Hari demi hari dilewati Tamara dengan status barunya sebagai siswi kelas XI-A5. Tidak terlalu buruk, meski tidak juga bisa dikatakan baik. Tamara masih belum terbiasa dengan seragam barunya. Dia sempat salah memakai seragam dan baru sadar ketika sudah sampai di gerbang depan sehingga terpaksa meminta Pak Joni untuk mengantarnya kembali ke rumah. Tamara merasa sedikit beruntung karena Mama sedang tidak ada di rumah. Dia sadar tidak bisa menyembunyikan fakta bahwa kini dia sudah bukan siswi kelas internasional dari Mama. Setidaknya, dia masih punya sedikit waktu untuk memikirkan seperti apa cara terbaik untuk memberitau Mama tentang semua ini, sebab Mama bukan Bi Imah atau pun Pak Joni yang bisa dengan mudah dikelabui.
“Ada pergantian seragam untuk anak kelas Internasional.” Tamara menjelaskan kepada Pak Joni dan Bi Imah yang sempat mengira gadis berkacamata itu salah pakai seragam.
Beberapa siswa masih membicarakan tentang selebaran yang tertempel di dinding bahkan setelah hampir satu minggu berlalu. Bisa dibilang, berita mengenai kecurangan yang Tamara lakukan lebih mengundang perhatian publik untuk terus dibicarakan dibandingkan berita mengenai Gigih yang sejak hari Senin kemarin telah sah menjadi ketua OSIS yang baru.
Kemana pun Tamara melangkah, selama dia masih di lingkungan sekolah, gunjingan dan ucapan sumpah serapah terdengar dari segala penjuru. Tamara jadi enggan keluar kelas apabila tidak benar-benar perlu. Setiap berpapasan dengan siswa-siswi yang dia kenal, terutama mereka yang sempat menjadi rekannya di komisi kedisiplinan dan kepengurusan OSIS, Tamara selalu menundukan kepala. Rasa yang pernah singgah dan menyiksanya untuk waktu yang cukup panjang itu kini kembali dirasakannya. Dulu Tamara pernah berhasil melawan rasa itu tapi kini dia tidak yakin bisa menaklukannya untuk yang kedua kali.
Seperti awal-awal masa kelas X, Tamara menghabiskan banyak waktu dengan menyendiri. Bahkan di kelas barunya, Tamara tidak memiliki teman semeja karena jumlah siswa-siswi kelas XI-A5 menjadi ganjil sejak kedatangannya. Tamara tidak mempermasalahkan hal itu. Sebaliknya, dia justru bersyukur sebab tidak perlu repot-repot menanggapi ocehan teman semejanya setiap saat. Tamara menyukai ketenangan yang dia dapatkan dengan tidak memiliki teman semeja. Hanya satu hal yang tidak Tamara sukai: dia harus pasrah menempati barisan paling belakang di pojok kiri. Tamara tidak pernah dan tidak suka duduk di barisan paling belakang. Menurutnya, barisan paling belakang adalah tempat bermukim siswa-siswi pemalas yang tidak suka belajar dan jelas dia bukan tipe yang seperti itu.
Setiap jam istirahat Tamara memilih untuk membaca buku di kelas dan pada jam makan siang dia akan menikmati bekal makan siang yang disiapkan Bi Imah seorang diri. Ajakan pergi ke kantin dari Bella dan Renata selalu Tamara abaikan. Ada sedikit rasa tidak pantas dalam benak Tamara untuk terlihat bersama Bella dan Renata setelah kecurangannya terungkap.
Semenjak menjadi siswi kelas XI-A5, Tamara selalu pulang lebih sore sebab ada kelas tambahan yang hanya diberikan pada kelas dengan rata-rata nilai ujian terendah. Namun sore ini, dengan alasan memberi para siswa lebih banyak waktu istirahat, untuk pertama kali kelas tambahan ditiadakan.
“Tamara! Tamara!”
Tamara berusaha untuk tidak menoleh tapi tangan panjang Bella berhasil meraih pundaknya ketika jarak Tamara dengan gerbang depan hanya tinggal beberapa langkah lagi.
“Kudengar kamu tidak ada kelas tambahan hari ini.” Bella kegirangan. “Kebetulan banget! Ayo ke bioskop. Katanya ada film Disney terbaru yang seru banget. Setelah itu, kita makan es krim di kedai es krim yang baru buka, yang lagi ngehits banget itu.”
“Kamu mau ikut, kan Ra? Mumpung belum masa ujian.” Renata tidak mau kalah.
Tamara memandang Renata dan Bella bergantian. Kedua matanya yang bersembunyi di balik lensa tebal beradu dengan dua pasang mata yang memancarkan sorot penuh harap. Perasaan rindu yang luar biasa kuat menciptakan kerusuhan dalam benak Tamara yang dengan susah payah berusaha dia kendalikan. Tamara membatin, seandainya dia tidak lagi memiliki rasa malu, dia tidak akan segan menerima ajakan kedua temannya itu.
“Aku—“
“Renata! Bella!”
Seorang siswi dengan rambut bob sebahu datang menghampiri Renata dan Bella. Tampak dua siswi lain mengekori langkah gadis itu. Mendapati lengan kemeja mereka tergulung dan jemari mereka yang lentik dihiasi kutek warna merah mencolok, tanpa sadar kedua tangan Tamara mengepal kian dalam. Tamara hampir saja kelepasan meneriaki mereka dengan penjelasan pelanggaran yang dilakukan oleh mereka. Beruntung Tamara masih sempat menahan diri dari mempermalukan diri sendiri di hadapan teman-teman Renata dan Bella.
“Kok kalian pergi duluan, sih? Kita, kan sudah janjian mau ke mal.” Resti— gadis dengan rambut pendek model bob yang beberapa kali berurusan dengan Tamara karena terlambat pada hari Senin—memburu Tamara dengan tatapan merendahkan.
Tidak tahan mendapat perlakuan tidak menyenangkan di tengah ketidakjelasan situasi, lewat sorot mata yang bergantian memburu Bella dan Renata, Tamara menuntut penjelasan.
“Lho? Ada Tamara? Ada urusan apa sama Renata dan Bella?” tanya siswi lain yang berdiri di sisi kanan Resti— papan namanya bertuliskan ‘Angelina Andrean’—dengan nada bicara yang jauh dari kata natural.
“Jadi gini, Angel,” Bella angkat bicara, “Aku dan Renata minta maaf, tapi kami—“
“Urusanku dengan Renata dan Bella sudah selesai,” Tamara buru-buru menyela penjelasan Bella. “Ren, Bel, aku... duluan ya. Selamat bersenang-senang.”
Berkali-kali Bella dan Renata meneriaki namanya tapi Tamara tidak melambat. Kakinya justru semakin cepat menjauh. Beruntung mobil Pak Joni sampai depan gang tepat waktu. Sepanjang perjalanan pulang, Tamara tenggelam dalam kesunyian. Kepalanya bersandar pada kaca jendela dan matanya sibuk mengamati langit sore yang perlahan kelabu, seolah menyesuaikan dengan suasana hatinya saat ini.