The Throne

Mentari
Chapter #14

Keberuntungan

Gigih mempercepat langkah ketika suara Bono dan kedua temannya terdengar semakin jelas, bersahut-sahutan menyerukan namanya. Meskipun berada di kelas yang sama, Gigih tidak pernah berbicara dengan ketiga siswa yang kerap menjadi buronan guru BK itu. Bahkan belum selesai semester pertama, ketiganya sudah mengumpulkan begitu banyak poin pelanggaran karena berkali-kali melanggar aturan sekolah. Gigih tidak bermaksud pilih-pilih teman, dia hanya tidak ingin terlibat masalah pada tahun pertamanya di salah satu sekolah paling elit se-Bandung Raya.

Langkah Gigih terhenti di depan kios bakso ketika tangan kekar Arman berhasil menggapai bahu lebarnya, membuat lelaki itu refleks berbalik. Kedua matanya membulat mendapati sesuatu miliknya kini berada dalam genggaman tangan Arman.

“Itu...”

“Bro, dompetmu jatuh nih di depan kelas. Dari tadi kami panggil eh... kamu malah lari seperti sedang dikejar hantu.”

Tawa Bono dan Tio memuncak ketika dilihatnya wajah Gigih mendadak pucat seperti benar-benar sedang dikejar hantu.

“Ma-maaf, aku tidak sadar.” Gigih menyapu rambutnya ke belakang. “Terima kasih.”

“Eits, tunggu dulu.” Secepat kilat tangan Arman menghindar dari jangkauan tangan Gigih. “Kamu kok ketakutan begitu sih? Kamu takut dengan kami?”

Gigih menggeleng cepat dengan seringai yang dia paksakan untuk terbit. Tangan lelaki itu perlahan menjalar hingga ke leher. Di mata Bono dan kedua temannya, gelagat Gigih tampak mencurigakan.

“Oh....”

Melihat Arman dengan lancang berusaha mengintip isi dompetnya, Gigih spontan menghantam tangan teman semeja Bono itu. Dompet kulit usang terlepas dari genggaman tangan Arman yang sedari tadi mencengkeramnya dengan kuat, terlempar ke belakang dan dengan mulus di kedua tangan Tio yang menyatu.

“Coba kita lihat—“

Gigih mengusap wajah putus asa ketika Tio berhasil menemukan harta karun terpendam dalam dompetnya, harta karun yang tidak pernah ditemukan siapa pun bahkan adiknya sendiri. Tidak sampai sedetik ekspresi wajah Tio berubah drastis. Arman dan Bono yang kelewat penasaran tidak mau tinggal diam dan buru-buru mengintip ke dalam isi dompet teman sekelasnya.

“Tolong... kembalikan.” Gigih tidak bisa menahan rona merah untuk tidak muncul menghiasi seluruh wajahnya yang dipenuhi keringat dingin.

“Kamu serius?” tanya Tio.

“Bukan urusan kalian,” jawab Gigih cepat. “Kembalikan saja dompetku.”

“Kamu pasti mengambil foto ini diam-diam.” Arman menebak. Senyum lebarnya merekah ketika dilihatnya Gigih menyeka keringat di dahi dengan kikuk. “Aduhai... lihatlah kawan kita ini. Berani sekali dia menyimpan foto siswi paling menyeramkan di sekolah dalam dompetnya. Entah apa yang akan dia lakukan padamu kalau dia tau kamu diam-diam menyimpan fotonya.”

“Dia tidak menyeramkan.”

“Kamu bahkan masih sempat membela gadis itu pada situasi seperti ini.” Tio menggeleng-gelengkan kepala. “Kalau kamu mau aman, seharusnya sejak awal kamu katakan pada kami bahwa kamu tidak tau apa-apa tentang foto ini atau katakan apapun yang akan menguntungkan dirimu. Bukannya malah mengaku bahwa kamu sudah diam-diam menyimpan foto seorang gadis. Hadeh.”

Tio tidak sanggup menahan tawa selepas menggoda teman sekelas yang sempat menolak tawarannya untuk menjadi teman semeja dan lebih memilih menempati kursi di pojok belakang kelas. Tidak lama berselang, tawanya reda ketika Bono memberi perintah dengan isyarat telunjuk di depan mulut. Sebelah tangan Bono memberi isyarat kepada Tio untuk menyerahkan dompet Gigih padanya.

“Ambil. Ini milikmu.”

Gigih cepat-cepat mengambil dompetnya dari tangan Bono sebelum ketiga siswa badung itu menggodanya lagi. Seluruh tubuh Gigih sudah banjir dengan keringat dingin karena dipermalukan.

“Bagaimana kalau aku beritau dia tentang foto itu? Aku sering bertemu dengannya karena aku sering terlambat. Siapa tau dengan begitu kalian bisa saling mengenal.”

“Tidak perlu.” Gigih menggeleng. “Terima kasih, tidak usah repot-repot.”

Bono buru-buru mendahului Gigih, mencegah lelaki jangkung itu meninggalkan arena kantin.

Lihat selengkapnya