The Throne

Mentari
Chapter #10

Kompetisi

Tamara terjaga lebih awal, kemudian bergegas mandi dan berpakaian. Tidak lupa dia gantung selempang dengan bordiran ‘Calon Ketua OSIS’ di pundak kanan sembari memandang pantulan dirinya pada cermin dekat lemari. Tamara menghela napas panjang, setengah tidak percaya bahwa hari ini akhirnya tiba. Hari di mana dia akan berhadapan dengan kenyataan: akankah posisi ketua OSIS menjadi miliknya atau menjadi milik orang lain. Setelah segala kesulitan dalam mencari dukungan angkatan, Tamara benar-benar bersyukur bisa sampai pada tahap ini. Tamara benar-benar siap untuk menang.

Apabila biasanya Tamara bergegas menuju kelas begitu sampai di sekolah, kali ini dia menuju ruang OSIS dan langsung disambut Renata dan Rahma yang tiba lebih awal.

“Tidak kusangka kamu akan tiba di sekolah sepagi ini, Ra,” komentar Rahma sembari pindah pada bangku yang berhadapan dengan bangku Tamara. “Kamu sengaja menyetel alarm lebih pagi, terjaga lebih awal karena sulit tidur, atau tidak tidur sama sekali?”

“Entahlah. Rasanya, semalam aku tidak bisa tenang.”

“Tenang, Ra.” Renata meraih sebelah tangan Tamara lalu menggenggamnya erat. “Aku yakin, kamu yang akan mendapatkan posisi sebagai ketua OSIS selanjutnya.”

Tamara menyambut sulutan semangat dari Renata dengan anggukan mantap.

Sekitar jam tujuh kurang seperempat, Gigih bersama Bono, Tio, dan Arman memasuki ruang OSIS dan duduk pada deretan kursi yang masih kosong. Ketika Tamara menoleh sesaat ke arah Gigih, mata mereka bertemu selama sepersekian detik, sebelum kemudian Tamara memalingkan pandangan ke arah pintu.

Pukul tujuh tepat, Bella dan Ulli yang sudah dinanti-nantikan akhirnya datang, bersamaan dengan terdengar bel sekolah yang menandakan bahwa pemilu akan segera dimulai.

Panitia yang ditugaskan di TPS menuju tempat bertugas masing-masing. Para siswa-siswi berbondong-bondong mulai mendatangi TPS sesuai identitas kelas mereka: siswa-siswi kelas X internasional mendatangi TPS 01 di lantai dua gedung C, siswa-siswi kelas XI internasional mendatangi TPS 02 di lantai tiga gedung C, siswa-siswi kelas XII internasional mendatangi TPS 03 di lantai empat gedung C, siswa-siswi kelas XI reguler mendatangi TPS 04 di lantai dasar gedung E yang berada di sisi timur, siswa-siswi kelas XII reguler mendatangi TPS 05 di lantai dasar gedung F yang berada di sisi barat, sementara siswa-siswi kelas X reguler ikut mencoblos di TPS 01.

Sementara Renata, Bella, Ulli, dan Rahma asyik membicarakan film yang ditayangkan di televisi tadi malam, Tamara memilih menyendiri di sudut ruang OSIS sambil memainkan ponsel. Beberapa kali Tamara berusaha mengirimkan pesan kepada Jose, memastikan bahwa Jose tidak lupa dengan rencana penting yang Tamara tugaskan padanya. Namun pesan balasan dari Jose tidak kunjung datang, membuat Tamara semakin gugup.

Waktu terasa berjalan lebih cepat dari biasanya bagi Tamara dan Gigih yang menunggu dengan perasaan campur aduk, hingga tiba saatnya perhitungan suara. Beberapa panitia pemilu, bersama Amelia dan Ridwan mendatangi ruang OSIS untuk menjemput Tamara dan Gigih juga timses masing-masing menuju aula. Sebelum memasuki aula, mereka terlebih dahulu memberikan suara. Tamara bersama Bella, Renata, Ulli, dan Rahma menempati kursi di sisi kanan meja perhitungan suara sementara Gigih, Arman, Bono, dan Tio menempati kursi di sisi kiri.

Puluhan kursi yang tertata rapi memenuhi aula satu per satu mulai terisi. Berbondong-bondong para perwakilan kelas, guru, serta pengurus OSIS datang memenuhi aula, tidak ingin melewatkan momesalah satu momen bersejarah. Mendekati waktu perhitungan suara, pemilu yang bertugas menjaga kotak suara memasuki aula sembari membawa kotak suara bersegel yang menjadi tanggung jawab mereka. Tamara refleks menghembuskan napas lega saat berhasil menemukan sosok Jose menempati barisan paling belakang sembari membawa kotak suara dengan tulisan 01 pada bagian depan.

Pada pukul satu siang, proses perhitungan suara dimulai. Kotak suara 01 menjadi yang pertama dibuka. Tamara unggul jauh sementara dibandingkan Gigih. Keadaan tidak berubah setelah selesai perhitungan suara dari kotak suara 02 dan 03. Tamara masih memimpin dengan jumlah suara yang semakin terpaut jauh dari jumlah suara yang diperoleh Gigih. Meskipun begitu, Tamara masih belum bisa bernapas dengan tenang. Masih ada beberapa kotak suara lagi. Mulutnya komat-kamit mengudarakan doa, berharap Tuhan bekerja sama dengannya kali ini.

