“Awas! Minggir! Minggir!”
Langkah kaki Gigih kian lebar dan dari kejauhan tampak seperti akan menerjang apapun yang ada di hadapannya. Panggilan berkali-kali dari Bono, Arman, dan Tio yang berusaha keras mengejarnya diabaikan begitu saja. Gigih tidak melambat bahkan saat menuruni tangga. Kaki jenjangnya nyaris seperti tidak menapak pada anak tangga saking cepatnya. Begitu melihat kerumunan siswa-siswi di dekat mading paling besar yang ada di sisi timur lapangan upacara, Gigih melebarkan langkah menyeruak membelah kerumunan.
Dengan napas memburu, Gigih mencoba memahami kata-kata pada selebaran yang tertempel pada kaca mading. Meskipun tidak terlalu pandai bahasa Inggris, lelaki itu sedikit mengerti arti tulisan yang terpampang pada selebaran itu.
“Woi!” Bono menepuk pundak Gigih dengan cukup keras. “Kamu lari cepat banget seperti kesetanan— ini apaan?”
Gigih mencabut satu selebaran yang tertempel pada kaca mading, masih tidak percaya dengan apa yang tertulis di sana.
“Semuanya bubar,” ujar Gigih dengan nada tinggi. “Sekarang!”
Tidak ada satu pun yang berani untuk tidak menuruti perkataan Gigih hingga dalam sekejap tidak ada murid di sekeliling mading selain Gigih dan ketiga temannya.
“Jadi... Tamara—“
“Dia pasti dijebak.”
Gigih memotong ucapan Tio dan menatap ketiga temannya satu per satu.
“Seseorang menjebak Tamara. Aku yakin seratus persen.”
Gigih menarik semua selebaran yang tertempel pada kaca mading, meremasnya kuat-kuat dan menghempaskannya ke dalam tong sampah.
“Gigih?”
Gigih menoleh cepat ke arah sumber suara dan mendapati untuk pertama kali ketidakhadiran Tamara di sisi Bella dan Renata.
“Selebarannya...”
“Sudah aku buang,” jawab Gigih. “Tamara tidak mungkin melakukannya, kan? Dia pasti dijebak. Kalian sependapat denganku, kan?”
“Tapi, Gih—“
“Membuat riwayat percakapan palsu itu mudah. Aku tidak tau bagaimana caranya tapi seseorang pasti bisa melakukannya.”
Gigih terduduk lemas pada bangku panjang yang tepat berseberangan dengan mading. Arman, Tio, Bono, Renata, dan Bella terdiam, tidak tau harus berkata apa. Mereka tidak percaya Gigih bisa menjadi sangat emosional karena selebaran misterius yang membuat geger seisi kelas.
“Tamara... mana?” tanya Tio memecah ketegangan.
“Tamara tidak ada di kelasnya.”
Jawaban Renata mengundang Gigih untuk beranjak dari bangku dan kembali bergabung bersama yang lain.
“Katanya, jam pelajaran menjelang istirahat kosong karena Mrs. Kelly ada tugas dinas dan tidak ada satu pun anak XI-A1 yang tau sejak kapan Tamara meninggalkan kelas dan ke mana dia pergi. Aku dan Bella buru-buru ke sini setelah Angel mengabarkan berita menghebohkan tentang Tamara di...” Renata menunjuk mading lalu menghempaskan tangannya, “di mading itu.”
“Tamara tidak membalas pesan dariku.” Bella menambahkan. “Semalam Renata mencoba menghubunginya tapi tidak diangkat. Tadi kami mencoba menghubungi dia lagi, malah tidak tersambung. Sepertinya dia sengaja mematikan ponselnya.”
Penjelasan Renata dan Bella memperparah suasana hati Gigih, membuatnya spontan mengacak-acak rambut yang butuh sekitar sepuluh menit untuk dirapikan.
“Gih. Kamu tidak percaya bahwa Tamara benar-benar melakukannya, kan?” tanya Bella.
“Tentu saja aku tidak percaya!” jawab Gigih setengah berteriak.
“Kalau begitu, seharusnya kamu tidak perlu seperti ini!”
Renata refleks menoleh ke arah Bella yang terlihat berapi-api. Sebelah tangannya mengelus punggung Bella yang bergetar.
“Seharusnya kamu tidak perlu frustasi seperti ini! Setidaknya jangan tunjukan bahwa kamu sedang sangat kesal! Aku tau kamu khawatir tapi aku dan Renata juga khawatir dan sikapmu itu membuatku merasa tidak berguna karena tidak tau ada di mana Tamara sekarang!”
Lebih baik, kita coba cari Tamara. Dia tidak membawa tasnya, itu berarti Tamara ada di suatu tempat di sekolah.” Renata mencoba memberi solusi.
Gigih tertegun. Bella, gadis periang yang bahkan masih bisa tersenyum ketika mendengar seseorang berbicara buruk tentangnya kini benar-benar dikuasai amarah. Gigih sadar tingkahnya kelewat batas.
“Aku minta maaf,” ujar Gigih bersungguh-sungguh. “Aku tidak bermaksud membuatmu merasa tidak berguna.”
“Kamu percaya kalau Tamara benar melakukannya, Gih.”
Bella dan Gigih menoleh ke arah Renata hampir bebarengan. Sementara itu, Tio, Arman, dan Bono sibuk berdiskusi, memastikan bahwa mereka mendengar hal yang sama.
“A-apa maksud—”
“Sebagian dirimu percaya bahwa Tamara melakukannya tapi kamu berusaha untuk menolak perasaan itu. Karena itu kamu kelewat kesal. Iya, kan?”