“Kamu yakin bisa menangani Mita sendiri? Bagaimana kalau dia datang bersama Kelly dan Yulia meskipun kamu memintanya datang sendiri? Kamu yakin dia tidak akan melakukan sesuatu diluar kendali?”
Tamara mengecek jam pada layar ponsel sekali lagi. Mita sudah terlambat lima belas menit dari waktu yang diminta. Tamara khawatir Mita tidak akan datang karena dia menunda waktu pertemuan mereka yang semula pada jam istirahat pertama menjadi jam istirahat kedua. Sementara itu, ponsel Tamara bergetar untuk yang kesekian kali. Pesan baru dari Gigih, lagi. Lelaki itu begitu khawatir sesuatu akan terjadi antara Tamara dan Mita. Sebaliknya, Tamara yakin hal terburuk yang mungkin terjadi pastilah hanya sebatas adu mulut dan tidak akan sampai pada adu tinju atau berkelahi.
To: Gigih
Aku bisa menyelesaikan masalah ini sendiri. Pastikan saja Adam mengirimkan rekaman suaranya secepatnya.
Bertepatan dengan Tamara menekan tombol hijau, seseorang datang dari arah kanan.
“Wah... wah... aku merasakan deja vu.” Mita mendekati Tamara dengan penuh percaya diri. Tidak ada sedikit pun rasa takut atau ragu terlukis di wajahnya. “Jadi... apa yang ingin kamu bicarakan denganku di tempat sepi seperti ini?”
“Jangan berpura-pura tidak tau,” balas Tamara. “Ini tentang Renata dan uang OSIS sejumlah empat juta rupiah yang hilang entah kemana.”
“Tunggu, tunggu.” Mita mengusap dagu, berlagak sedang berpikir keras. “Tentang keuangan OSIS? Memangnya kamu siapa? Ketua OSIS? Sudah bukan. Kamu memang tidak pernah jera, ya. Selalu suka ikut campur urusan orang lain.”
“Aku ikut campur karena masalah ini menyangkut Renata, temanku.” Tamara melipat kedua tangan di depan dada. “Mengakulah bahwa kamu yang bertanggung jawab atas uang OSIS yang hilang sebesar empat juta rupiah. Katakanlah yang sejujurnya pada Pak Firman atau—“
“Atau apa? Kamu akan memberitau seisi sekolah bahwa aku korupsi uang OSIS? Ya ampun, Tamara. Kamu ini tidak kreatif atau kelewat suka dengan cara primitif, sih? Kamu pikir, aku akan termakan gertakan sambalmu itu untuk yang kedua kali?” Mita mendekati Tamara sampai membuat gadis berkacamata itu menabrak dinding demi menjaga jarak antara dirinya dan Mita. “Bahkan seekor tikus pun tidak akan terkena perangkap yang sama untuk yang kedua kali, apalagi orang cerdik sepertiku. Ditambah... memangnya kamu punya bukti?”
“Renata... Renata akan memberikan kesaksian.”
Tamara tidak terkejut ketika ucapannya justru mengundang tawa Mita menggelegar hingga menimbulkan gaung.
“Kamu pikir Pak Firman akan percaya begitu saja? Tamara... Tamara. Setiap orang di dunia ini memiliki perannya masing-masing. Dan kamu telah salah besar karena memilih memainkan peran sebagai orang yang suka ikut campur urusan orang lain. Sekarang kutanya padamu. Apabila kamu menyebarkan berita bahwa aku korupsi sementara jabatanku dalam kepanitiaan acara ulang tahun sekolah sama sekali tidak berkaitan dengan keuangan, ditambah citramu yang sudah buruk karena kecurangan yang kamu lakukan, apakah akan ada yang percaya padamu?”
Dan momen yang paling tidak disukai oleh Tamara tiba, momen ketika senyum sinis Mita kian mengembang seolah menyatakan bahwa kemenangan mutlak berada di pihaknya sementara Tamara tidak bisa mengatakan apa-apa. Satu-satunya bukti yang diharap-harapkan belum kunjung datang.
“Sungguh sia-sia aku datang kemari. Semoga berhasil dengan misi penyelamatanmu.” Mita berbalik, kemudian melangkah menjauh sembari bersenandung.
“Aku tidak akan bilang siapa-siapa asalkan... aku bisa meminjam sejumlah uang. Tidak banyak. Hanya empat juta.”
Langkah kaki Mita terhenti. Jelas dia mengenali suara itu. Ekspresi wajahnya berubah total, terlebih saat Tamara mendekatinya.
