The Throne

Mentari
Chapter #22

Bukti

“Kelas tambahan untuk hari ini sampai di sini, ya. Kelas tambahan bahasa Inggris diganti minggu depan karena Mrs. Kelly masih ada pertemuan penting di Malaysia.”

Sorak sorai siswa-siswi kelas XI-A5 mengiringi langkah Bu Nina keluar kelas. Meskipun baru minggu kedua semester genap, kelas tambahan sudah diadakan agar lebih mudah menyesuaikan dengan materi yang diajarkan di kelas.

Sembari merapikan buku dan alat tulis di atas meja, Tamara diam-diam memperhatikan Fian, Akbar, dan kawanan mereka di deretan belakang. Sejak hari pertama semester genap dimulai, Kinan sang ketua kelas mengusulkan rolling tempat. Ide Kinan disambut dengan sukacita oleh Tamara. Dengan begini, dia hanya kebagian duduk di deretan paling belakang seminggu sekali, setiap hari Rabu. Berbeda dengannya, Fian dan teman-temannya menganggap ide Kinan memberatkan mereka yang sudah sangat nyaman mendekam di deretan kursi paling belakang, di mana mereka bisa lebih mudah lepas dari pengawasan guru yang sedang mengajar dan memiliki peluang paling kecil untuk disuruh mengerjakan soal di depan kelas. Karena sebagian besar menyetujui ide Kinan, mau tidak mau Fian dan teman-temannya harus rela menempati bangku paling depan setidaknya seminggu sekali.

Tamara memalingkan pandangan dan menangkap basah Roni tengah memperhatikannya. Tidak lama berselang, mantan bintang kelas itu membuang muka. Kejadian pada hari terakhir ujian, ditambah gelar bintang kelas kini menjadi milik Tamara, gadis itu yakin Roni tidak akan pernah memaafkannya. Sama halnya dengan Fian dan teman-temannya yang sejak hari pertama sudah mencari masalah dengan menempel kertas bertuliskan ‘Tamara sok suci!’ pada mading kelas. Tidak mau ambil pusing, Tamara tidak mengacuhkannya.

Begitu sampai di pertigaan lorong, Tamara berbelok dan mampir ke perpustakaan untuk mengembalikan beberapa buku pelajaran yang dia pinjam pada minggu pertama.

“Bu, saya mau mengembalikan buku.”

Tamara menyerahkan kartu anggota perpustakaan pada wanita berumur sekitar dua puluh tahun. Pada papan namanya tertulis ‘Restu Setyoningsih’. Petugas perpustakaan baru, begitu pikirnya.

“Teteh kelas XI-A1, kan?” Bu Restu memeriksa keterangan pada kartu anggota Tamara. “Kok di sini tercatatnya kelas XI-A5, ya?”

“Hm... ini... ada salah ketik pas pembuatan kartu, Bu.”

Tamara menjawab seadanya. Tidak mungkin dia mau menghabiskan waktu menjelaskan kepada Bu Restu alasan perbedaan informasi pada kartu anggota dan database komputer.

Jam dinding menunjukan pukul setengah empat, setengah jam menjelang waktu tutup perpustakaan. Tamara yang semula berniat meminjam beberapa buku pelajaran yang lain justru berbelok ketika melewati lemari D yang berisi kumpulan majalah nasional dan internasional. Majalah dengan sampul bergambar pemandangan patung Liberty mengundang perhatian Tamara. Sedikit berjinjit, gadis itu berusaha meraih majalah yang bertengger pada lemari deret kedua dari atas. Ditulis dengan huruf kapital bercetak tebal, tulisan ‘Beasiswa Ivy League’ berhasil memukau Tamara. Ikon khas negeri Paman Sam mengingatkan Tamara pada kartu pos pemberian Papa, juga surat yang diam-diam dia kirim ke alamat yang tertera pada kartu pos itu.

