Pukul sepuluh lebih lima belas menit, bel tanda masuk jam istirahat pertama berbunyi nyaring. Setelah Mr. James—guru Matematika kelas internasional—keluar kelas XI-A1, berbondong-bondong para siswa mengerubungi meja Tamara. Mereka berebut pulpen di atas meja dan dengan cepat menuliskan nama serta membubuhkan tanda tangan pada lembar dukungan angkatan. Tidak sampai lima menit, dua puluh baris sudah terisi penuh. Tamara tidak perlu repot-repot mengerahkan tenaga untuk mendapat dukungan dari teman-teman sekelasnya. Mereka semua paham betul bahwa tidak ada murid lain yang lebih pantas mendapatkan posisi terhormat sebagai ketua OSIS selain Tamara.
“Tamara, your speech yesterday was great! You are amazing! I’m rooting for you to be the next school body president!”
seru Angel dengan aksen Britishnya yang memesona. Ujung bibir Tamara hanya naik sedikit. Kata-kata sanjungan yang keluar dari mulut teman sekelas bukan sesuatu yang baru baginya.
“Tamara!”
Tamara mendapati Bella dan Renata melambaikan tangan dari balik kaca jendela. Tidak ingin membuat keduanya menunggu, Tamara bergegas merapikan meja lalu melangkah keluar kelas dengan map berisi lembar dukungan angkatan dalam dekapan.
“Bagaimana? Dukungan anak internasional sudah penuh?” tanya Renata.
Tamara membalas dengan anggukan pelan disusul dengan helaan napas panjang.
“Kamu kenapa, Ra? Kok sepertinya tidak bersemangat?”
Langkah Tamara terhenti di mulut tangga. Gadis itu mengangkat lembar dukungan angkatan kelas reguler yang sama sekali belum terisi.
“Ya ampun Ra... Tenang saja. Ini, kan masih hari Senin. Kamu masih punya waktu hingga hari Jumat.” Bella yang berdiri di samping kanan Renata mengangguk mantap dengan kepalan tangan di samping tubuh mungilnya. “Kamu hanya perlu meyakinkan mereka untuk mendukungmu.”
“Justru itu. Aku tidak tau bagaimana caranya. Delapan puluh orang bukan jumlah yang sedikit. Delapan puluh orang itu sekitar dua puluh persen dari total siswa reguler di angkatan kita. Paling tidak aku harus mendapatkan enam belas dukungan tiap hari agar bisa mengumpulkan setidaknya delapan puluh dukungan hingga hari Jumat. Waktu yang bisa kugunakan untuk mencari dukungan hanya pada saat jam istirahat pertama dan kedua, yang berarti hanya sekitar enam puluh menit. Agar tiap hari bisa mendapatkan minimal enam belas dukungan, aku harus berhasil mendapatkan satu dukungan dalam waktu kurang dari empat menit. Dan sekarang—” Tamara melihat sekilas bandul jam pada pergelangan tangan kirin, “waktu istirahat sudah tinggal—“
“Oke, Ra. Cukup dengan perhitungan Matematikamu yang luar biasa.”
Renata tidak habis pikir sebab Bella dengan santainya memotong ucapan Tamara. Tidak ada satu pun orang yang pernah memotong ucapan Tamara sebab mereka tau betul gadis itu tidak menyukainya. Bella beruntung Tamara sedang tidak terlalu bersemangat, termasuk untuk mengingatkan Bella tentang dosa yang baru saja dia lakukan tanpa sadar.
“Ra, kamu terlalu berlebihan.” Bella menambahkan. “Tenang saja. Aku yakin kamu bisa dapat delapan puluh dukungan sebelum hari Jumat berakhir.”
Sejak pertama kali mendengar pengumuman bahwa setiap calon ketua OSIS harus mencari dukungan seratus teman angkatan, Tamara sadar tugas ini tidak akan menjadi tugas yang mudah. Tamara berusaha memenuhi pikirannya dengan hal-hal positif demi menyelesaikan tugas sulit ini tapi tetap saja, Tamara tidak bisa mengelak bahwa kini dia seperti kembali menjadi dirinya sepuluh tahun yang lalu. Kala itu dia masih seorang gadis kecil yang merasa insecure dan penuh ketidakyakinan. Beruntung, keinginannya untuk menjadi ketua OSIS masih sangat kuat, terlebih rasa tidak rela bila posisi ketua OSIS menjadi milik orang lain terutama si satu-satunya calon dari kelas IPS, sehingga tidak terpikirkan ide untuk menyerah.
