“Demikian hal-hal yang perlu saya sampaikan pada upacara hari ini. Selamat pagi.”
Komandan upacara kembali menertibkan pasukan. Apabila biasanya komandan upacara langsung memberi aba-aba kepada pemimpin barisan untuk membubarkan pasukannya seusai Pak Komar menyampaikan pengumuman, kali ini komandan upacara memberi aba-aba kepada pemimpin barisan untuk mengistirahatkan pasukannya di tempat.
Amelia memasuki lapangan upacara dari sisi utara kemudian berdiri di atas podium setelah beberapa saat berbincang-bincang dengan Pak Komar.
“Selamat pagi Bapak dan Ibu Guru serta teman-teman semua. Seperti yang sudah diumumkan sekitar seminggu yang lalu, pagi ini akan diselenggarakan debat calon ketua OSIS.”
Suara tepuk tangan yang begitu meriah disertai teriakan para siswa yang dengan penuh semangat menyerukan jagoan mereka menciptakan atmosfer yang sangat menggairahkan.
“Mari kita sambut, calon ketua OSIS nomor urut satu, Tamara Adzkia Putri dari kelas XI-A1!”
Tamara memasuki lapangan dengan langkah tegas dan teratur yang menunjukan bahwa dia begitu percaya diri menghadapi lawan debat kali ini. Suara tepuk tangan diselingi suara siswa-siswi yang dengan penuh semangat meneriakan nama Tamara terdengar di sepanjang barisan kelas internasional.
“Selanjutnya, calon ketua OSIS nomor urut dua, Gigih Eka Permana dari kelas XI-S3!”
Gigih, seperti biasa, menunjukan sisi dirinya yang begitu santai, rileks, dan bersahabat. Dia memasuki lapangan dengan kepala tegak menghadap ke arah barisan pasukan upacara. Kedua tangannya terangkat dan melambai-lambai, bak selebriti yang tengah menyapa para penggemar pada acara malam penghargaan. Gigih menghentikan langkah lalu berdiri di sisi kiri podium, sambil sesekali melirik ke arah Tamara yang berdiri tegap dengan posisi istirahat di tempat di sisi kanan.
“Sebelum debat dimulai, mari kita persilakan kedua calon untuk menyampaikan visi, misi, serta program kerja yang mereka tawarkan apabila mereka terpilih sebagai ketua OSIS periode selanjutnya!”
Tamara mendapat kesempatan pertama untuk menyampaikan gagasannya. Selama kurang lebih satu tahun menjadi bagian dari kepengurusan OSIS dan komisi kedisiplinan siswa membuat Tamara terbiasa berbicara formal di depan banyak orang. Setiap orang terhipnotis dengan karisma dalam dirinya, hingga tidak ada satu pun yang memalingkan pandangan selama Tamara berbicara, termasuk Gigih yang memperhatikan dari samping podium.
“Tidak hanya memilih orang-orang dengan potensi dan kualitas terbaik untuk menjadi bagian dari badan kepengurusan OSIS, saya juga akan menyusun program kerja yang berkualitas dan memberi dampak yang nyata bagi sekolah dan lingkungan di sekitar sekolah melalui kerjasama dengan pihak kesiswaan. Dan yang paling utama dari semuanya, saya akan meningkatkan kesejahteraan semua siswa di sekolah ini. Oleh karena itu, saya, Tamara Adzkia Putri sebagai calon ketua OSIS nomor urut satu, meminta dukungan teman-teman semua untuk menjadikan saya ketua OSIS periode selanjutnya. Terima kasih.”
Suara tepuk tangan dan seruan dukungan yang mulai menjalar ke beberapa sudut dan barisan pasukan upacara mengiringi langkah Tamara menuruni podium. Suara tepuk tangan yang tidak kalah meriah juga terdengar dari sisi kiri podium.
Setelah Amelia mempersilakan, Gigih menggantikan posisi Tamara di atas podium.
