Kejadian hari Senin menjadi cambuk bagi Tamara. Dia semakin tersadarkan untuk mengerahkan lebih banyak tenaga demi mengumpulkan delapan puluh dukungan. Ditambah kejadian di kantin dan kata-kata yang dia ucapkan pada Gigih, gadis itu terdorong untuk membuktikan bahwa ucapannya bukan gertakan sambal semata, bahwa dia benar-benar bisa mendapat dukungan siswa kelas reguler tanpa bantuan keempat sekawan itu.
Tamara memandang hari Selasa sebagai hari baru dengan penuh kesempatan dan peluang baru. Tanpa memberitau Renata dan Bella, Tamara seorang diri segera menuju gedung kelas reguler selepas kelas berakhir.
Pada jam istirahat pertama, Tamara berhasil mengumpulkan sebelas dukungan. Semuanya dari siswa kelas reguler yang juga rekan satu tim di kepengurusan OSIS: Jinan, Budi, dan Ani dari Bidang Komunikasi dan Publikasi; Rahma, Tania, Olla, dan Putri dari Bidang Kreatif; Yudha dan Gina dari Bidang Pengembangan Diri; serta Hani dan Ulli dari Bidang Kedisiplinan Siswa. Pada jam istirahat kedua, Tamara berhasil mengumpulkan lima belas dukungan dari beberapa teman yang juga anggota komite kedisiplinan dan beberapa rekannya di kepengurusan OSIS. Dua puluh enam dukungan dalam satu hari tidak cukup membuat Tamara tenang. Perhitungan matematika mengatakan bahwa setidaknya dia harus mendapat tiga puluh dua dukungan pada hari Selasa.
Memasuki hari Rabu, semangat Tamara mulai terkikis. Pesan singkat dari Renata dan Bella terus berdatangan, namun tidak ada yang Tamara balas. Sebelum Renata dan Bella muncul dari balik pintu kelasnya seperti yang terjadi hampir setiap saat, begitu selesai merapikan meja, Tamara bergegas menuju gedung kelas reguler.
Langkah kaki Tamara terhenti di halaman depan gedung kelas reguler. Jantungnya berdebar sangat kencang. Napasnya naik turun tidak beraturan, seirama dengan detak jantungnya yang semakin brutal. Ya, tidak, ya, tidak, ya, tidak, Tamara terus bertanya kepada dirinya sendiri. Sebagian dirinya mendorong untuk terus berjuang karena ini adalah satu-satunya cara untuk bisa menjadi ketua OSIS sementara sebagian lain mendorongnya untuk berbalik dan kembali ke kelas karena mau sekeras apapun Tamara mencoba, hasilnya sudah terlalu jelas. Beruntung kali ini semangat yang tidak lagi utuh dalam dirinya memenangkan pergolakan batin itu.
“Permisi.”
Sepatah kata yang Tamara lontarkan dengan nada sopan dan tegas itu berhasil menyita perhatian gerombolan siswi di depan kelas XI-A2.
“Saya... Tamara Adzkia Putri dari kelas XI-A1 mau... meminta dukungan kalian.” Tamara menyodorkan lembar dukungan yang baru terisi sedikit. Yang diajak bicara malah saling melempar pandang, kemudian salah satu—yang duduk di sisi paling kanan dan mengenakan bandana putih— mendorong pelan lembar dukungan yang Tamara sodorkan.
“Kamu... kenal sama kita?” tanyanya.
Baru saja Tamara bermaksud curang, kenyataan menjadi semakin pahit sebab tidak satu pun di antara mereka menyematkan papan nama pada kemeja.
Pertanyaan maut itu seakan menghentikan waktu. Tamara terdiam beberapa saat sebelum kemudian perlahan menarik lembar dukungan ke dalam pelukannya. Tamara ingat pernah bertemu mereka beberapa kali di depan lobi sekolah pada hari Senin dan memberi poin pelanggaran karena terlambat dan melanggar ketentuan atribut sekolah. Tamara kesal setengah mati kepada diri sendiri yang mampu mengingat materi pelajaran dengan sangat mudah namun sangat lemah mengingat nama.
“Bagaimana mungkin kamu meminta dukungan dari kami sementara tau nama kami pun tidak?” ujar yang lain, yang duduk di sisi paling kiri
Tamara melangkah mundur lalu beralih haluan menuju kelas sebelah, bermaksud mencoba peruntungan ke kelas XI-A3.
Tamara memberanikan diri menghampiri siapa saja, sembari berusaha mengintip papan nama calon targetnya, berjaga-jaga kalau mereka menanyakan hal yang sama. Akan tetapi, bermodalkan tau nama juga tidak cukup. Beberapa dengan sopan menolak dengan isyarat lambaian tangan atau gelengan kepala. Bahkan ada yang dengan tega melengos pergi ketika Tamara sedang memperkenalkan diri. Lelah, kesal, putus asa, semua bercampur menjadi satu.
Keinginan untuk menyerah kian lama kian besar. Tapi mendapati daftar dukungan angkatan masih cukup kosong membuat Tamara mau tidak mau menghabiskan jam istirahat kedua untuk mencoba lagi dan lagi.
Tamara memberanikan diri menguji keberuntungannya di kelas IPS. Awalnya Tamara berencana untuk tidak sekali pun mencoba meminta sedikit belas kasihan dari mereka mengingat sudah tidak terhitung jumlah poin pelanggaran yang Tamara berikan sehingga mustahil mereka mau memberikan dukungan. Ditambah salah seorang pesaingnya berasal dari kelas IPS. Akan tetapi, kenyataan bahwa Tamara tidak memiliki pilihan lain membuatnya terpaksa pergi menuju deretan kelas IPS reguler.
