The Throne

Mentari
Chapter #8

Niat Jahat

Gigih duduk setengah membungkuk pada bangku panjang di depan ruang OSIS. Beberapa kali dia memeriksa waktu sebab tidak lama lagi akan tiba gilirannya untuk wawancara dengan ketua serta para pengurus OSIS. Gigih benar-benar berharap bisa membuat siapa pun yang ada di dalam ruangan itu terkesan agar bisa lolos ke babak selanjutnya. Dia berharap semuanya berjalan sesuai rencana.

Seorang siswi berkacamata melangkah keluar ruang OSIS dengan wajah berseri-seri. Sebelah tangannya terkepal di sisi tubuh tegapnya, mulutnya menyerukan ‘yes!’.

“Hai, Tamara.” Gigih buru-buru beranjak lalu merapikan kemeja yang sedikit kusut.

Tamara memperhatikan Gigih dari ujung mata elangnya. “Cepat masuk. Kak Ridwan dan yang lain sudah menunggu.”

Gigih mengangguk pelan lalu memutar gagang pintu. Beberapa pasang mata dengan tatapan serius dan sedikit mengintimidasi menyambut kedatangannya. Gigih menempati bangku kosong yang berseberangan langsung dengan bangku sang ketua OSIS.

“Gigih Eka Permana.”

“Iya, Kak?”

“Memangnya saya sudah mempersilakanmu duduk?” Suara berat Ridwan yang menggema memenuhi ruangan membuat Gigih refleks beranjak dari bangku. “Perkenalkan dirimu.”

 “Se-selamat siang semuanya.” Sebelah tangan Gigih mengusap mulut sebelum kemudian terjalin dengan tangan yang satunya membentuk kepalan besar. “Nama saya Gigih Eka Permana dari kelas XI-S3.” Gigih mengakhiri perkenalannya dengan anggukan sopan.

“Silakan duduk.”

Gigih kembali duduk di bangku lalu meletakan kedua tangan di ujung lutut yang bergetar. Baru kali ini Gigih rasakan tubuhnya berguncang hebat kala menjadi pusat perhatian hampir dua puluh orang dalam ruangan berlampu kuning. Tatapan intens yang Ridwan tujukan padanya—tatapan yang ditujukan untuk musuh—Gigih anggap sebagai bonus sekaligus pelengkap suasana yang sudah terasa mencekam sejak dia menampakan diri di ambang pintu.

“Gigih, apa motivasimu mendaftarkan diri sebagai calon ketua OSIS?”

Tidak bermaksud sombong, Gigih menganggap pertanyaan pertama yang Ridwan ajukan tidaklah susah. Dia bahkan sudah mempersiapkan sebuah jawaban yang sangat bagus dan meyakinkan sejak beberapa hari yang lalu.

“Saya ingin menunjukan bahwa seorang siswa dari kelas IPS yang sering dianggap tidak berprestasi dan berpotensi juga bisa memimpin sebuah organisasi besar seperti OSIS. Saya ingin menunjukan bahwa OSIS adalah milik semua siswa, tanpa memandang kasta sosial, kasta nilai, dan kasta ekonomi.”

Rasa percaya diri Gigih perlahan meningkat—dan berhasil mengalahkan rasa gugup yang sempat hadir—ketika dilihatnya beberapa pengurus OSIS mengangguk. Tidak hanya mengangguk, bahkan siswi berambut ikal yang dikuncir menyerupai buntut kuda dan duduk dekat jendela pun tersenyum, tampak senang dan puas dengan jawaban yang Gigih berikan.

“Hanya itu?” Ridwan menjadi satu-satunya yang sama sekali tidak terkesan dengan jawaban Gigih. “Kamu bilang ingin menunjukan bahwa siswa IPS sering dianggap tidak berprestasi dan berpotensi. Dianggap. Berarti sebenarnya kamu berprestasi dan berpotensi? Kalau begitu, coba sebutkan. Sebutkan prestasi atau potensi yang kamu miliki.”

