The Throne

Mentari
Chapter #17

Eliminasi

Setelah sepi penghuni selama hampir seratus hari, kampus gajah menyambut kembali kedatangan mahasiswa dengan sukacita. Bunga ‘selamat datang’ dekat gerbang selatan mekar begitu indah, tidak kalah indah dengan senyum para mahasiswa baru yang jalan berkelompok dengan perasaan campur aduk—kelewat bahagia sekaligus gugup setengah mati—menuju ruang kelas.

Mahasiswa tingkat dua, tidak ingin kalah, tenggelam dalam suka cita temu kangen dan serunya dunia pergosipan sebelum kelas pagi dimulai. Ada yang menceritakan kakak tingkat berwajah tampan yang ditemui dekat gerbang, ada pula yang mengumbar keberuntungan dilamar anak juragan di kampung sewaktu libur pergantian tahun ajaran.

“Bapak bilang ndak apa-apa. Setelah lulus, langsung akad.” Pipi Ayu bersemu merah. Gadis keturunan Jawa murni itu menunjukan jari manisnya yang dihiasi cincin dengan batu kaca. “Yang penting, cincin ini sudah mengikat aku sama Mas Ridho.”

“Kalau nanti Mas Ridho suka sama perempuan lain gimana?” celetuk Minah santai.

Kesal, Ayu mendaratkan tinju pada lengan Minah.

“Kita kan lulus tiga tahun lagi. Siapa bisa jamin dia tidak melirik perempuan lain?” Minah membela diri.

Rona malu di pipi Ayu berubah menjadi rona kesal.

“Hush, Minah. Jangan begitu dong.” Seorang gadis dengan rambut hitam sebahu mengelus lembut kepala Ayu yang bersandar manja di pundaknya. “Kasian Ayu, nanti malah kepikiran. Lagipula, keluarga Ayu pasti sudah tau keluarga Mas Ridho seperti apa sampai-sampai memperbolehkan mereka tunangan sedini ini.”

“Kamu sendiri gimana, Tan?” Ririn, gadis betawi yang merupakan anak tunggal juragan sapi—yang sedari tadi sibuk membalas SMS dari kekasihnya—ikut berkomentar. “Kamu sama Robby, yakin cuma teman?”

Kulit Tania yang sawo matang sedikit berhasil menyembunyikan rona merah di pipinya yang menghangat.

“Benar kok, cuma teman,” jawab Tania dengan lembut, sebelum kemudian tanpa ragu menyentil hidung mungil Ayu yang kedapatan memberinya tatapan meledek.

“Tidak percaya aku.” Bibir Minah membentuk parabola terbuka ke bawah. “Tiap jam makan siang selalu makan siang bareng. Pulang pergi kampus selalu bareng. Siapa yang percaya, sih kalau kalian cuma teman.” Minah menggeleng. “Lebih baik seperti aku. Tidak terganggu karena pacar yang posesif, tunangan yang belum tentu jadi suami, ataupun teman dekat yang belum tentu jadi pacar. Aku bebas mendekati siapa pun.”

Kehadiran dosen farmasetika di ambang pintu membubarkan rapat pagi keempat sekawan yang langsung merapikan kursi dan duduk tegap menghadap ke arah papan tulis. Tania yang duduk tepat di samping dinding menoleh cepat ketika mendengar suara jendela diketuk. Senyumnya spontan terbit mendapati sosok pria tinggi berambut cepak melambaikan tangan dari balik jendela.

**

“Akhir-akhir ini kamu sibuk banget.”

Tania berhenti menggerogoti kepala ayam kesukaannya. Sorot mata lelaki di hadapannya menuntut sebuah pembelaan yang masuk akal dan bisa diterima.

“Aku kan sudah cerita, aku sibuk mengurusi perekrutan anggota unit jurnalistik.” Tania menghela napas. “Praktikum hampir setiap hari. Tugas juga menumpuk. Belum lagi aku sedang magang di himpunan dan jadi panitia wisuda Oktober.”

Robby mengangguk pelan. Tania tau betul, itu berarti alasannya tidak sepenuhnya diterima.

“Bagaimana kalau kamu ikut unit? Hitung-hitung untuk mengisi waktu kosong,” usul Tania.

“Kamu pikir masalah ini selesai kalau aku sibuk sepertimu?” Intonasi bicara Robby berubah. “Aku tidak apa-apa kalau kita tidak bisa makan siang bersama atau pulang bersama seperti dulu. Tapi Sabtu dan Minggu itu dua hari yang sangat berharga dan di dua hari itu kamu juga sibuk. Kamu sudah tidak punya waktu lagi untuk aku. Lagipula ini baru masuk minggu ketiga, lho. Masa sudah sesibuk itu.”

Lihat selengkapnya