-tiba sangat menguntungkan bagi Tamara. Dia tidak perlu pusing-pusing membantu Gigih kembali ke jalan yang benar seperti yang Pak Anton tugaskan padanya. Akan tetapi, kalau sebagai bayarannya adalah menerima Gigih sebagai lawannya dalam seleksi ketua OSIS, Tamara juga tidak bisa semudah itu merelakannya. Tamara terus mengumpat dalam hati, memprotes dirinya sendiri karena terus mengingat kata-kata yang diucapkan Gigih dengan penuh percaya diri dan diakhiri senyum khasnya yang benar-benar membuat Tamara muak.

“Tidak, aku tidak bisa membiarkan diriku kalah dan melihatnya menjadi ketua OSIS menggantikan Kak Ridwan.” Tamara semakin kuat memeluk guling sebelum kemudian menghempaskannya. “Bahkan membiarkan dirinya menjadi sainganku sudah merupakan sebuah penghinaan besar. Belum lama ini peringkat paralel, sekarang posisi ketua OSIS. Kenapa aku bisa sejak awal tidak curiga dengan perubahan drastisnya yang terjadi dalam semalam itu? Tidak, ini tidak bisa dibiarkan.”

Suara klakson mobil yang terdengar dari arah jendela membuat Tamara spontan melompat dari atas tempat tidur. Suara klakson mobil itu jelas bukan suara klakson mobil yang biasa Mama gunakan untuk pergi ke kantor atau mobil yang biasa Pak Joni pakai untuk mengantarnya ke sekolah.

Sebuah mobil hitam mengkilap berhenti tepat di depan pagar rumah yang menjulang tinggi. Pak Oman sang penjaga rumah buru-buru membukakan pintu, mempersilakan mobil hitam itu memasuki halaman rumah. Tamara bertanya-tanya dalam hati, siapa seseorang di dalam mobil hitam mewah itu hingga Pak Oman tidak ragu mempersilakannya masuk.

“Non?”

Perhatian Tamara teralihkan ketika mendengar suara Bi Imah memanggilnya dari balik pintu.

“Nyonya nyuruh Nona Tamara ganti bagus dan turun ke ruang tamu. Ada tamu penting.”

Kepalan tangan Tamara kian menegang. Pemilik mobil itu sudah pasti Robby, kekasih Mama. Mama pasti mengadakan pertemuan ini diam-diam agar Tamara tidak bisa kabur seperti pada hari Jumat yang lalu, ketika tanpa pemberitauan Tamara memutuskan bermalam di kafe demi menghindari pertemuan makan malam sekaligus berkenalan dengan pacar baru Mama. Tamara kesal karena kali ini dia tidak bisa kabur.

“Non?”

“E-eh i-iya Bi, sebentar lagi saya turun.”

Dengan malas Tamara membuka lemari baju. Mata tajamnya memandang satu per satu dress yang tergantung rapi di sana. Selang sepuluh menit berlalu, Tamara telah memutuskan pakaian yang akan digunakan untuk menyadarkan Mama bahwa Tamara sepenuhnya menentang rencana pernikahan itu.

“Tamara?”

Mata Mama membulat melihat putri semata wayangnya muncul di mulut tangga dengan piyama corak karakter kartun ditambah rambut yang tidak rapi dan penutup mata tersemat menutupi dahi.

“Bi Imah...”

Bi Imah yang tengah berdiri di dekat sofa menundukan kepala, bimbang antara akan membela diri atau membela anak majikannya.

Lihat selengkapnya