Seperti biasa, Mrs. Kelly mengakhiri kelas bahasa Inggris sepuluh menit lebih awal dari yang seharusnya. Rencananya, setelah Mrs. Kelly meninggalkan kelas, Tamara ke kamar mandi, bersembunyi sekitar sepuluh menit di sana dan mendekati jam istirahat, dia akan memberitau Renata dan Bella lewat SMS untuk bertemu di kantin. Akan tetapi, baru saja Tamara hendak beranjak dari bangku, sosok Jose sudah nampak jelas dari bangkunya. Jose tengah berdiri—setengah menyandarkan sebelah bahunya pada kusen pintu—sembari sesekali merapikan rambut dan pakaiannya.
Tamara buru-buru meraih ponsel dalam laci meja, berniat mengirimkan pesan kepada Bella dan Renata untuk segera menjemputnya agar Tamara punya alasan yang cukup meyakinkan untuk tidak pergi ke kantin berdua dengan Jose. Belum sempat Tamara mengetik pesan, Tamara justru dibuat lemas karena pesan dari Bella dan Renata yang memberitaukan bahwa mereka terpaksa menggunakan jam istirahat untuk mngerjakan proyek sosial yang menjadi tugas besar mata pelajaran Sosiologi sehingga tidak bisa menemaninya ke kantin. Sialnya lagi, secara tidak sengaja matanya bertemu dengan mata Jose, membuat Jose dengan riang melambaikan tangan, seolah memberitau keberadaannya kepada Tamara yang sudah menyadari keberadaannya di depan pintu kelas sejak lima menit yang lalu.
“So, we’re gonna go to the canteen together? Just... two of us, right?” Jose mengingatkan janji Tamara padanya beberapa hari yang lalu, berjaga-jaga jika gadis yang tengah memasang tampang masam itu mendadak lupa ingatan. “Tamara?”
Jose melambaikan tangannya pelan di hadapan Tamara, mengira gadis itu melamun padahal sebenarnya sedang memikirkan suatu cara untuk bisa terlepas dari keharusan pergi ke kantin berdua dengan Jose.
“Tamara? You remember that you promised me that we’ll date if I can do my job well, right?”
Jose benar-benar salah langkah menyebutkan kata yang satu itu.
“I didn’t promise you a ‘date’, Jose. We’re just gonna go to the canteen together. It doesn’t mean that it is a ‘date’.” Tamara memberi penekanan ekstra tiap kali menyebutkan kata ‘date’.
Jose mengangguk pelan lalu mengikuti Tamara yang sudah lebih dulu melangkah menuruni tangga.
Untuk pertama kali, Tamara merasa kehadirannya di kantin mengundang perhatian banyak orang. Pertama kali, tentu saja, jika dia tidak mengikutsertakan kejadian di kantin yang melibatkan Tio beberapa bulan yang lalu. Tamara berharap orang-orang memberi perhatian lebih kepadanya karena jabatan ketua OSIS yang kini telah menjadi miliknya meskipun dia tidak senaif itu untuk tidak menyadari bahwa perhatian-perhatian yang ditujukan padanya sejak dirinya memasuki arena kantin itu karena sosok Jose yang mengekorinya.
“Do you want me to bring you something?”
“Hm...” Tamara mengedarkan pandangan lalu kembali menatap Jose. “Ice tea, please.”
“Just... it?”
Tamara mengangguk. Hanya memasan es teh merupakan bagian awal dari rencana cadangan yang dia miliki. Dia bisa menghabiskan segelas es teh hanya dalam beberapa teguk. Dengan begitu, dia bisa lebih cepat menghindari Jose. Toh yang dia janjikan kepada Jose adalah pergi ke kantin berdua, bukan menghabiskan waktu istirahat pertama berdua. Bahkan Tamara merasa dirinya terlalu beramah tamah membiarkan Jose menikmati santapan satu meja dengannya.
“Ok.”