Selisih suara yang diperoleh Tamara dan Gigih semakin tipis seusai perhitungan suara dari kotak suara 04 dan keadaan dengan cepat berbalik setelah perhitungan suara dari kotak suara 05. Meskipun selisih suara yang diperoleh Tamara dan Gigih tidak terlalu jauh tapi tetap saja Tamara panik mendapati kali ini Gigih memimpin. Satu-satunya harapan Tamara ada pada kotak suara 06 yang diambil dari TPS khusus guru dan pegawai sekolah.

Satu per satu surat suara dari kotak suara 06 mulai terbuka. Jumlah suara yang diperoleh Tamara mulai mengejar jumlah suara milik Gigih dan persaingan semakin sengit. Jumlah suara keduanya terus kejar-kejaran, membuat debaran jantung Tamara kian kencang. Dia salah memprediksi sembilan puluh persen guru dan pegawai sekolah akan mendukungnya. Dia lupa pada kenyataan bahwa Gigih yang saat ini berebut mahkota ketua OSIS dengannya bukanlah Gigih si langganan terlambat, melainkan Gigih dengan prestasi akademik yang melambung tinggi pada satu semester terakhir, satu-satunya siswa kelas IPS reguler yang mampu bertengger di sepuluh besar juara umum pada akhir tahun ajaran kemarin dan seseorang dengan kemampuan debat dan mengemukakan pendapat yang cukup baik.

“Suara terakhir dari kotak suara 06...” Hilda yang menjadi penanggung jawab TPS 06 mengangkat surat suara tinggi-tinggi, menunjukan lubang pada kotak di sebelah kiri. “Gigih!”

Arif yang bertugas sebagai juru tulis menambah jumlah suara di samping nama Gigih.

“Perhitungan suara dari kotak suara terakhir, kotak suara 07 akan dimulai.”

Tamara memiringkan tubuh sedikit ke kiri agar bisa melihat catatan perolehan suara pada papan tulis. Dengan cepat Tamara menghitung total suara sementara miliknya dan Gigih. Tubuhnya seketika lemas ketika tau bahwa Gigih unggul dua suara dibandingkan dirinya. Meskipun perhitungan suara belum selesai, semuanya telah berakhir bagi Tamara. Dia kalah. Pada akhirnya Gigih akan unggul satu suara. Tidak mungkin dia bisa membalikan keadaan.

Sesuai dugaan Tamara, lima suara pertama dari kotak suara 07 menjadi miliknya. Kepala Tamara tertunduk. Dia berusaha sekeras mengontrol emosi dan tengah mencaritau bagaimana dia harus menghadapi kekalahan besar kali ini. Haruskah dia berpura-pura turut senang dengan kemenangan yang Gigih raih atau haruskah dia berpura-pura tidak peduli dengan kenyataan bahwa dia kalah dalam peperangan ini? Tamara pusing tujuh keliling. Sudah sangat lama sejak terakhir kali Tamara berhadapan dengan kekalahan. Dia sudah lupa seperti apa rasanya dikalahkan. Hatinya tidak siap menerima kenyataan pahit itu, terlebih egonya.

“Tamara!”

Tamara spontan mengangkat kepala saat mendengar namanya disebut, setengah tidak percaya dengan yang baru saja dia dengar. Empat suara terakhir seharusnya menjadi milik Gigih tapi ternyata suara terakhir dari kotak suara 07 menjadi miliknya.

“Calon ketua OSIS nomor urut satu, Tamara Adzkia Putri memperoleh tujuh ratus lima puluh tiga suara dan calon ketua OSIS nomor urut dua, Gigih Eka Permana memperoleh tujuh ratus lima puluh dua suara.” Hilda membacakan hasil rekapitulasi suara dengan nyaring. “Tamara Adzkia Putri dari kelas XI-A1 menjadi ketua OSIS terpilih periode 2017/2018!”

Renata dan Bella langsung menghamburkan pelukan erat kepada Tamara yang masih terdiam dengan wajah tanpa ekspresi dan mulut menganga.

“Selamat, Ra! Kamu berhasil! Kamu sah menjadi ketua OSIS!”

Renata menepuk pelan kedua pipi Tamara, menyadarkan Tamara bahwa dia tidak sedang bermimpi, bahwa semua ini benar-benar nyata.

Para perwakilan kelas, guru, dan panitia pemilu serempak memberikan tepuk tangan yang meriah ketika Tamara melangkah pelan menuju ke tengah panggung. Suara tepuk tangan tidak mereda sedikit pun ketika Amelia dan Ridwan—sebagai perwakilan pengurus OSIS dan panitia pemilu—berjalan beriringan menghampiri Tamara untuk memberikan ucapan selamat secara simbolik.

“Selamat, Ra.”

Tamara menerima uluran tangan Amelia dengan tangan yang bergetar hebat, membuat Ridwan yang berdiri di samping kiri Amelia terkekeh. Bersamaan dengan Tamara menerima uluran tangan Amelia, beberapa panitia dokumentasi sibuk mengabadikan momen.

“Aku yakin kamu bisa mengemban tugas dengan baik.” Amelia menambahkan.

“Te-terima kasih, Kak.”

Lihat selengkapnya