“Anak kelas dua dipanggil kepala sekolah? Yang orang tuanya sudah berpisah itu?”
“Iya, katanya bapaknya menikah lagi diam-diam. Padahal anaknya pintar lho. Sering juara lomba lagi. Kebanggaan guru-guru pokoknya. Memang ya, yang namanya broken home itu pasti ujung-ujungnya anak yang imbasnya.”
“Anak kelas tiga juga ada yang anak broken home, ketua tim futsal sekolah. Dia terkenal suka berkelahi dan melawan guru-guru. Mana ketauan nyontek pas ujian lagi.”
“Ya mau gimana lagi. Namanya orang tua kan harus sepasang. Kalau hanya satu, jadinya berat sebelah. Rata-rata, anak broken home yang ibunya terpaksa jadi wanita karir berubah jadi anak nakal. Soalnya butuh perhatian.”
“Aku jadi ingat kakak kelas tiga yang pacarnya anak basket. Lihat kan media sosialnya?”
“Iya, pacarannya berlebihan. Semua hal diumbar. Geli sih, tapi kasihan juga. Katanya bapaknya pergi sejak kecil, pas masih lima tahun, jadinya kurang kasih sayang deh. Kelihatannya dia gampang kena rayuan laki-laki. Dibilang cantik sedikit, baper. Dikasih hadiah sekali, langsung suka.”
Tania menggigit ujung sedotan hingga tidak bisa digunakan lagi. Konsentrasinya terfokus pada bincang-bincang sore tiga siswi SMA yang tengah menikmati senja ditemani secangkir kopi susu. Terhitung hampir dua jam ketiga gadis itu membicarakan topik yang sejak dua tahun lalu menjadi topik sensitif di telinga Tania. Tania yang berniat menyegarkan pikiran selepas rapat bertubi-tubi di kantor dengan bersantai di kafe bersama teman dekatnya mendadak menyesal telah mendatangi kafe itu.
“Hei, Tania!”
Lamunan Tania buyar saat Indah menghantam meja dengan sebelah telapak tangan.
“Kamu melamun, ya?” tebak Indah. “Lihat sedotanmu. Sampai gepeng begitu.”
“Sejak kamu pisah sama Erwin, kamu jadi sering melamun,” komentar Linda setelah mengesap cappucino cangkir kedua. “Kenapa? Lelah ya jadi wanita karir sekaligus ibu rumah tangga?”
Tania menggeleng.
“Setidaknya tidak selelah ibu tunggal lain. Kalau masalah rumah tangga sekarang hampir semuanya dipegang sama Bi Imah.” Tania menghela napas panjang. “Ditambah Tamara tidak pernah berbuat masalah dan sangat mandiri. Meskipun aku tidak di rumah, dia tetap rajin belajar. Kalau ada materi pelajaran yang tidak paham, dia akan tanya kakak kelas, guru tutor privat, atau mencari tau di internet. Hubungannya dengan guru-guru juga sangat baik. Tamara membantuku fokus pada pekerjaan karena dia tidak pernah membuatku khawatir.”
“Serius?” tanya Indah dengan nada tidak percaya.
“Kok seperti tidak percaya begitu?” kilah Linda. “Aku pernah bertemu Tamara. Dia memang sangat dewasa untuk ukuran seorang remaja. Sikapnya, cara berbicaranya. Aku melihat sosok Erwin pada diri Tamara.”
“Tamara jauh lebih baik daripada ayahnya.” Tania menyanggah lalu meneguk es kopi langsung dari gelasnya. “Dan dia jauh lebih beruntung.”
“Ya, aku tau.” Linda mengaku salah. “Tamara bukan tipe penyendiri. Dia sangat aktif berorganisasi. Dan dia beruntung memiliki orang tua—well setidaknya seorang ibu—yang sangat suportif.”
Tania mengangguk setuju. Ucapan Linda membuat hatinya sedikit tenang.
“Justru itu yang kutakutkan.”
“Apa maksudmu, Dah?” tanya Linda sembari membersihkan kedua telapak tangan dari remahan roti.
“Kamu yakin Tamara baik-baik saja, Tan?” tanya Indah.
“Aku kan sudah bilang kalau—”
“Maksudku, sejak kepergian Erwin, apa kamu pernah berbicara dari hati ke hati dengan Tamara? Apa kamu pernah bertemu teman-temannya? Apakah Tamara pernah mengajak teman-temannya ke rumah? Apakah Tamara pernah bercerita tentang teman-temannya dan hal-hal tentang sekolah selain nilai, ujian, dan peringkat?”
Tania terdiam. Nyatanya, sejak kepergian Erwin dan memutuskan untuk menjadi wanita karir, waktu Tania terkuras habis untuk memikirkan pekerjaan. Bertekad menjadi wanita karir yang hebat dan membanggakan, Tania tidak sadar nyaris melepas hartanya yang paling berharga.
“Sudah lama sejak terakhir kali aku mengobrol dengan Tamara tentang dunianya. Aku hanya menanyakan apa yang ingin kutau. Kegiatan organisasi, nilai, pelajaran.” Tania menggeleng pelan. “Sejak kepergian ayahnya, Tamara menjadi sedikit lebih pendiam. Kupikir dia berusaha untuk tidak terlalu membebaniku. Sepertinya aku salah mengartikan perubahan sikapnya.”
Indah dan Linda saling melempar lirikan.
“Lelaki yang waktu itu beberapa kali menemuimu di kantor, kata Teh Retno, mantanmu waktu kuliah ya?” tanya Indah santai.
“Serius, Tan!?” Kedua mata Linda membelak lebar. “Yang katanya duda tajir pimpinan perusahaan swasta multinasional itu?”
Dasar Kak Retno, batin Tania.
“Tania. Sepertinya laki-laki itu masih suka sama kamu deh. Aku bisa lihat dari matanya,” komentar Indah. Linda mengangguk setuju penuh semangat.
“Kalian ini ngawur.” Tania meneguk habis sisa es kopi lalu memesan gelas kedua pada pelayan wanita yang kebetulan melintas. “Kami memang tetap berteman.”