“Sebenarnya, maksud saya—Saya memang bukan siswa paling pintar dari kelas reguler, apalagi bila dibandingkan dengan siswa kelas internasional. Sampai saat ini, saya juga belum memiliki prestasi apapun di bidang akademik maupun non akademik. Saya bahkan tidak ikut magang staf pengurus OSIS dan sudah berhenti mengikuti kegiatan ekstrakulikuler basket meskipun masih terdaftar sebagai anggota. Akan tetapi, saya punya semangat, tanggung jawab, dan yang terpenting—” Mata Gigih bertemu dengan mata siswi dengan kuncir kuda untuk yang kedua kali, “—saya memiliki dukungan dari teman-teman dan saya yakin mereka bersedia membantu saya menjadi pemimpin yang baik.”

Senyum Gigih mengembang ketika dilihatnya siswi itu diam-diam mengacungkan jempol.

“Amelia.” Ridwan menoleh ke kiri. “Silakan, pertanyaan selanjutnya.”

Amelia beranjak dari bangku dengan selembar kertas terbentang di hadapannya.

“Gigih, sosok pemimpin seperti apakah dirimu?”

“Saya adalah seorang pemimpin yang akan berusaha untuk dekat dan mengenal siapa pun yang saya pimpin—”

“Kalau begitu, rawan bagimu mengambil keputusan secara subjektif.”

Amelia spontan menoleh ke arah Ridwan yang dengan seenaknya memotong ucapan Gigih. Akan tetapi, Ridwan tidak peduli. Dia akan lakukan apa yang dia mau selagi bisa. Sementara itu, diterpa sanggahan tiba-tiba, Gigih langsung bungkam.

“Apabila kamu harus memilih,” Ridwan menjalin jemari tangannya di atas meja, “antara pilihan yang baik dan benar, mana yang akan kamu pilih?”

“Ridwan, setidaknya biarkan Gigih menyelesaikan dulu jawaban pertanyaan—”

“Saya akan memilih pilihan yang baik.”

Jawaban yang Gigih lontarkan dengan penuh ketegasan berhasil mengundang semua orang di dalam ruang OSIS untuk kembali fokus pada dirinya setelah beberapa saat terdistraksi dengan pertikaian kecil antara Amelia dan Ridwan.

“Saya akan mengambil segala keputusan berdasarkan apa yang terbaik untuk teman-teman saya.”

“Kalau teman-temanmu, sembilan puluh persen dari total suara, memintamu mengajukan permintaan pembubaran komite kedisiplinan siswa kepada pihak sekolah, apakah kamu akan melakukannya?”

Ada rasa puas dalam diri Ridwan ketika kerutan tegas pada dahi Gigih muncul. Ridwan berusaha agar senyum buah dari rasa puas itu tidak terlukis di wajahnya tapi Amelia tetap bisa menyadari jenis permainan yang sedang Ridwan mainkan dengan melibatkan Gigih di dalamnya. Tidak hanya itu, Amelia menganggap pertanyaan Ridwan sangat konyol. Melihat beberapa temannya diam-diam mempertanyakan maksud pertanyaan Ridwan barusan, Amelia mendesah rendah. Jelas dia bukan satu-satunya orang yang berpikir seperti itu. Untuk apa mempertanyakan soal pembubaran komite kedisiplinan siswa yang keputusannya jelas bukan berada di tangan ketua OSIS dan tidak mungkin disetujui pihak sekolah. Ridwan jelas sudah kelewat batas hingga tanpa sadar mempermalukan diri sendiri.

“Kalau tidak salah...” Ridwan membuka buku catatan dan berhenti pada halaman di mana dia mencatat semua peraturan sekolah yang pernah Gigih langgar dalam kurun tujuh bulan terakhir. “Poin pelanggaranmu termasuk paling tinggi dibandingkan teman seangkatanmu. Bahkan surat panggilan orang tua sudah dikirimkan dari pihak sekolah. Bagaimana mungkin, seorang siswa yang nyaris dikeluarkan dari sekolah menjadi ketua OSIS di salah satu sekolah elit seperti SMA Purna Bakti? Kamu bisa benar-benar mengotori citra sekolah ini. Kamu mungkin mendapatkan hampir seratus persen dukungan siswa di sekolah ini. Akan tetapi, bagaimana caramu untuk meyakinkan aku, meyakinkan teman-temanku di ruangan ini, bahwa kamu pantas dan layak menggantikan posisiku sebagai ketua OSIS?”

Amelia mengakui bahwa Ridwan sangat cerdas dalam hal apapun, termasuk dalam menciptakan sebuah permainan di mana orang lain akan tetap menganggapnya memainkan peran baik ketika kenyataannya sebaliknya.

Lihat selengkapnya