Sejak pertengkarannya dengan Mama karena membahas perpisahan mereka, hubungan Tamara dan Mama merenggang. Baik Tamara maupun Mama sama-sama tidak berniat membuka pembicaraan ketika kebetulan berkumpul di ruang makan untuk sarapan atau makan malam. Mama semakin jarang pulang ke rumah karena sibuk dengan tugas dinas ke luar kota. Ketika Mama kebetulan ada di rumah, Tamara beberapa kali memergoki Mama mengobrol dengan seorang pria lewat telepon. Melihat gelagat aneh Mama yang refleks menyembunyikan diri tiap kali kepergok, Tamara yakin Mama diam-diam menelepon Robby. Merasa asing dengan rumahnya sendiri, gadis itu mulai tertarik melanjutkan pendidikan di Amerika Serikat dan tinggal bersama papa.

Bunyi tumpukan kertas jatuh mengundang perhatian Tamara. Dia buru-buru mengembalikan majalah di tempat semula dan bergegas menuju sumber suara.

“Tamara?” Gigih merapikan kertas-kertas yang berserakan di atas lantai lalu meletakannya di atas meja. “Kelas tambahannya sudah selesai?”

Tamara mengangguk pelan.

“Kamu sedang apa di sini?”

“Mengurusi kerjaan OSIS.” Senyum menawan yang kian mengembang membantu menyamarkan raut lelah yang semula terlukis jelas pada wajah Gigih. “Kamu?”

“Mengembalikan buku.”

Ragu-ragu, kaki mungil Tamara melangkah mendekati Gigih.

“Semuanya... baik-baik saja?” Tamara menarik kursi pada sisi meja yang berlainan.

“Maksudmu OSIS? Ya, sejauh ini baik-baik saja, kurasa, kuharap. Aku dan teman-teman sedang merancang proposal kegiatan untuk satu semester ke depan. Akan ada festival literasi pada bulan Maret yang akan menjadi tanggung jawab bidang sastra dan budaya juga bidang komunikasi dan bahasa Inggris. Rencananya kami akan bekerja sama dengan klub jurnalistik untuk mempersiapkan acara bincang-bincang literasi. Akan ada lomba bercerita, menulis cerpan, cipta dan baca puisi, serta lomba mading antar kelas. Lalu bulan April akan ada peringatan hari Kartini. Untuk peringatan hari Kartini, konsep kami masih perlu disempurnakan lagi. Terakhir akan ada olimpiade olahraga yang ditutup dengan festival musik pada pertengahan bulan Mei.”

“Pertengahan bulan Mei? Biasanya OSIS akan sibuk mengurus acara kelulusan kelas XII menjelang bulan Mei. Apakah tidak akan bentrok?”

“Yah, pasti akan bentrok, sih.” Gigih mengacak rambut.

“Ditambah lagi, bagaimana kalau kakak kelas XII protes? Maksudku, untuk pertama kali dalam sejarah SMA Purna Bakti diadakan olimpiade olahraga dan tahun ini menjadi satu-satunya kesempatan mereka untuk berpartisipasi tapi mereka justru tidak dilibatkan. Kenapa olimpiade olahraga tidak dimajukan jadi bulan Februari? Atau festival literasinya dimajukan jadi Februari, festival olahraga pada bulan Maret, jadi bulan Mei OSIS fokus mengurus acara kelulusan kelas XII saja.”

“Sebenarnya...” Gigih membuka buku catatan berukuran A5 dengan sampul hitam polos dan menunjukan kepada Tamara catatan kecil yang tertulis pada bagian pojok kanan bawah, “aku memang merencanakan festival olahraga pada bulan Februari atau Maret. Tapi kami tidak boleh mengajukan proposal kegiatan sebelum masalah keuangan OSIS selesai.” Nada bicara Gigih menurun.

“Keuangan OSIS bermasalah?”

Gigih mengangguk pelan.

“Anggaran untuk perayaan ulang tahun sekolah kemarin defisit. Seratus sepuluh persen.”

“Itu jumlah yang lumayan banyak,” komentar Tamara. “Kalian utang kemana?”

