“Nomor yang Anda tuju sedang sibuk. Silakan ulangi kembali setelah beberapa saat.”
Sudah hampir setengah jam Tamara berusaha menghubungi Pak Joni tapi hasilnya tetap sama, nihil. Sementara itu, baterai ponselnya perlahan terkikis, hingga pada saat Tamara hendak mencoba menghubungi Pak Joni untuk yang kedua puluh kali, layar ponselnya padam.
“Bagus sekali. Ponsel mati dan aku tidak membawa power bank.”
Tamara terduduk lemas di bangku halte, memandang kosong ke arah jalanan yang kian sepi. Dia tidak memiliki pilihan lain selain menunggu angkutan kota yang entah kapan akan melintas.
Di tengah keputusasaan, angkot hijau tampak dari kejauhan. Tamara spontan beranjak dari bangku dan melambaikan tangan. Gadis itu memilih duduk di sisi kiri paling belakang untuk menghindari cipratan genangan air dari arah pintu masuk.
Mendekati perempatan, laju angkot melambat karena kemacetan yang cukup parah. Para pengendara motor saling menyalip begitu menemukan celah, mengundang para pengemudi mobil dan supir angkot—termasuk supir angkot yang ditumpangi Tamara—membunyikan klakson sembari melontarkan kata-kata mengumpat saking kesalnya.
“Neng, turun sini saja, ya! Macet banget ini, saya mau putar balik aja.”
“Lah, Pak, sampai depan situ tidak bisa, Pak?”
Tamara menunjuk pusat perbelanjaan mewah dekat persimpangan jalan berjarak sekitar lima ratus meter. Barisan taksi tampak berjejer rapi dekat pintu masuk pusat perbelanjaan hingga di sepanjang jalan besar.
“Di sini saja, Neng! Ini macet banget, tidak bergerak!”
Supir angkot berambut keriting itu semakin kesal. Tamara terpaksa mengiyakan.
“Cepat, Neng!”
“Sebentar, Pak.” Sebelah tangan Tamara semakin brutal mengorek isi tas, berusaha menemukan payung kuning terang yang seingatnya sudah dimasukan ke dalam tas tadi malam. “Di mana ya...”
“Ayo Neng, saya mau putar di sini.”
Tamara beranjak lalu menyerahkan sejumlah uang dari jendela depan. Gadis itu buru-buru menepi dengan tas punggung dia gunakan sebagai pengganti payung. Di tengah hujan sederas itu tas punggung Tamara tidak banyak membantu. Sekujur rambut dan seragamnya tetap kebasahan.
Tamara menyusuri trotoar yang cukup ramai dengan para pejalan kaki berpayung. Dia sesekali berseru ‘aduh’ karena kewalahan mencoba untuk tidak menyenggol ujung payung pejalan kaki lain. Baru saja hendak menyeberangi jalan besar penuh kendaraan beroda empat yang kepayahan merangkak di atas aspal, sebuah mobil hitam mengkilap membunyikan klakson lalu menepi di dekat zebra cross. Mata elang Tamara menjajah setiap bagian mobil mewah—yang tampak tidak asing—di hadapannya.
“Tamara, ayo masuk.”
Tamara menggeleng keras.
“Tidak usah, terima kasih.”
“Kamu duduk di jok belakang juga tidak apa-apa.”
Robby mengira Tamara menolak tawarannya karena tidak mau duduk bersebelahan dengannya.
“Tidak usah.”
Tak gentar membujuk Tamara, Robby keluar dari mobil. Lelaki itu menggunakan tangan sebagai pengganti payung lalu membukakan pintu jok belakang untuk Tamara.
Merasa tidak enak hati, akhirnya Tamara menyerah dan menuruti kata Robby.
Kesunyian menemani perjalanan pulang kali ini. Robby fokus mengendarai mobil sementara Tamara menyibukan diri dengan pemandangan di luar jendela yang sebenarnya tidak terlalu menarik untuk dinikmati.
“Ini bukan jalan menuju rumah.”
Tamara sadar Robby membawa mobilnya semakin jauh dari rute menuju rumah yang berlokasi di sisi yang berlawanan.
“Ini jalan menuju rumah saya.” Robby melihat Tamara lewat spion depan. “Mampir sebentar... tidak apa-apa, kan? Saya harus bertemu Kino.”
Meskipun penasaran, Tamara mengurungkan niat untuk bertanya mengenai Kino. Dia tidak ingin sampai Robby mengira bahwa dirinya tertarik untuk mengenal duda sekaligus mantan kekasih Mama lebih jauh lagi.
Setelah menempuh perjalanan selama hampir satu jam, mobil mewah Robby memasuki kawasan perumahan elit. Berjejer di sisi kanan dan kiri rumah-rumah mewah bertingkat dengan kebun nan indah tersembunyi di balik pagar besi yang menjulang tinggi. Begitu sampai di depan pagar dengan angka delapan belas terukir di bagian depan, Robby membunyikan klakson. Tidak perlu menunggu lama hingga seorang pria berumur tiga puluh tahunan berseragam serba hitam membukakan pagar. Begitu Robby selesai memarkirkan mobil di teras depan pintu utama, seorang wanita tua dalam balutan daster batik datang dengan payung hitam besar dalam genggaman.
Dari jendela belakang, Tamara memperhatikan Robby berbincang-bincang dengan wanita tua yang dipanggil dengan sebutan Bi Siti. Baru saja Tamara hendak meraih gagang pintu, pintu sudah lebih dulu terbuka.
“Silakan, Non.”
Tamara mengikuti langkah Bi Siti menuju ruang tengah yang sangat luas dan tampak kesepian.
“Sebentar ya, Non. Saya ambilkan handuk dan baju ganti dulu.”
“Tidak usah repot-repot, Bi,” tolak Tamara. “Saya hanya butuh telepon untuk menelepon Pak Joni, supir saya.”
“Teleponnya ada di sana, Non.” Bi Siti menunjuk telepon rumah di atas meja ruang tamu yang tampak begitu mewah dengan ukiran rumit di bagian kaki. “Tapi, saya harus melaksanakan perintah Tuan Robby.”
“Hm... Pak Robby... di mana, ya Bi?”
“Pak Robby sedang ganti baju di kamarnya, Non.”
Tamara meng-oh, lalu tidak bertanya lagi. Begitu Bi Siti berlalu, Tamara buru-buru meraih gagang telepon dan menekan nomor telepon rumah.
“Bi Imah? Ini Tamara. Maaf Bi, ponsel saya habis baterai. Tolong kabari Pak Joni untuk jemput saya di Perumahan Kembangsari, blok E, rumah nomor delapan belas. Rumahnya ada di sisi kiri kalau dari arah gerbang perumahan.”
Tamara memutus panggilan bersamaan dengan Bi Siti kembali dengan setumpuk pakaian bersih dan handuk. Tamara ditunjukan jalan menuju kamar di ujung lorong untuk berganti pakaian. Meskipun dalam hati Tamara sepenuhnya menolak karena tidak nyaman tapi pada akhirnya dia tetap mengikuti apa yang Bi Siti katakan.