“Jadi, kamu sudah menemukan pengganti Renata dan Mita?”
Gigih mengangguk sambil tetap fokus pada kedua kakinya yang mencoba mengimbangi langkah Tamara yang pendek namun begitu dinamis.
“Aku meminta pertimbangan Bella dan dia mengusulkan Wanda dari kelas XI-A3. Wanda berhasil menyelesaikan dengan baik beberapa tugas ‘kaderisasi dadakan’ yang kuberikan jadi aku memilihnya. Sementara untuk pengganti Mita, aku salah satu staf bidang sastra dan budaya. Namanya Risma. Dia sekelas denganku.”
Sejak Mita dan Renata mengakui perbuatan mereka kepada Pak Firman seminggu yang lalu, Gigih harus kehilangan dua rekan kerjanya. Beruntung beasiswa Renata masih bisa diselamatkan dan Mita terbebas dari ancaman dikeluarkan dari sekolah karena pada hari yang sama keduanya mampu mengembalikan hampir seluruh uang yang dipinjam. Dengan begitu, sesuai rencana, Pak Firman percaya bahwa Renata dan Mita benar-benar berniat hanya meminjam. Sayangnya, kepercayaan bukan sesuatu yang mudah pulih ketika terlanjur rusak. Mita dan Renata disuruh menulis surat pengunduran diri dari kepengurusan OSIS dan mendapat surat panggilan orang tua.
“Kudengar Kelly mengundurkan diri.”
Gigih mengangguk.
“Sepertinya Mita memberitau Kelly semuanya.” Gigih mengusap dagu. “Akan tetapi, karena alasannya tidak kuat, Pak Firman tidak menerima surat pengunduran diri darinya. Yah, kuharap apa yang menimpa Mita cukup untuk menyadarkan Kelly.”
Tamara menghela napas panjang. “Semoga saja.”
Dari guratan yang terukir pada wajah Tamara, Gigih tau gadis itu khawatir. Jauh lebih khawatir ketimbang dirinya.
“Setelah ini, kamu mau ke kantin?” tanya Gigih saat keduanya hampir sampai di persimpangan.
“Tidak.” Tamara menggeleng. “Aku akan langsung kembali ke kelas. Aku ke kantin saat jam istirahat kedua, bersama Renata dan Bella.”
Tamara tidak pernah tau bahwa selama ini Gigih menjadi wadah penampung keluh kesah Bella tentang sikap Tamara yang beberapa waktu yang lalu sangat sulit dipahami: mengabaikan SMS, tidak mengangkat telepon, dan tidak pernah menghabiskan waktu istirahat di luar kelas. Mendengar bahwa Tamara akan kembali menjadi dirinya yang dulu—yang selalu menghabiskan jam istirahat di kantin bersama Bella dan Renata—Gigih tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum.
“Bagaimana denganmu?” Tamara balik bertanya.
“Aku... Ada beberapa hal yang perlu diurus. Aku akan ke ruang OSIS dulu.”
Gigih dan Tamara berpisah di persimpangan. Tamara mengambil jalur utara—jalur tercepat untuk sampai ke gedung kelas reguler—sementara Gigih mengambil jalur barat.
“Eh, eh Ra!”
Tamara refleks menghentikan langkah dan berbalik.
“Ya?”
“Hm... terima kasih untuk semua saranmu waktu itu,” ujar Gigih dengan kekehan di akhir. “Termasuk untuk bantuanmu menemukan penyebab defisit keuangan panitia. Aku benar-benar tidak tau apa yang akan terjadi kalau seandainya kamu tidak membantuku saat itu. Huft. Menjadi ketua OSIS memang bukan hal mudah.”
Tanpa perlu bertanya, wajah Gigih yang tampak begitu berseri-seri membantu Tamara menyimpulkan bahwa ide yang dia usulkan benar-benar dipertimbangkan dan semuanya berjalan lancar. Untuk pertama kali, Tamara merasakan perasaan yang begitu luar biasa karena sesuatu yang tidak terlalu spesial, sebuah apresiasi dalam bentuk ucapan ‘terima kasih’.
“Sama-sama.”
“Sepertinya...” Gigih mengusap punuk yang tidak gatal, “aku masih butuh belajar banyak hal darimu, untuk memimpin OSIS hingga periode kepemimpinanku selesai.”
“Boleh.” Tidak butuh waktu lama bagi Tamara untuk menanggapi permintaan Gigih. “Beritau saja kalau kamu membutuhkan sesuatu.”
Respon yang tidak disangka-sangka itu membuat senyum Gigih kian mengembang. Senyum menawan itu menyadarkan Tamara bahwa dirinya sempat membenci sesuatu yang begitu indah tanpa sebuah alasan yang jelas dan kini dia berbalik sangat menyukainya.
**
Jam pertama pada hari Rabu yang biasanya diisi dengan pelajaran Biologi kali ini diisi dengan jam konseling. Bu Siska, guru BK kelas sebelas IPA reguler sudah hadir bahkan sebelum bel berbunyi. Sudah menjadi sebuah kebiasaan bagi guru BK untuk mengunjungi kelas setiap awal semester, sekadar berbagi cerita inspiratif nan motivatif juga membuka kesempatan bagi siswa-siswi yang hendak menanyakan hal-hal terkait akademik maupun hal-hal yang lebih condong ke arah sesuatu yang sifatnya personal. Meskipun kemungkinannya mendekati mustahil. Memangnya siapa yang berkenan menanyakan pertanyaan bersifat personal di tengah seisi kelas dan membiarkan semua orang tau masalah personal yang sedang dihadapi? Kemungkinannya mendekati mustahil.
Bu Siska membuka pertemuan pagi itu dengan sapaan yang begitu bersemangat. Dalam sekejap wanita berambut ikal itu berhasil menyebarkan aura positif ke setiap sudut kelas XI-A5: membuat siapa pun yang semula terkantuk-kantuk kembali terjaga, membuat siapa pun refleks menegakkan tubuh dan mendadak antusias.
“Untuk pagi ini, Ibu akan mengajak kalian semua membahas tentang masa depan. Siapa di sini yang mau jadi dokter?”
Beberapa siswa-siswi mengacungkan tangan.
“Siapa yang mau jadi guru?”
Lebih banyak yang mengacungkan tangan dan begitu seterusnya: polisi, tentara, pejabat, wirausaha, hingga artis atau seniman. Diantara semua pilihan yang Bu Siska berikan, Tamara tidak mengacungkan tangan sama sekali.
Tamara tidak pernah memikirkan ingin menjadi apa dia suatu saat nanti. Dia hanya fokus berusaha mempertahankan peringkat satu paralel dan menjadi yang terbaik di sekolah.
Selesai dengan sedikit tanya-jawab, Bu Siska meminta masing-masing siswa menuliskan rencana lima belas tahun ke depan dan menceritakannya di depan kelas. Karena duduk di deretan paling belakang di pojok kiri, Tamara mendapat giliran terakhir untuk membacakan rencana masa depannya.
“Silakan Tamara,” ujar Bu Siska saat Tamara sampai di depan kelas.
Tamara menceritakan rencana lima belas tahun ke depan hasil karangannya dalam waktu kurang dari lima belas menit. Sebagian besar hal yang tertuang dalam selembar kertas itu merupakan buah pemikiran yang penuh spontanitas.
“Wow.” Bu Siska bertepuk tangan pelan. “Lulus dengan gelar doktor dalam waktu sembilan tahun di luar negeri dan menjadi anggota partai politik. Target terbesar menjadi mentri pendidikan. Cita-cita yang luar biasa, kita beri tepuk tangan untuk Tamara.”