Gigih mengawali paparannya dengan sambutan hangat, bermaksud mencairkan suasana yang sempat membeku karena terbawa atmosfer penuh ketegangan dan keseriusan selama Tamara memaparkan gagasannya. Hanya butuh sekitar dua menit bagi Gigih untuk memaparkan visi dan misi. Sementara itu, dia lebih lama membahas mengenai program kerja rancangannya yang sangat berbeda dengan program kerja rancangan Tamara. Ketika sebagian besar siswa-siswi menanggapi ide program kerja rancangan Gigih dengan seruan dukungan dan tepuk tangan, Tamara justru menanggapinya dengan gelengan kepala. Menurutnya, program kerja rancangan Gigih terkesan terlalu muluk-muluk dan seolah dirancang tanpa mempertimbangkan peluang keberhasilan program. Program kerja rancangan Gigih memang penuh dengan ide dan gagasan baru tapi juga penuh kecacatan.
Acara pemaparan gagasan langsung dilanjutkan dengan debat. Tamara dan Gigih menempati bangku yang sudah disiapkan di sisi kanan podium bersama timses masing-masing, sementara di sisi selatan lapangan ditempatkan tiga pasang meja dan kursi untuk Pak Anton sebagai ketua dewan kesiswaan, Pak Komar sebagai kepala sekolah, dan Pak Firman sebagai pembina OSIS yang akan memberikan beberapa pertanyaan kepada kedua calon ketua OSIS.
Pertanyaan yang diberikan tidak jauh dari poin-poin visi, misi, dan program kerja yang disampaikan oleh kedua calon ketua OSIS. Lebih tepatnya, pertanyaan yang menyinggung hal-hal terkait kelemahan gagasan yang mereka paparkan.
“Tamara, kalau tidak salah, program kerja rancanganmu semuanya merupakan program terpusat dan hanya melibatkan pengurus OSIS. Tidak ada satu pun program yang melibatkan klub ekskul tertentu. Apa pertimbanganmu?” tanya Pak Firman.
Tanpa perlu berdiskusi terlebih dahulu dengan Renata, Bella, Rahma, maupun Ulli yang duduk di belakang, Tamara langsung meraih microphone di atas meja.
“Terima kasih Pak Firman atas pertanyaanya,” ucap Tamara setengah membungkuk. “Selama satu tahun saya terlibat dalam kepengurusan OSIS, saya menyaksikan begitu banyak program kerja berjalan dengan sangat baik meskipun hanya melibatkan pengurus OSIS. Itu alasan pertama. Alasan kedua, saya telah mengumpulkan data program kerja tiap klub ekskul yang ada di sekolah untuk satu tahun ke depan dan saya menilai setiap klub ekskul sudah cukup sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Menurut saya, akan lebih baik apabila program OSIS dengan program klub ekskul berjalan secara paralel, tanpa perlu bersinggungan langsung. Jalur koordinasi antara klub ekskul sebagai bagian dari bidang pengembangan diri yang bertanggung jawab langsung kepada bidang pengembangan diri OSIS, sebagai gantinya, bisa diperkuat. Sekian dan terima kasih.”
Renata dan Bella menepuk pundak Tamara beberapa kali, memberitau Tamara bahwa mereka sangat terkesan dengan jawaban yang Tamara berikan.
“Kalau begitu...” Pak Firman kembali angkat bicara, “saya ingin meminta pendapat Gigih.”
Gigih langsung meluruskan punggung begitu mendengar namanya dipanggil.
“Apakah menurutmu alasan Tamara rasional? Kalau tidak, apa alasannya? Kalau iya, apa alasannya?”
“Hm... saya... minta waktu sebentar untuk berdiskusi.”
“Waktu diskusi satu menit,” ujar Wawan, siswa kelas XI-A2 yang bertugas sebagai time keeper sambil membalikan posisi jam pasir di depannya.
Ketika waktu tersisa kurang dari sepuluh detik, Gigih meraih microphone, menghela napas panjang dan mengubah posisi duduk.