“Ya, kamu benar,” sahutnya, kemudian memandang Renata dan Bella bergantian. “Ayo.”
Bella dan Renata mengekori Tamara menuruni tangga. Ketika sampai di lantai dasar gedung A, keramaian di sayap kanan mengundang ketiganya untuk sesaat memberikan perhatian mereka.
“Ada apa, ya? Kok ramai sekali?” Bella menerka-nerka.
Tamara mendekati keramaian dan langkahnya terhenti saat dilihatnya sosok Gigih berjarak sekitar tiga meter dari tempatnya berdiri. Beberapa siswa tampak mengerubungi Gigih, mengantri dengan rapi untuk memberikan dukungan mereka. Gigih tidak sendiri. Dia ditemani Arman, Bono, dan Tio, tiga siswa yang kerap jadi incaran guru BP karena ulah mereka yang membuat para guru pusing tujuh keliling.
“You, support me, yes?” tanya Gigih terbata-bata kepada seorang siswi berambut pirang yang kebetulan melintas, diakhiri dengan senyum lebar yang membuat kepalan tangan Tamara kian dalam.
Siswi berambut pirang yang merupakan teman sekelas Tamara dengan senang hati menuliskan namanya pada baris nomor sembilan belas.
“Thank you, thank you,” ujar Gigih saat siswi berambut pirang itu selesai membubuhkan tanda tangan.
Ketika memalingkan pandangan ke arah lain, Gigih menyadari kehadiran Tamara, membuatnya langsung berlari menghampiri siswi berkacamata yang justru dengan cekatan berusaha menghindar.
“Hai, Tamara,” sapa Gigih setelah berhasil mendahului Tamara dan berdiri tepat di hadapannya. Gigih refleks merapikan rambut bagian depan yang agak berantakan, memastikan dirinya tampak rapi. Cerobohnya, secara tidak sengaja Gigih menjatuhkan lembar dukungan angkatan miliknya di hadapan Tamara, membuat Tamara bisa melihat dengan jelas bahwa Gigih melaksanakan tugas dengan sangat baik: lembar dukungan angkatan kelas internasional hampir terisi penuh—hanya tersisa satu baris kosong—dan setidaknya sudah lebih dari empat puluh nama memenuhi lembar dukungan angkatan kelas reguler.
Gigih buru-buru memungut lembar dukungan angkatan yang berserakan di lantai lalu menyodorkan salah satunya ke arah Tamara yang masih terpaku di tempat.
“Boleh aku minta dukunganmu?”
Tamara tidak melepaskan tatapan intensnya dari Gigih, bahkan ketika Arman, Bono, Tio, juga Bella dan Renata telah bergabung bersama mereka. Napas Tamara naik turun. Sulit baginya mengakui kalau saat ini dia jauh tertinggal dari Gigih. Tamara tidak menyangka bahwa Gigih akan semudah itu mendapatkan dukungan, bahkan dari kelas internasional. Hanya bermodalkan kemampuan berbicara bahasa Inggris yang pas-pasan dan seringai lebar sebagai bonus di akhir, satu per satu dukungan berhasil Gigih kumpulkan.
“Tamara?” Bella menepuk pelan pundak Tamara. “Itu Gigih...”
“Jangan pernah berharap kamu bisa mendapatkan dukungan dariku.”
Tamara memberi penekanan yang begitu tegas diakhir ucapannya, kemudian berlalu menjauhi kerumunan.
“Yah... ada yang ditolak, nih!” celetuk Bono, disusul kikikan Arman dan Tio.
“Kamu masih butuh satu dukungan dari anak internasional, Gih?”
Gigih mengangguk pelan.
“Aku bersedia kok mendukung kamu,” ucap Bella tanpa berpikir panjang. “Walaupun... kamu secara harfiah adalah musuh dari sahabatku.”