Tamara memainkan pulpen hitam dengan telunjuk dan ibu jari sembari sesekali melirik ke arah bandul jam pada pergelangan tangan kiri. Empat lembar soal ujian Fisika berhasil diselesaikan dalam satu jam. Dia sudah tiga kali membolak-balikan lembar jawaban, memastikan tidak ada soal yang terlewat dan memastikan bahwa setiap pertanyaan telah dijawab dengan sebaik-baiknya. Peraturan ujian melarang siswa-siswi yang duluan selesai mengerjakan ujian untuk keluar ruang ujian sebelum waktu ujian berakhir memaksa Tamara pasrah menunggu di bangkunya hingga bel berbunyi.
Gerak-gerik mencurigakan seorang siswa berambut gondrong yang duduk tepat di seberang mengundang Tamara untuk diam-diam memperhatikannya. Siswa berambut gondrong itu tidak lain adalah Fian, siswa yang sampai sejauh ini konsisten menempati peringkat terakhir satu angkatan. Tamara ingat pernah beberapa kali memberi Fian poin pelanggaran karena terlambat pada hari Senin, karena rambut gondrongnya yang selalu tampak seperti tidak pernah disisir selama bertahun-tahun, dan karena kebiasaan Fian mengenakan celana seragam yang telah dikecilkan dan dimodifikasi menyerupai celana Elvis Presley.
“Roni! Roni!”
Kesunyian ruang ujian membuat bisikan Fian tidak terdengar seperti sebuah bisikan. Tamara yakin suara Fian bahkan terdengar hingga ke barisan paling depan. Anehnya, Bu Lisa—guru muda yang baru mengajar di SMA Purna Bakti sejak setahun yang lalu—tetap sibuk dengan sesuatu pada layar laptop di hadapannya dan tampak tidak terganggu dengan suara Fian sama sekali.
Roni duduk di depan Firda, yang menempati kursi di depan kursi Tamara. Roni memberi informasi kepada Fian melalui bahasa isyarat yang tidak bisa Tamara pahami. Meskipun begitu, Tamara yakin seratus persen kalau apa yang sedang mereka bicarakan sudah pasti mengenai jawaban soal ujian, mengingat Roni langganan peringkat satu kelas dan merupakan seorang siswa penakut yang bisa dengan mudah diperbudak oleh preman kelas teri seperti Fian.
Tamara terus memperhatikan gerak-gerik Roni, sampai pada momen ketika Roni menulis sesuatu pada secarik kertas dan meremasnya menyerupai bentuk bola. Sembari sesekali melirik ke arah Bu Lisa, Roni melempar bola kertas berisi contekan yang sialnya jatuh di dekat kaki meja Tamara akibat angin yang tiba-tiba berhembus dari arah jendela bagian kanan.
“Hei! Hei!”
Tamara berlagak seolah tidak mendengar apa-apa.
“Hei! Itu kertas punyaku!”
Kesal karena Fian terus-terusan mengusiknya, tanpa berpikir panjang, Tamara menendang bola kartas itu ke arah belakang kelas.
“Hei! Anj... duh!”
Baru saja Fian hendak menginformasikan kondisi darurat yang sedang dialaminya kepada Roni, Bu Lisa menurunkan layar laptop dan mulai fokus memperhatikan setiap sudut kelas. Fian terpaksa mengisi sebagian besar lembar jawaban yang masih kosong melompong dengan jawaban asal-asalan, sama seperti dulu ketika dia belum memiliki ide untuk memanfaatkan Roni.
Bel tanda waktu ujian berakhir berbunyi tepat pukul satu siang. Tamara menjadi yang pertama mengumpulkan lembar jawaban di atas meja pengawas. Sembari melangkah kembali menuju bangku, Tamara sibuk membetulkan bagian bawah lengan kemeja yang agak terlipat hingga tidak sadar kaki jahil Fian telah siap menyambutnya.
Tamara jatuh tersungkur dengan posisi lutut dan telapak tangan lebih dulu menghantam lantai. Samar-samar Tamara mendengar kekehan tawa puas Fian dari arah belakang, membuatnya refleks berdiri sembari merapikan roknya yang sedikit kusut.
“Jadi ini balasanmu pada siapa pun yang menggagalkan usaha curangmu saat ujian, hah?”
Pertanyaan yang spontan Tamara lontarkan dalam satu tarikan napas membuat seisi ruang ujian terdiam, termasuk Bu Lisa yang sedari tadi sibuk merapikan lembar soal dan lembar jawaban ujian sebelum memasukannya ke dalam map cokelat.