Melihat Jose sangat bersemangat, muncul sedikit rasa bersalah dalam benak Tamara. Dia berharap Jose tidak berpikir macam-macam mengenai acara pergi ke kantin berdua karena Tamara melakukannya sebagai bentuk balas budi atas bantuan yang telah Jose berikan padanya. Dengan kepala sedikit tertunduk, Tamara mengutuk dirinya sendiri karena telah menawarkan sebuah penawaran buruk yang justru membuat dirinya kewalahan. Pada saat itu, Tamara tidak punya pilihan lain. Jose sangat ingin pergi kantin dengannya, satu hal yang tidak Tamara mengerti. Tamara pikir, satu-satunya cara agar Jose mau membantunya adalah dengan menjanjikan pergi ke kantin berdua bila rencananya berhasil.
Ponsel di dalam saku rok Tamara bergetar, sebuah kiriman baru dari akun instagram resmi OSIS SMA Purna Bakti yang langsung kebanjiran komentar dan like. Tamara nyaris membanting ponselnya di atas meja. Foto itu memang foto Mita, bertengger manis dengan keterangan ‘Ketua Bidang Pembinaan Sastra dan Budaya’, bersebelahan dengan foto Kelly dengan keterangan ‘Ketua Pembinaan Komunikasi dan Bahasa Inggris’ dan foto Gigih dengan keterangan ‘Ketua Bidang Pembinaan Kualitas Jasmani dan Kesehatan’.
Sejak diputuskan bahwa siapa pun boleh mendaftarkan diri menjadi pengurus OSIS, Tamara menebak Mita pasti akan mendaftar. Tamara kira Mita akan mendaftarkan diri sebagai bendahara tapi ternyata tidak. Meskipun Tamara ikut terlibat dalam proses kaderisasi calon pengurus OSIS, Tamara hanya diberi kewenangan mengkader calon bendahara dan sekretaris. Andai saja saat itu Mita mendaftarkan diri sebagai bendahara, Tamara bisa dengan mudah memberi cap ‘DITOLAK’ pada berkas pengajuan Mita.
Tamara menduga Mita tidak langsung mengincar posisi bendahara karena tau rumor tentangnya telah diketahui beberapa orang di sekolah dan tidak mau sampai hal tersebut membuatnya gagal menjadi bagian dari pengurus OSIS. Tamara sadar dia berpikir terlalu jauh tapi bukan berarti dugaannya mustahil terjadi. Meskipun hanya pernah satu tahun merasakan sekelas dengan Mita dan tidak sungguh-sungguh mengenalnya, Tamara tau bahwa Mita benar-benar cerdik. Cerdas dan licik.
“Ra?” Panggilan Jose yang sedikit menghentak memaksa Tamara berhenti memikirkan masalah pelik yang satu itu. “Are you ok?”
Jose meletakan nampan berisi semangkuk bakso, segelas es jeruk, dan segelas es teh di atas meja lalu kembali duduk di bangkunya.
“He-em. I’m ok.” Tamara meraih gelas es teh dan mulai meneguknya.
Sembari menikmati semangkuk bakso, Jose melontarkan cerita-cerita yang menurutnya lucu dan menarik yang sayangnya tidak berhasil menorehkan sedikit pun ekspresi takjub pada wajah Tamara. Meskipun begitu, Jose tidak menyerah. Dia terus mencoba tapi hasilnya tetap nihil. Dia sedikit lamban menyadari bahwa meskipun Tamara sedang duduk di hadapannya, pikiran gadis itu tidak sedang bersamanya.
Tamara tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana dia harus bekerjasama dengan orang seperti Mita, Kelly, terutama Gigih selama satu tahun ke depan. Sebagai ketua OSIS, Tamara memiliki tanggung jawab besar dan tugas yang melimpah. Ditambah beban akademiknya yang selangit. Dia tidak yakin bisa memantau pergerakan mulus Mita, memastikan bahwa dia tidak melakukan kesalahan seperti yang pernah dilakukannya tiga tahun yang lalu. Belum lagi ada Kelly yang sudah pasti akan membantu Mita melancarkan aksinya ‘sebersih’ mungkin. Juga Gigih, yang menurut Tamara merupakan sebuah bahaya besar, mengingat argumennya pada rapat pembentukan kepengurusan OSIS menjadi batu loncatan bagi Mita untuk bisa mendapatkan posisi di kepengurusan OSIS, yang kini sudah dia dapatkan. Tamara yakin, Gigih tidak akan pernah lelah menciptakan argumen yang bertentangan dengan argumennya dan setiap argumen yang keluar dari mulutnya pastilah tidak lain untuk membantu Mita.