“Pihak sekolah. Makanya, Pak Firman minta kami menyelesaikan dulu masalah utang-piutang dengan pihak sekolah, baru setelah itu proposal kegiatan yang lain bisa masuk. Proposal maksimal masuk satu bulan sebelum kegiatan diselenggarakan jadi tidak mungkin menyelenggarakan acara pada bulan Februari.”

“Apa ide kalian untuk membayar utang? Iuran kelas?” Gigih mengangguk. “Ide lain?”

“Dari bidang kewirausahaan mengusulkan untuk menjual barang seperti baju dan pernak pernik dengan sistem pesan di awal. Sejauh ini responnya cukup baik tapi tetap saja tidak cukup untuk bisa melunasi utang sebelum bulan Maret.”

“Bagaimana kalau jualan makanan? Meskipun untungnya tidak terlalu besar tapi makanan lebih mudah terjual dan kalau begitu akumulasi untungnya bisa lebih besar.”

“Bella mengusulkan ide yang sama tapi aku kurang setuju. Yang terkena imbasnya bisa jadi pedagang di kantin. Penjualan mereka akan menurun. Ditambah mereka, kan membayar biaya sewa kios. Mungkin pemikiranku terlalu jauh tapi aku takut mereka protes ke pihak sekolah.”

“Aku setuju tentang kemungkinan buruk mereka akan protes. Kita bisa tetap mengusahakannya dengan cara menitipkan dagangan kita pada kios di kantin. Dagangan yang berbeda untuk tiap kios. Kita ambil sebagian untung yang kita peroleh, sebagian kita berikan ke penjual yang punya kios. Memang, sih risikonya kita harus mempertimbangkan matang-matang, makanan apa saja yang bisa dijual, yang kira-kira nilai belinya tinggi dan masih masuk akal kalau dijual dengan harga tinggi agar untung yang didapat juga lumayan besar. Bagaimana?”

Gigih bergegas mencatat gagasan Tamara pada buku catatannya. Gumaman mengudara rendah seirama gerakan pena yang dengan lincah menari di atas kertas bergaris.

 “Ada satu ide lagi.”

“Apa?”

Garage sale.”

“Geregsel?”

Garage sale.” Tamara membenarkan. “Jadi, OSIS menerima sumbangan barang apapun dari para siswa untuk dijual lagi dengan harga miring. Barangnya harus masih layak pakai biar harga jualnya bisa lebih tinggi. Nah, untuk meningkatkan antusiasme para siswa, sepuluh persen dari hasil penjualan akan diberikan kepada si penyumbang. Jadi, pihak OSIS harus mencatat setiap barang yang disumbangkan agar perhitungan komisinya menjadi lebih jelas. Kalian bisa jualan setiap Sabtu dan Minggu di Gasibu atau daerah dekat pasar. Di sana pasti ramai jadi besar kemungkinan dagangannya akan laris.”

“Wah. Aku baru pernah tau ada ide seperti itu.” Gigih terus mencatat. “Nah. Ide ini akan aku sampaikan pada rapat besok.” Gigih memandang catatannya dengan sorot mata penuh semangat. “Terima kasih banyak, Ra.”

“Sama-sama.”

Tamara setengah tidak percaya dirinya secara sukarela membantu Gigih, mantan rival yang sempat menjungkirbalikan dunianya. Tamara berharap idenya bisa membantu memperbaiki keadaan walaupun pada akhirnya apresiasi terbesar akan dialamatkan pada Gigih. Tamara sadar bahwa kini dia bukan siapa-siapa. Namun rasa memiliki akan organisasi tempat dia menimba banyak ilmu dan kenangan itu masih tetap ada, membuatnya tidak bisa diam saja ketika tau situasinya sedang tidak baik-baik saja.

“Eh, Gih.”

“Iya?”

“Aku... boleh lihat proposal dan LPJ acara perayaan ulang tahun sekolah?”

“Boleh.”

Lihat selengkapnya