“Bu Lisa.” Tamara mengangkat sebelah tangan tinggi-tinggi. “Fian melakukan kecurangan. Bola kertas di belakang kelas adalah buktinya.”
Wajah Fian memerah dan Roni tidak kuasa menahan diri sampai-sampai bersembunyi di balik tubuh Joshua. Keduanya tidak menyangka Tamara akan mengadu. Tanpa ba-bi-bu, Bu Lisa bergegas menuju bagian belakang kelas. Tidak sampai satu menit guru muda berhijab itu berhasil menemukan bola kertas yang Tamara maksud.
“Siapa yang menulis ini? Siapa yang memberi contekan kepada Fian?” Bu Lisa mengangkat kertas kusut yang dia temukan. “Kalau tidak ada yang mengaku, saya akan minta kepada guru mata pelajaran terkait untuk mengurangi nilai setiap siswa yang ada di ruangan ini.”
Suasana kelas mendadak gaduh, beberapa mulai saling tuduh tapi Roni masih diam seribu bahasa, seperti tidak berniat untuk mengaku.
“Tidak ada yang mengaku?”Bu Lisa bertanya lagi.
“Roni yang melakukannya, Bu,” jawab Firda, membuat seisi kelas semakin gaduh hingga Bu Lisa harus turun tangan. “Saya duduk tepat di belakang Roni, saya melihat dia melempar bola kertas itu ke arah Fian.”
“Siapa yang bernama Roni di sini?”
Siswa-siswi yang mengerubungi Roni perlahan menjauh, termasuk Joshua yang baru menyadari bahwa sedari tadi tubuhnya dijadikan tameng oleh sang juara kelas. Tau bahwa kini sudah tidak ada lagi cara untuk menyelamatkan diri, Roni mengangkat rendah tangan kanannya.
“Roni. Fian. Ikut dengan saya ke ruang kepala sekolah. Sekarang.”
Roni dan Fian mengangguk pelan hampir bebarengan lalu melangkah beriringan keluar ruang ujian, mengekori Bu Lisa yang berjalan di depan mereka.
Seperti dugaan Tamara, orang-orang tidak berhenti membicarakan sikapnya yang mengejutkan. Beberapa menganggap sikap Tamara barusan sebagai suatu aksi heroik tapi beberapa menyebutnya sebagai aksi bunuh diri. Tidak ingin ambil pusing, Tamara tidak mengacuhkan semua perhatian yang menghujaninya.
“Jadi orang jangan belagu, mentang-mentang ‘mantan’ anak internasional!”
Akbar menendang kursi di sisi kanan Tamara. Andai saja dia menendangnya dengan sedikit lebih kuat, kaki Tamara akan mendapat memar yang cukup serius. Berbeda dengan dirinya yang tampak berapi-api, Tamara justru terlihat sangat tenang.
“Tidak usah sok jadi pahlawan!”
“Peraturan sekolah sudah sangat jelas. Kecurangan akademik merupakan pelanggaran yang serius,” jawab Tamara tanpa sedikit pun rasa takut terlukis di wajahnya, membuat Akbar semakin geram hingga sebelah tangannya menghantam meja.
“Tidak usah sok suci! Sok-sokan ceramah tentang kecurangan akademik padahal sendirinya juga curang!” Akbar meninggikan nada bicaranya saat mengucapkan kata ‘curang’. “Tidak usah sok merasa jadi yang paling benar! Kamu tidak ada bedanya dengan Fian!”
Randy dan Putra bergegas menahan Akbar dan membawanya keluar ruang ujian sebelum lelaki bertindak di luar batas, hal yang lumrah dia lakukan tiap kali tersulut bara api emosi. Padahal dia terkenal ramah kepada siapa pun, kecuali mereka yang berani membuat masalah dengannya dan Fian, tentu saja. Dalam hal ini, Tamara salah satunya.
Kamu tidak ada bedanya dengan Fian
Kamu tidak ada bedanya dengan Fian
Kamu tidak ada bedanya dengan Fian
Kata-kata itu membekukan Tamara. Sebuah pertanyaan muncul dalam benaknya: apakah benar dia dan Fian tidak ada bedanya?
“Ra? Kamu tidak apa-apa?” tanya Jelita yang sejak semenit yang lalu berdiri di samping meja Tamara. “Aduh Ra... lebih baik jangan cari masalah sama Fian dan Akbar deh. Kita semua juga tidak suka dengan kebiasaan mereka curang setiap kali ujian akhir tapi lebih baik diam daripada cari masalah sama mereka. Bisa berabe. Toh dengan Fian curang juga peringkatmu tidak akan terusik.”