Bunyi sendok dan garpu beradu dengan piring keramik tidak cukup berhasil mengurangi kecanggungan antara Tamara dan Mama. Keduanya duduk saling berseberangan dan sejak beberapa menit yang lalu saling diam, masing-masing sibuk menyantap makan malam istimewa buatan Bi Imah. Tamara bertanya-tanya dalam hati, ada apa gerangan sampai-sampai Mama meminta Bi Imah memasak semua menu kesukaan Tamara dan mengajak makan malam bersama setelah beberapa hari terakhir lebih sering makan malam bersama rekan kerjanya dan begitu sampai di rumah langsung menyibukan diri melanjutkan pekerjaan di kamar.
“Jadi...” Mama meletakkan sendok dan garpu di sisi kiri, “Bagaimana dengan sekolahmu? Semua... baik-baik saja, kan?”
Sejak memenuhi panggilan dari sekolah karena kecurangan yang Tamara lakukan saat pemilu, Mama tidak pernah lagi menanyakan soal sekolah. Pada hari bagi rapor pun Mama tidak bisa menyempatkan diri hadir sebagai wali Tamara karena urusan pekerjaan dan pada malamnya sama sekali tidak menanyakan tentang nilai akhir dan ranking yang Tamara dapatkan. Justru Bi Imah dan Pak Joni yang tampak begitu antusias menanyakan ini dan itu.
“He-em.”
Tamara masih sibuk dengan beberapa potong daging semur di atas piring. Gerakan tangannya berhenti saat Mama mencengkeram pergelangan tangan kirinya.
“Mama tidak merencakan makan malam ini hanya untuk menanyai bagaimana perkembanganku di sekolah, kan?”
Tamara meletakkan surat laporan akademik akhir semester lalu di atas meja rias Mama. Tamara yakin Mama sudah melihatnya dan pertanyaan tadi hanyalah sebuah basa-basi, seperti makanan pembuka. Kini Tamara menantikan makanan utama seperti apa yang akan disajikan malam ini. Mendadak Tamara kehilangan selera untuk menghabiskan beberapa potong daging semur yang tersisa di atas piring.
“Mama... mau minta maaf.”
Mama melonggarkan cengkeraman.
“Untuk apa?”
“Untuk semuanya.” Mama menghela napas panjang. “Beberapa waktu terakhir, kamu telah melewati banyak hal sulit di sekolah dan Mama rasa kekecewaan yang Mama tunjukkan terlalu berlebihan. Seharusnya Mama berusaha mendukungmu, bukannya justru mengabaikanmu. Seharusnya Mama bertanya kenapa kamu sampai bisa terlibat dalam masalah sebesar itu.”
“Mama pantas kecewa,” balas Tamara. “Karena aku juga kecewa dengan diriku sendiri.”
“He-hei.” Mama meraih jemari tangan Tamara dan menggenggamnya erat. “Kamu memang melakukan kesalan besar tapi kamu telah bertanggung jawab dengan menanggung segala risiko yang mengikutinya. Mama pantas kecewa tapi Mama tidak pantas mendiamkanmu selama ini. Ditambah semua ini juga terjadi karena kamu berusaha melindungi temanmu, Jose. Kedua orang tua Jose memang agak kesal tapi mereka memuji keberanianmu dan usahamu untuk mempertahakan Jose.”
Tamara berbohong bila mengatakan dirinya merasa baik-baik saja karena diabaikan oleh Mama. Meskipun sejak kepergian Papa hubungan antara Tamara dan Mama tidak sedekat dulu—karena Mama terlalu sibuk dengan pekerjaan—Tamara tetap tidak suka dengan perasaan diabaikan. Hanya saja, Tamara merasa tidak perlu menunjukan perasaan yang sebenarnya. Tamara tidak ingin terlihat lemah bahkan di hadapan wanita yang selama belasan tahun membesarkannya.