Langkah Tamara terhenti bahkan sebelum sampai di mulut tangga. Seorang siswa bertubuh tinggi dan agak berisi meneriakan nama Tamara, seolah Tamara merupakan sebuah bencana besar dan bermaksud memperingati teman-temannya untuk segera berlindung atau menyelamatkan diri. Keributan yang tadinya terdengar bahkan ketika Tamara baru sampai di persimpangan tangga mendadak lenyap bak ditelan bumi. Dengan kedua kaki yang bergetar hebat, Tamara terus menaiki anak tangga hingga berhasil sampai di mulut tangga.
Tamara berbelok ke kiri dan melangkah pelan melewati kerumunan siswa-siswi IPS di depan kelas. Nyali Tamara merosot drastis mendapati dirinya disambut dengan tatapan yang jauh lebih buruk dibandingkan yang dia dapatkan di kantin dua hari yang lalu. Ini bukan kali pertama Tamara mendapatkan tatapan penuh kebencian dari siswa-siswi kelas IPS reguler. Dia hampir selalu mendapatkannya tiap kali patroli namun kali ini terasa sangat jauh berbeda. Akan tetapi, untuk pertama kali, Tamara merasa dirinya benar-benar ciut dan tidak bernyali di hadapan mereka. Tidak hanya tatapan penuh kebencian, bahkan beberapa kali telinga Tamara menangkap desisan dan gumaman yang perlahan tapi pasti mengikis sisa nyali dan semangat dalam dirinya.
“Lihat deh! Dia, kan anak kelas internasional yang suka sok-sok ngatur!”
“Bukannya dia itu ketua komdis sekolah, ya? Yang bahkan tidak takut sama kakak kelas?”
“Oh... jadi Tamara ini yang kemarin Tio promosikan di kantin? Tidak malu, ya dia sampai minta bantuan Gigih dan kawan-kawannya untuk mempromosikan diri?”
“Dia sering ngasih poin pelanggaran ke kita, membuat kita berada dalam masalah, dan sekarang dia ke sini mau minta dukungan kita? Dia gila, ya?”
“Bukan hanya gila, tapi juga tidak tau malu!”
“Biasanya dia tampak angkuh setiap kali datang kemari, seenaknya meneriaki kita dan memberi poin pelanggaran. Lihat dia sekarang! Dia seperti seekor kelinci yang tersesat di sarang predator.”
“Percuma saja dia berusaha. Lagipula, selain komplotannya di bagian komdis dan kepengurusan OSIS, memangnya ada yang mau mendukungnya untuk menjadi ketua OSIS selanjutnya?”
“Kalau peraturan tentang dukungan angkatan tidak ada, sudah pasti dia yang akan jadi ketua OSIS. Sekarang? Peluang dia nol persen!”
“Tahun ini, sudah pasti Gigih yang akan menjadi ketua OSIS! Sudah saatnya anak IPS menguasai sekolah ini!”
Tamara mempercepat langkah. Telinga kelincinya sudah tidak kuasa lagi mendengar ocehan-ocehan menyakitkan itu. Tanpa sadar dia meremas kuat lembar dukungan angkatan sembari berlari menuruni tangga. Tamara mulai menyesali keputusannya memaksakan diri menguji keberuntungan di kelas IPS reguler ketika tau peluang mendapat dukungan mereka nol besar.
“Tamara?”
Tamara spontan mengangkat kepala yang sedari tadi menunduk dan kedua matanya langsung bertemu dengan kedua mata Gigih yang membulat.
“Kamu... sedang apa di sini?”
Sekuat tenaga Tamara berusaha menahan diri agar tidak menangis di hadapan Gigih. Tamara bersumpah dalam hati bahwa dia tidak akan memaafkan dirin sendiri bila sampai menangis di hadapan orang yang paling dia benci di sekolah. Tanpa menghiraukan pertanyaan Gigih, Tamara semakin cepat menuruni tangga lalu menuju gedung kelas internasional lewat jalur belakang yang jauh lebih sepi.
Gigih terus mengejar Tamara, membuat gadis itu semakin memperlebar langkah namun tetap saja tidak cukup untuk lepas dari kejaran Gigih.
“Kamu kenapa? Bella sama Renata mana?”
“Aku tidak akan pernah bisa jadi ketua OSIS. Puas kamu?”
Tamara bergegas meninggalkan Gigih namun lagi-lagi Gigih berhasil menyusulnya.
“Maksud kamu apa, Tamara?”
“Kamu pura-pura bodoh atau gimana, sih? Kamu sendiri, kan yang bilang kalau pemimpin itu butuh dukungan, pemimpin itu tidak bisa berdiri sendiri?” Tamara meniru nada bicara Gigih ketika memberi sambutan pada hari dirinya dinyatakan sebagai kandidat ketua OSIS. “Dan sampai sekarang aku tidak bisa mendapat seratus dukungan teman seangkatan. Itu artinya, aku tidak akan pernah bisa jadi pemimpin! Itu artinya aku tidak akan bisa jadi ketua OSIS. Puas kamu?”
Tangis Tamara pecah sebelum sempat dia melarikan diri. Gigih terdiam, tidak berniat mengejar Tamara yang semakin menjauh. Kata-kata yang Tamara ucapkan dengan suara bergetar karena menahan tangi, Gigih terus mendengarnya kemana pun dia melangkah. Buru-buru Gigih meraih ponsel dalam saku celana dan menghubungi salah satu nomor dalam daftar kontak ponselnya.
**
“Ok, everyone. Don’t forget to submit your project report next week.”