Mata Erwin laksana lensa kamera, bergerak mengikuti perpindahan sang pemeran utama di atas panggung. Setiap keindahan, kesedihan, dan tragedi yang tersaji di depan kedua matanya tersimpan abadi dalam gudang memori yang menjelma sebagai otak jenius. Sudah ribuan kisah dan wajah tertangkap kedua matanya yang tidak pernah bisa dibaca sekalipun mengamatinya dari dekat.
Lampu di atas panggung meredup. Bersamaan dengan itu sorakan dan orkestra tepuk tangan mengudara dengan meriah. Beberapa penonton beranjak, memberi apresiasi setinggi-tingginya pada para pemeran yang serempak memberi salam penutup.
Setelah mencatat beberapa poin penting pertunjukan pada buku catatan, Erwin bergegas meloloskan diri dari kerumunan manusia.
“Hei, sudah kuduga kamu akan kemari.”
Erwin memandang kedua kakinya yang tidak bisa digerakan. Tidak pernah dia rasakan sesulit ini untuk melangkah seolah kedua kakinya menyatu dengan tanah tempatnya berpijak. Menggerakan keduanya membutuhkan usaha sebesar menggerakan seluruh daratan. Hanya gadis dengan jaket hijau tentara di hadapannya yang bisa membuatnya kewalahan.
“Erwin? Ada sesuatu dengan kakimu?”
Gadis itu mendadak penasaran dengan kaki Erwin yang bergetar ketika pemiliknya sibuk menikmati helai rambut si gadis yang menari-nari bersama udara malam yang dinginnya menembus tulang. Tiap kali berhadapan dengannya, mata Erwin menjadi agen ganda: kamera sekaligus proyektor. Segala komponen penyusun alam semesta seolah bergerak melambat, menimbulkan efek yang sama seperti pada film-film ketika menayangkan adegan dramatis.
“Apa maksudnya bahwa kamu menduga aku akan datang kemari?”
“Aku tau kamu suka teater. Jadi, aku yakin seratus persen kalau kamu akan meliput pentas unit teater untuk tugas liputan kegiatan unit.”
Seni peran. Teater. Drama. Dunia penuh keindahan dan dramatisasi itu telah memukau Erwin sejak lama. Selama bertahun-tahun, dia pikir hanya dirinya dan Tuhan yang tau.
“Kamu... Alfa, kan?”
Erwin tidak melihat sedikit pun keraguan pada kedua mata gadis itu. Mata yang berbinar-binar di bawah remang-remang lampu jingga itu menunjukan keyakinan yang sangat besar.
“Saya... saya tidak mengerti apa yang kamu bicarakan. Saya permisi.”
Erwin buru-buru melarikan diri. Namun, gadis bertubuh mungil itu nyatanya begitu cekatan hingga bisa mendahuluinya.
“Aku membaca tulisanmu di koran sejak aku masih SMA. Tulisanmu menjadi salah satu yang paling kutunggu. Aku membaca semuanya. Aku bahkan mengirim beberapa surat ke pihak penerbit.” Gadis itu menggaruk bagian belakang kepala. “Walaupun aku tidak yakin suratnya sampai padamu.”
Alfa—huruf pertama abjad Yunani—berarti yang pertama, yang terbaik, bintang yang paling terang, tapi juga berarti tak acuh. Erwin yang merasa dirinya berada di antara kedua definisi itu menggunakannya sebagai nama pena lima tahun silam. Kecintaannya pada dunia sastra tidak bisa dia umbar kepada kedua orang tua, memaksanya berbagi pada orang lain yang mungkin menerimanya apa adanya.
“Saya sudah bilang, saya tidak paham apa yang kamu bicarakan. Saya bukan—”
“Atau mungkin... kamu salah satu penggemarnya sama sepertiku?”
“Bukan... bukan...” Erwin memijat kepala. “Kamu mungkin menganggap dia hebat tapi saya tidak mengidolakannya.”
“Kalau kamu bukan penggemar Alfa, itu berarti kamu adalah Alfa. Kalau kamu bukan Alfa, itu berarti kamu adalah penggemarnya. Hanya ada dua kemungkinan itu. Meskipun, tetap, aku lebih yakin kalau kamu adalah Alfa.”
“Sudah saya katakan, saya bukan—”
“Buktikan padaku kalau kamu bukan Alfa.”
“Kenapa saya harus repot-repot membuktikan padamu bahwa saya bukan orang yang kamu cari?”
“Karena selama kamu tidak bisa membuktikannya, aku akan terus menganggap bahwa kamu adalah Alfa. Tidak peduli seberapa keras kamu mengelak.” Gadis itu melipat kedua tangannya. Wajahnya berubah serius namun tidak tampak mengintimidasi sama sekali.
“Bagaimana caranya?” Erwin menyerah.
“Berhenti menulis seperti dia.”
Erwin mengerjapkan kedua mata. Gadis di hadapannya tidak sedang bercanda.
“Kamu mungkin tidak sadar tapi sudah bertahun-tahun aku membaca tulisan Alfa. Aku tidak mungkin tidak menyadarinya. Caramu merangkai kata menjadi kalimat, jiwa yang kamu berikan pada setiap kata yang kamu tulis, aku menemukan hal yang sama pada tulisan Alfa. Ketika aku membaca liputan tugas kaderisasi pertama milikmu, aku membayangkan Alfa. Kalian tidak mungkin orang yang berbeda karena seorang peniru pun tidak akan bisa meniru sesempurna itu.”
Erwin tidak mungkin menyombongkan diri di hadapan gadis yang selama ini mencuri perhatiannya—dan ternyata mengagumi tulisannya sejak dulu. Erwin merasa tidak pantas meskipun sah saja baginya untuk berlagak seperti itu. Di tengah situasi sulit, Erwin tidak punya pilihan lain selain menghilangkan diri.