“Selamat telah menjadi... ketua OSIS yang baru.”
Gigih masih tidak percaya Tamara mengucapkan kata-kata itu padanya dan tidak dengan nada sarkastik. Malahan Gigih mendengarnya sebagai sebuah ucapan selamat yang begitu tulus. Gigih seharusnya senang. Tapi mengingat begitu banyak hal buruk menimpa Tamara hanya dalam waktu satu hari membuat Gigih murung sejak kembali dari kantor Pak Firman bahkan hingga saat ini, ketika dia seharusnya bersenang-senang dalam perayaan tidak resmi atas kenaikan jabatan menjadi ketua OSIS.
“Gih!” Setelah panggilan yang kesekian kali, akhirnya Gigih menanggapi panggilan Arman, meskipun hanya dengan deheman singkat. “Mau sampai kapan kamu diam seperti patung begitu? Aku sengaja membuat perayaan ini untukmu, lho! Sepanjang sejarah SMA Purna Bakti, untuk pertama kali anak IPS memimpin OSIS! Kamu yang pertama, bro! Seharusnya kita bersenang-senang!”
Gigih sangat berterima kasih atas antusiasme Arman yang begitu luar biasa. Begitu mendengar Gigih akan segera dilantik menjadi ketua OSIS yang baru Senin minggu depan, Arman langsung mengadakan perayaan kecil-kecilan dengan mentraktir ketiga temannya makan bakso di warung dekat rumahnya yang kebetulan sedang sepi pembeli. Pertanyaan Arman barusan membuat Gigih sedikit tidak enak hati tapi dia benar-benar sedang tidak bernafsu untuk bersenang-senang. Dia tidak bisa membiarkan dirinya bersenang-senang sementara saat ini mungkin Tamara sedang mengurung diri di kamar, memendam kesedihan seorang diri.
“Habisnya kamu ini tidak melihat situasi, Man,” kilah Tio setelah meneguk habis es teh gelas kedua. “Gigih sedang sedih karena kejadian yang menimpa Tamara, eh kamu malah buat perayaan begini.”
“Yeeee... padahal sendirinya juga sudah habis bakso dua mangkok, mana nambah es teh lagi,” protes Arman lalu berusaha menjitak kepala Tio yang duduk di seberangnya. Tio cukup gesit hingga bisa menghindari jitakan maut Arman, membuat Arman mendengus kesal.
Dari kejauhan Bono menikmati pertengkaran kecil Arman dan Tio, sesekali tertawa puas hingga perut buncitnya bergoyang. Mereka memang selalu bertingkah layaknya kucing dan tikus, seperti Tom dan Jerry. Pertengkaran kecil merekalah yang biasanya menjadi hiburan bagi Bono, terutama ketika dirinya sedang merasa kesal selepas bertengkar dengan sang ibu karena masalah-masalah sepele.
Kerja keras Arman berbuah manis, akhirnya dia berhasil menangkap Tio dan memberi jitakan yang berhasil membuat Tio mengerang kesakitan. “Makanya jangan macam-macam,” ujar Arman. “Eh Bon.”
“Hm?”
“Kamu... tidak akan bicara dengan Gigih?”
Bono lebih tua satu tahun dibandingkan Tio dan Arman karena pernah tidak naik kelas saat SMP dan faktor usia itu menjadi salah satu hal yang membuatnya jauh lebih dewasa dibandingkan Tio dan Arman. Meskipun dikenal sebagai siswa paling anti peraturan dan paling sering berurusan dengan para guru di sekolah khususnya guru BK, sebenarnya Bono selalu diandalkan oleh Tio dan Arman terutama untuk menangani situasi genting seperti yang sedang mereka hadapi saat ini.
“Hei.” Bono menepuk pelan pundak Gigih. “Masih mikirin Tamara?”
Gigih tidak menjawab. Kedua matanya menatap lurus ke depan, ke arah jalanan yang mulai sesak dengan kendaraan roda dua menjelang waktu pulang kantor.
“Kamu tidak akan mundur dari posisimu sebagai ketua OSIS, kan?”
Pertanyaan Bono menyita perhatian Tio dan Arman, membuat keduanya spontan melupakan pertengkaran kecil mereka dan bergegas menghampiri Gigih.
“Aku... tidak tau,” balas Gigih.
“Jangan dong!” kilah Tio sembari menarik bangku kecil di samping kirinya dan duduk di hadapan Gigih. “Kalau kamu mundur, terus siapa yang jadi ketua OSIS? Bono?”
Tio bermaksud bercanda, tentu saja, tapi momennya sangat tidak tepat. Bahkan Bono dan Arman pun tampak sedang tidak bergairah untuk tertawa atas lelucon Tio yang kelewat garing itu.
“Aku masih tidak percaya Tamara melakukannya.” Gigih menghela napas panjang dengan cara yang khas sehingga Bono, Arman, dan Tio tau kalau saat ini Gigih sedang benar-benar kesal.
“Maksudmu... Tamara berbohong?” tanya Arman. “Tidak mungkin, Gih. Kecurangan dalam pemilu OSIS itu kesalahan besar, fatal! Tamara tidak mungkin mengatakan dirinya melakukan kecurangan bila dia tidak benar-benar melakukannya.”
“Aku tau kamu ada rasa,” Tio ikut menimpali, “tapi tetap saja dia itu manusia, bukan malaikat. Mungkin saja dia sedang khilaf. Bagaimanapun juga, tidak ada manusia yang sempurna, Gih.”