Langkah kaki Gigih melambat begitu memasuki kawasan pemukiman padat penduduk. Sibuk berkutat dengan jemari dan pikiran yang datang dan pergi silih berganti, lelaki itu beberapa kali nyaris menabrak warga yang lalu lalang di sekelilingnya.
Gigih memasukan kunci ke dalam lubang pintu dan merasakan sesuatu yang mengganjal di sisi yang berlawanan. Begitu dia menekan kenop pintu, pintu kayu yang sudah digerogori rayap di bagian bawahnya itu bergerak ke dalam, menimbulkan suara berderit.
“Iren... aku pulang. Kurasa kamu lupa mengunci pintu dan melepas kunci dari lubang pintu.”
Rumah terasa sangat sepi. Iren yang biasanya menyambut kedatangannya dengan sebuah pelukan erat dan ucapan ‘selamat datang’ pun tidak tampak batang hidungnya.
“Iren, aku pulang.”
Gigih mengulangi ucapannya dengan lebih keras tapi tetap tidak ada balasan.
“Iren? Kamu di kamar, ya?”
Gigih bergegas menuju kamar Iren yang bersebelahan dengan kamarnya.
“Iren?” Gigih mendekatkan telinganya ke arah pintu, tidak terdengar apa-apa.
“Iren, kamu tidak apa-apa?” Tetap tidak ada jawaban. “Ren, aku masuk ya.”
Tanpa menunggu persetujuan, Gigh membuka pintu kamar Iren yang dipenuhi hiasan origami. Gadis berambut ikal itu duduk bersimpuh di lantai dengan kedua tangan di atas ranjang.
“Kamu kenapa, Ren?” Gigih menunjuk plester pada punggung tangan kanan yang gagal Iren sembunyikan. “Kamu jatuh?”
“Kak, jawab pertanyaan Iren dengan jujur.”
“Kamu dulu yang jawab pertanyaanku, Ren.”
“Apa benar Kak Gigih bergabung dengan geng anak-anak nakal di sekolah?”
Iren tidak peduli dengan pertanyaan Gigih mengenai plester yang menutupi luka gores pada punggung tangannya. Dia hanya peduli pada rumor buruk mengenai sang kakak yang dikatakan teman sekelasnya.
“Kak, jawab Iren.”
Gigih melepas cengkeraman pada ujung bahu Iren lalu duduk di hadapan adik kesayangannya dengan kepala tertunduk. Gigih tidak menyangka bahwa Iren akan tau tentang dirinya yang sejak beberapa bulan yang lalu bergabung dengan geng Bono dan menjadi salah satu siswa dengan poin pelanggaran paling banyak di sekolah. Bahkan surat panggilan orang tua pun sudah dia terima dua minggu yang lalu.
“Kamu kamu tau darimana, Ren?”
“Ini bukan masalah Iren tau dari siapa, Kak. Iren hanya ingin Kak Gigih jawab dengan jujur, apa benar Kak Gigih bergabung dengan geng anak-anak nakal?”
Iren tak gentar memaksa Gigih menjawab pertanyaannya. Gigih ingin sekali memberitau Iren bahwa dia tidak benar-benar berniat untuk bergabung dengan gengnya Bono, bahwa pada awalnya dia bergabung dengan geng paling fenomenal di sekolah murni karena terpaksa. Akan tetapi, sekarang Gigih sudah merasa nyaman dengan lingkaran pertemanannya dengan Bono, Arman, dan Tio. Ditambah, pasti akan sangat memalukan bila sampai Iren tau Gigih melakukannya karena sesuatu dalam dompetnya.
“Ya ampun, Kak. Ini alasannya dulu Ayah dan Ibu sempat tidak setuju Kak Gigih masuk kelas IPS, karena takut Kak Gigih terjerumus dalam hal-hal buruk seperti ini. Bergaul dengan anak-anak nakal, melanggaran peraturan sekolah—”
“Melanggar peraturan sekolah?” Nada bicara Gigih meninggi setelah teringat dengan hilangnya surat panggilan orang tua dari sekolah. “Kamu melihat isi lemariku?”
“I-Iren tidak sengaja, Kak,” balas Iren. “Iren sedang memasukan baju dari ke lemari Kak Gigih dan menemukan surat dari sekolah. Iren tidak percaya Kak Gigih mendapat poin pelanggaran sebanyak itu. Iren yakin Kak Gigih adalah murid yang baik, pintar, dan patuh pada peraturan sekolah. Makanya...”
“Makanya?”
“Beberapa hari yang lalu, diam-diam Iren ke sekolah Kak Gigih.” Iren merendahkan volume suaranya, nyaris terdengar seperti bisikan.
“Apa?”
“Iren diam-diam ke sekolah Kak Gigih.”
“Kenapa—”
“Iren merasa sekolah Kak Gigih membuat kesalahan, makanya Iren berniat protes dan mengembalikan surat yang mereka berikan. Beberapa hari setelah Iren ke sekolah Kak Gigih, seorang anak di kelas Iren mengatakan bahwa peringkat Kak Gigih tidak terlalu bagus di sekolah dan poin pelanggaran Kak Gigih paling tinggi di antara murid lain. Tadi Iren dapat nilai ulangan harian tertinggi di sekolah dan anak itu menuduh Iren berbuat curang dengan alasan mana mungkin adik dari seseorang yang bodoh dan tukang buat onar bisa dapat nilai tertinggi.”
Iren merendahkan suaranya saat mengatakan ‘bodoh’. Kedua matanya mulai berkaca-kaca mengingat kejadian di sekolah tadi siang.
“Kak Gigih harus berubah, kembali jadi Kak Gigih yang Iren kenal. Bukan hanya agar Iren tidak diolok-olok lagi tapi demi kebaikan Kak Gigih. Iren tau ada sesuatu yang membuat Kak Gigih berubah jadi seperti ini dan Iren tidak akan memaksa Kak Gigih untuk cerita kalau memang tidak mau. Iren hanya minta satu hal, be-ru-bah. Jadilah Kak Gigih yang membanggakan seperti dulu. Kak Gigih yang pintar dan dapat diandalkan. Kalau bisa, Kak Gigih coba jadi ketua OSIS, seperti saat di SMP. Gagal tidak apa-apa, yang penting sudah berusaha. Ya?”
Gigih menyeka jejak air mata di kedua pipi Iren kemudian menarik gadis itu ke dalam pelukan hangatnya.
“Ren, aku minta maaf karena kamu harus mengalami semua ini. Aku aku akan berusaha jadi murid yang baik dan aku akan mulai belajar dengan sungguh-sungguh. Tapi, tentang teman-temanku, aku tidak bisa meninggalkan mereka.”