“Aku juga minta maaf karena mengungkit-ungkit perpisahan Mama dan membawa-bawa Robby.” Tamara menambahkan. “Meskipun tetap saja, Mama salah karena berbohong. Mama diam saja ketika aku bertanya apakah Papa memang ingin berpisah dengan Mama sehingga kupikir memang seperti itulah kebenarannya. Kupikir Papa sudah tidak mencintai Mama lagi. Sejak kepergian Papa dari rumah ini, aku membencinya. Terlebih, sejak saat itu kabar tentang Papa tidak lagi terdengar. Kupikir Papa sudah melupakan kita. Dengan semua kartu pos itu, dan kata-kata yang tertulis di sana, seharusnya aku tidak perlu memendam kebencian selama ini.”
Muncul sedikit rasa bersalah dalam benak Tamara karena mengungkit hal sensitif dalam obrolan makan malam kali ini. Akan tetapi, terlepas dari itu, Tamara merasa lega. Mama menyimpan kartu pos dari Papa. Besar kemungkinan Mama telah membacanya dan dari situ Mama seharusnya tau kalau hubungan mereka masih bisa diselamatkan.
Di sisi lain, melihat Tamara begitu tenang membicarakan tentang Papa, Mama mengurungkan niat menceritakan alasan sebenarnya di balik perpisahan mereka. Wanita itu berpikir ada baiknya jika Tamara mengetahui kebenarannya dari sang ayah.
“Hanya... itu?”
“Hm?”
“Hanya itu yang ingin Mama katakan?”
Mama tersenyum. Jempolnya mengusap lembut punggung tangan Tamara.
“Kamu memang sangat mengenal Mama, ya,” ujar Mama. “Sebenarnya ada satu hal penting lain. Ini... tentang Robby.”
Tamara tidak terkejut. Sejak awal dia sudah menduga bahwa topik mengenai Robby akan menjadi salah satu alasan Mama mengadakan acara makan malam istimewa ini.
“Mama dan Robby sepakat bahwa kami... akan tetap berteman baik.”
“Berteman baik?”
Mama mengangguk.
“Ma-maksudnya?”
“Tamara.”
Mama semakin erat menggenggam jemari tangan Tamara.
“Bagi seorang anak perempuan, sosok seorang ayah itu sangat penting. Ada banyak hal—pengalaman, pembelajaran—dalam hidup yang hanya bisa kamu dapatkan dari sosok seorang ayah. Ketidakhadiran Papa di sisimu saat ini membuat Mama khawatir kamu melewatkan banyak hal, termasuk kasih sayang seorang ayah. Sekeras apapun Mama mencoba, Mama tetap tidak bisa sepenuhnya menggantikan sosok seorang ayah.”
Kedua mata Mama terpejam sesaat.
“Mama kira, Robby bisa menjadi solusinya.”
Tamara teringat pada ucapan Gigih berapa hari yang lalu. Ucapan lelaki jangkung yang pada usia mudanya telah mengalami banyak hal itu nyatanya bukan omong kosong. Bagi orang tua, anak akan selalu menjadi nomor satu. Meskipun terlihat tidak sejalan, antara apa yang Tamara dan Mama inginkan, semua itu Mama lakukan demi kebahagiaan Tamara.
“Lewat kartu pos itu aku bisa merasakan kehadiran Papa,” ujar Tamara. “Andai saja aku tau lebih awal, aku benar-benar tidak kehilangan apapun. Rasanya seperti Papa sedang pergi jauh untuk urusan pekerjaan dalam waktu lama. Tidak masalah sama sekali karena aku sudah terbiasa dengan situasi seperti itu.”
Mama tercengang. Mama khawatir anak semata wayangnya salah paham.
“Sayang, meskipun begitu Mama dan Papa—”
“Aku paham.” Tamara buru-buru memotong ucapan Mama sebelum Mama mengucapkan hal yang tidak kuasa Tamara dengar. “Hanya karena Papa mengirim kartu pos dan kalian masih menyimpan cinta untuk satu sama lain, bukan berarti kalian tetap bersama. Kalian... memang bukan lagi pasangan suami istri. Tapi Papa tidak akan pernah berhenti menjadi Papaku.”
“Kamu benar,” Mama mengangguk. “Dia akan selalu menjadi Papamu.”