The Throne

Mentari
Chapter #19

Ceroboh

“Tamara?”

Tamara mengedarkan pandangan. Tatapan puluhan pasang mata yang tertuju ke arahnya membantunya berhenti melamunkan tulisan Papa di udara sampai tidak menyadari kalau sedari tadi Bu Nina menyerukan namanya.

 “Kamu tidak enak badan? Mau ke UKS?”

“Ti-tidak, Bu. Saya tidak apa-apa,” jawab Tamara. “Saya hanya kurang fokus. Maaf.”

“Kalau begitu... bisa kamu bantu menyelesaikan soal di depan?”

Tamara menerima spidol dari tangan Bu Nina dan secepat kilat menyelesaikan soal persamaan parabola di papan tulis. Tamara ingat betul kalau soal yang sedang dia kerjakan adalah soal ulangan harian minggu lalu, hingga tidak sampai lima menit satu buah papan tulis sudah penuh dengan penyelesaian yang langsung mengundang decak kagum seiisi kelas.

“Nah Tamara, bisa kamu jelaskan kepada teman-teman seperti apa alur pengerjaan soal ini?”

Tamara menepi ke sisi kanan lalu mulai menjelaskan alur pengerjaan persamaan parabola dengan sangat rinci: mulai dari menentukan titik koordinat mayor dan minor, menentukan persamaan parabola yang sesuai dengan titik koordinat mayor dan minor, hingga didapat nilai x yang dicari.

“Luar biasa. Kita beri Tamara apresiasi.”

Suara tepuk tangan riuh rendah mengiringi langkah Tamara kembali ke bangkunya.

Sebelum Bu Nina mengakhiri kelas tambahan Matematika sore itu, Bu Nina membagikan hasil ulangan harian minggu lalu. Tamara mendapat nilai tertinggi, nilai sempurna, seratus. Wajah Bu Nina berseri-seri ketika mengumumkannya di depan kelas. Dalam sejarah Bu Nina mengajar kelas XI-A5, baru kali ini ada yang bisa mendapat nilai sempurna. Meskipun Bu Nina tau kalau Tamara bukan penghuni asli kelas yang kerap menjadi bahan olok-olok itu, tetap saja beliau merasa bangga akan pencapaiannya.

“Tamara, kamu keren banget, deh!”

Tamara yang sedang sibuk merapikan buku-buku di atas meja menoleh ke arah siswi—dengan papan nama bertuliskan ‘Jelita Asmara’—yang duduk berseberangan dengannya. Sejak hari pertama Tamara menginjakan kaki di kelas XI-A5, gadis yang kerap mengepang rambutnya itu sudah menunjukan niat baik untuk berteman. Akan tetapi, Tamara memberi respon yang tidak terlalu baik. Tamara tidak bernafsu untuk benar-benar menjalin pertemanan dengan siapa pun di kelas barunya.

“Kamu belajar siang malam setiap hari, ya?” tanya Jelita antusias.

“Kalau kamu ditakdirkan jadi Tamara, tanpa belajar juga kamu bisa dapat nilai seratus,” kilah Rima, teman semeja Jelita yang sedang kebagian piket merapikan loker buku di bagian belakang kelas.

Tamara menanggapinya dengan senyum tipis. Orang yang tidak mengenalnya tentu akan berpikir demikian. Padahal tidak ada yang instan di dunia ini. Mie instan saja tidak instan: masih perlu diseduh dan diaduk, apalagi mendapat nilai seratus dalam ujian. Hidup tidak pernah menjadi sesuatu yang mudah untuk dijalani bagi Tamara. Dan tidak ada satu pun yang tau tentang fakta yang satu itu.

“Aku... duluan, ya,” ujar Tamara sembari menggendong tas punggungnya.

“Hati-hati, Ra.”

Untuk bisa sampai ke lobi dari gedung kelas reguler, Tamara harus melewati lorong panjang dan setengah bagian lapangan upacara. Tamara samar-samar mendengar celoteh siswa-siswi yang kebetulan sedang mengikuti kegiatan ekstrakulikuler basket dan futsal. Mereka sibuk membicarakan pesta perayaan ulang tahun SMA Purna Bakti yang akan diselenggarakan minggu depan.

Langkah Tamara terhenti di depan mading besar dekat pintu lobi. Pada papan kayu itu terpampang poster pesta rakyat yang didesain dengan sangat apik oleh tim kreatif kepanitiaan acara.

“Setiap orang yang memandang poster ini pasti akan bertanya-tanya, siapa pencetus ide hebat ini.”

Mata Tamara bertemu mata Gigih yang berbinar-binar.

“Ide Bella dan Renata memang selalu cemerlang.” Tamara kembali menatap mading.

“Ide kamu juga cemerlang, Ra. Kan, kamu duluan yang mengusulkan ide ini, lalu Bella dan Renata melengkapi.”

“Eh, bukannya itu Kak Tamara yang curang saat pemilu?”

“Sayang banget, ya. Padahal berprestasi.”

Mata Gigih mengikuti tiga siswi kelas X yang secara terang-terangan membicarakan Tamara seolah tidak menyadari kehadirannya. Selain mata elang, telinga kelinci merupakan salah satu kelebihan yang Tamara miliki dan sejak aksi curangnya terungkap, Tamara mulai tidak menyukai kelebihannya yang satu itu.

“Tamara. Kamu tidak mau mencaritau siapa yang waktu itu menempel selebaran di mading?”

“Untuk apa? Kalau pun aku tau siapa yang menempel selebaran itu di mading sekolah, aku harus apa?” Tamara menoleh pelan ke arah Gigih yang sudah lebih dulu menatapnya. “Kamu mau aku melakukan apa? Melapor? Atas tuduhan apa? Fitnah? Pencemaran nama baik? Tidak mungkin. Apa yang diberitakan pada selebaran itu bukanlah fitnah, melainkan fakta. Dan aku sendiri yang mencemarkan nama baikku, bukan orang lain.”

“Tapi, Ra—berhenti menyalahkan dirimu sendiri.”

“Berhenti menyalahkan dirimu sendiri, katamu?” Tamara mendengus kesal. “Kurasa kamu lupa siapa yang dengan suara tinggi memojokanku setelah membaca proposal yang kurubah. Dan sekarang kamu memintaku untuk tidak menyalahkan diriku sendiri? Mudah sekali bagimu mengatakannya.“

Gigih menelan ludah, sadar bahwa Tamara sedang menceritakan tentang dirinya. “Aku—aku benar-benar minta maaf, Ra.”

“Aku tidak butuh dikasihani, Gih. Aku tidah butuh belas kasihan siapa pun.”

Revo yang tiba-tiba memanggilnya untuk segera ke ruang OSIS dan memulai rapat menggagalkan rencana Gigih yang semula ingin menahan Tamara yang kian menjauh sebelum kemudian menghilang di ujung lorong.

Kalau kamu tidak berniat mencari tau siapa yang memasang selebaran itu, aku yang akan melakukannya, Ra. Aku akan melakukannya, untukmu, batin Gigih.

**

Hiasan anyaman bambu menggantung di langit-langit lorong dan menghiasi setiap sudut sekolah. Sebuah panggung megah berdiri di sisi barat lapangan upacara. Siswa-siswi berkaos hitam dengan sablon putih bertuliskan ‘panitia’ di bagian punggung sibuk mempersiapkan alat musik di atas panggung. Para perwakilan kelas mulai mempersiapkan dagangan pada kios yang berjejer mengelilingi lapangan upacara dan memanjang hingga ke pintu samping sekolah yang berdekatan dengan arena parkir motor.

Lihat selengkapnya