“Renata akan menemui Pak Firman besok pada jam istirahat pertama. Temui beliau bersama Renata, aku, dan Gigih. Aku dan Gigih akan membantu kalian bernegosiasi dengan Pak Firman, siapa tau Pak Firman akan memberikan keringanan hukuman.”
Mita terdiam di tempatnya. Dia tidak sepenuhnya mengerti dengan apa yang Tamara katakan.
“Aku tidak pernah menyukaimu, memang. Tapi bukan berarti aku akan memperlakukanmu dengan buruk. Aku tidak tau apa tujuanmu melakukan kesalahan yang sama dua kali dan aku tidak tau kenapa selalu berurusan dengan seseorang yang dekat denganku. Sama halnya dengan Renata, kurasa kamu pantas mendapat keringanan hukuman atas keberanian kalian mengakui kesalahan yang kalian lakukan. Jadi, mengakulah dan kujamin tidak ada yang tau tentang rekaman ini selain aku, kamu dan Gigih.”
Tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulut Mita. Dia hanya mengangguk kemudian berlalu setengah berlari, meninggalkan Tamara yang masih terdiam di tempatnya. Tamara berharap masalah ini bisa selesai seperti apa yang dia prediksikan, bahwa Renata bisa tetap mempertahankan beasiswa dari sekolah hingga lulus dan Mita tidak mendapat hukuman yang lebih berat dari dikeluarkan dari kepengurusan OSIS dan undangan panggilan orang tua.
**
“Pak Firman tidak akan percaya begitu saja dengan kesaksian Renata. Ditambah masalah keuangan sepenuhnya menjadi tanggung jawab Renata, termasuk kejahatan yang Mita lakukan. Kita tidak punya pilihan lain selain membujuk Mita mengakui kejahatannya di depan Pak Firman.”
Gigih mengangguk setuju. “Kalau begitu...” Sebelah tangannya masuk ke dalam saku celana, sementara tangan yang satu mengusap dahi. “Kita perlu sebuah cara untuk membuat Mita mengakui perbuatannya—itu dia!”
“Itu dia... apa?”
Tamara mengekori Gigih yang sudah lebih dulu melesat masuk ke dalam ruang OSIS dan langsung memeriksa setiap sudut ruangan berukuran tidak lebih dari 150 meter persegi.
“Itu dia.” Gigih menunjuk sebuah kamera pengintai pada salah satu pojok ruangan.
“Kamera CCTV? Aku baru pernah melihat kamera yang itu.”
“Kamera itu memang belum lama dipasang karena kamera yang itu,” Gigih menunjuk kamera CCTV pada sudut ruang yang lain, “sudah tidak berfungsi lagi. Kamu lihat sesuatu berbentuk kotak di dekat kamera itu?”
“Jangan-jangan... itu microphone?”
Gigih mengangguk. Senyum di wajahnya meyakinkan Tamara bahwa keberuntungan kini berpihak pada mereka.
“Jadi, kalau kita bisa mendapatkan rekaman suara percakapan Renata dan Mita, itu akan menjadi bukti kuat yang tidak terbantahkan?”
“Tepat sekali!” Gigih menjentikan jari, kelewat bersemangat. “Seingatku, semua CCTV di gedung ini dipantau di layar yang sama dengan CCTV di bagian luar sekolah, yang berarti ada di ruang keamanan di belakang gedung internasional. Kalau kita bisa mendapat izin pihak sekolah untuk meminta rekaman suara mereka—“
“Meminta izin pihak sekolah? Tunggu, tunggu.” Tamara mencoba mencerna ucapan Gigih. “Kita akan berusaha mendapatkan rekaman suara itu tanpa melibatkan para guru, kan?”
“Aku juga inginnya begitu tapi—“
“Kalau begitu kita harus bisa mendapatkan rekaman suara itu tanpa sepengetahuan siapa pun di sekolah ini, termasuk Pak Firman. Pak Firman hanya boleh tau tentang kasus ini dari pengakuan Renata dan Mita. Dengan begitu beasiswa Renata punya peluang lebih besar untuk diselamatkan dan Mita bisa mendapat hukuman yang lebih ringan.”
“Tapi... bagaimana caranya, Ra?”
“Katakan saja bahwa ada barang hilang di ruang OSIS, atau apalah. Kita juga harus pastikan bahwa petugas yang berjaga tidak curiga. Sampai Renata dan Mita mengakui perbuatan mereka, yang boleh tau tentang masalah ini hanya aku dan kamu.” Telunjuk Tamara menunjuk Gigih dan dirinya bergantian. “Mengerti?”
Gigih mengangguk.
“Kenapa?”
“Hm?”