Kantin selalu menjadi tempat paling ramai di sekolah setiap jam istirahat. Para pedagang yang berjualan dengan mendirikan kios-kios kecil di sekeliling arena kantin tidak pernah sepi pembeli. Seperti biasa, Tamara, Renata, dan Bella duduk mengelilingi meja nomor dua belas. Menu yang mereka pesan pun selalu sama: Renata pesan bubur ayam dan es teh, Bella pesan siomay dan es jeruk, sementara Tamara pesan bakso dan es teh.
Ketika sedang asyik menyimak celoteh berisik Bella sembari menikmati semangkuk bakso, ponsel Tamara yang tergeletak di atas meja bergetar, menampilkan ikon pesan baru.
“Siapa, Ra?” tanya Renata kemudian memasukan suapan terakhir bubur ayam ke dalam mulut.
“Gigih.”
Jawaban singkat yang terlontar dari mulut Tamara sukses membuat kedua temannya menganga.
“Serius, Ra?” tanya Bella memastikan. “Gigih Eka Permana anak XI-S3?”
“Iya.” Tamara mematikan layar ponsel setelah mengirim pesan balasan kepada Gigih lalu kembali fokus pada teman-temannya yang masih tampak tidak percaya. “Kalian kenapa, sih?”
“Kok Gigih bisa punya nomormu, Ra?”
Tidak sembarang orang bisa punya nomor Tamara, terutama laki-laki. Tidak sembarang orang bisa menerima balasan pesan dari Tamara. Dan kali ini Bella menyaksikan sendiri Tamara langsung membalas pesan dari Gigih, seseorang yang pernah Tamara nyatakan sebagai orang yang paling dia benci.
“Aku yang kasih nomorku ke dia.”
Mulut Renata dan Bella menganga lebih lebar.
Beberapa hari yang lalu, kelas Tamara berakhir sedikit terlambat karena ada ulangan harian dadakan. Tamara dikejutkan dengan kehadiran Gigih di depan kelas yang bermaksud menanyakan soal proposal acara perayaan ulang tahun sekolah. Gigih berjanji akan menemui Tamara tiap jam istirahat kalau seandainya ada sesuatu yang perlu mereka diskusikan. Tamara menganggap ide Gigih sangat konyol dan memutuskan untuk memberikan nomornya dengan catatan Gigih hanya boleh menghubunginya lewat SMS. Gigih tidak menggunakan aplikasi chatting sehingga SMS menjadi satu-satunya cara Tamara bisa berkomunikasi dengannya sekaligus menjadi cara Tamara menghubungkan Gigih dengan teman-teman panitia lain. Merepotkan memang, tapi mau bagaimana lagi. Gigih mengaku tidak punya komputer atau laptop dan ponselnya model lama yang tidak mendukung penggunaan aplikasi chatting.
“Kalian mikir macam-macam, ya?” tebak Tamara.
Bella dan Renata gelagapan.
“Ck. Kalau bukan karena posisiku sebagai sekretaris dan posisinya sebagai ketua yang memaksa kami untuk sering berkomunikasi, aku tidak mungkin memberikan nomorku padanya.”
Sebelum kembali ke kelas, Tamara untuk pergi ke toilet yang ada di lantai dasar gedung E yang paling dekat dengan kantin. Tidak ingin membuat kedua temannya menunggu, Tamara meminta Bella dan Renata untuk duluan kembali ke kelas.
Begitu keluar dari bilik, Tamara menyadari beberapa siswi mengerubungi pintu dan tampak sengaja berdiam diri di sana. Tamara pura-pura tidak peduli dan langsung melangkah cepat menuju pintu. Sayang, salah seorang dari mereka jauh lebih cepat. Dia berhasil memblokade jalan menuju pintu dengan menyandarkan sebelah kakinya pada dinding.
“Kelly. Mencoret, menulis, dan membuat kotor dinding di sekolah akan mendapat—“
“Di sini kami yang berbicara, Tamara,” ujar Kelly santai dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
Yulia menarik seragam Tamara dari arah belakang lalu mendorong gadis berkacamata itu ke dinding.
“Hei! Apa-apaan kamu?”
“Pelankan sedikit suaramu.” Mita melangkah pelan mendekati Tamara hingga jarak mereka sangat dekat. “Sebenarnya, aku malas berurusan dengan orang sepertimu tapi... sepertinya kamu tidak pernah kapok ikut campur urusanku.”
“Apa maksudmu?”
Mita menghantam dinding di belakang Tamara dengan telapak tangannya, menimbulkan suara yang cukup keras dan menggema memenuhi kamar mandi.
“Karena kamu selalu ikut campur urusanku, sebagai balasannya kamu harus menuruti kemauanku. Perjuangkan ideku. Bagaimanapun caranya. Buat Gigih setuju dengan ideku. Aku yakin kamu bisa melakukannya. Kamu sangat persuasif dan Gigih benar-benar mendengarkanmu.”
“Oh... jadi ini tentang acara perayaan ulang tahun sekolah? Kamu kan dekat dengannya, kenapa tidak kamu perjuangkan sendiri idemu?”
Tamara menegakkan tubuhnya dan dengan kuat menghempas lengan Mita yang sedari tadi bertengger di dinding.
“Kamu pikir aku akan melakukannya hanya karena kamu dan kedua temanmu menahanku di sini? Apakah tidak ada cara lain yang lebih.... bagus?”
Tawa Mita, Kelly, dan Yulia yang spontan memenuhi kamar mandi merupakan reaksi yang sama sekali tidak disangka-sangka oleh Tamara.
“Tentu aku punya cara yang lebih bagus.”
Mita merogoh ponsel dari dalam saku rok kemudian menunjukan sebuah foto kepada Tamara. Senyum jahat Mita perlahan mengembang ketika dilihatnya wajah Tamara mendadak pucat.
“Aku membayangkan foto ini tersebar memenuhi mading sekolah. Bagaimana? Sebuah cara yang sangat... bagus—oh tidak—luar biasa, kan?”
“Ba-bagaimana... kamu bisa—”
“Kamu tidak perlu tau.” Mita kembali memasukan ponselnya ke dalam saku rok. “Bayangkanlah seperti apa nasibmu bila seisi sekolah tau bahwa kamu melakukan kecurangan besar pada pemilu kemarin.”
“Kenapa... kenapa kamu melakukan ini?”
“Tentu saja karena aku ingin rencana hebatku berhasil dan! Akan kuanggap dengan begini, utangmu padaku lunas.”
“Utang apa?”
“Jangan berpura-pura, Tamara.” Mita kembali menyandarkan lengannya pada dinding. “Kejadian tiga tahun yang lalu.”
Tidak sampai sedetik, Tamara langsung tau apa maksud ucapan Mita.
“Mita, sumpah, bukan aku yang menyebarkan cerita itu.”
“Kalau begitu aku tidak peduli.”