“Tamara!”
Tamara refleks menegakkan punggung. Bisa dia rasakan beberapa orang melihat ke arahnya karena ucapan bernada tinggi yang Jose lontarkan barusan.
“Are you with me?” Nada bicara Jose perlahan turun. Tamara menyadari ada yang berbeda dari cara Jose menatapnya kali ini. Jose tersinggung.
“I’m sorry Jose, but... I need to go.” Buru-buru, Tamara merogoh saku kemeja dan meletakan selembar uang sepuluh ribuan. “Thank you.”
**
“Karena semua pengurus sudah hadir, rapat akan kita mulai.”
Tamara menarik sedikit kursi ke arah depan lalu duduk dengan tenang.
“Seperti yang sudah diinformasikan sebelumnya, agenda kita hari ini adalah membahas perayaan ulang tahun sekolah. Sejak sekitar delapan tahun yang lalu, perayaan ulang tahun sekolah dijadikan tugas pertama kepengurusan OSIS yang baru. Seperti yang kita tau, kinerja kita saat ini bukan hanya dipantau MPK tetapi juga panitia pemilu. Jadi, kita harus melaksanakan tugas ini dengan sebaik-baiknya. Dan... sebelum kita membahas mengenai acara perayaan ulang tahun sekolah, sebaiknya kita tentukan dulu siapa saja yang akan menjadi bagian dari kepanitiaan acara ini.”
Mita dan Kelly yang duduk bersebelahan saling melempar bisikan dan langsung bersikap seolah tidak melakukan apa-apa ketika menyadari bahwa Tamara sedang memperhatikan mereka.
“Menurut kalian, apakah kita harus membentuk kepanitiaan yang baru atau pengurus OSIS yang telah terbentuk ini otomatis menjadi panitia inti?”
“Kurasa, sebaiknya kita membentuk kepanitiaan yang baru.”
Pendapat Gigih menjadi yang pertama menyertai pertanyaan Tamara dan berhasil mendapat perhatian penuh dari gadis itu.
“Karena kalau tidak salah, sekitar seminggu sejak perayaan ulang tahun sekolah, kita sudah harus merekrut staf. Proses kaderisasi staf pasti akan berjalan paralel dengan proses persiapan perayaan ulang tahun sekolah. Jadi, kurasa, sebaiknya kita membentuk kepanitiaan baru.”
Ada sedikit rasa tidak rela tapi Tamara mengakui bahwa kali ini dia sependapat dengan Gigih. Tahun lalu, karena pemilu dilakukan lebih awal, proses kaderisasi staf pengurus OSIS sudah selesai dilakukan sekitar sebulan menjelang acara perayaan ulang tahun sekolah sehingga kepanitiaan dibentuk murni dari kepengurusan OSIS. Tapi, situasi kali ini jauh berbeda.
“Ada pendapat lain?”
“Aku setuju dengan Gigih.” Bella menambahkan. “Bagaimana kalau kita membuka rekruitmen terbuka bagi mereka yang mau jadi panitia?”
“Apakah itu berarti kita akan memilih ketua pelaksana dan ketua tiap divisi melalui rekruitmen terbuka juga?” tanya Tamara.
“Ya, bisa saja. Bukankah dengan begini justru lebih baik? Dengan memberi kesempatan yang sama kepada setiap orang untuk menjadi panitia perayaan ulang tahun sekolah, akan semakin terasa bahwa perayaan ulang tahun sekolah adalah acara milik bersama, bukan hanya acara milik OSIS.”