Gigih menopang kepala dengan sebelah tangan, sibuk memperhatikan Tamara yang tengah serius membaca proposal olimpiade olahraga yang akan diselenggarakan bulan depan.
Seminggu yang lalu, festival literasi telah diadakan dan berlangsung dengan sangat sukses. Beberapa penulis terkenal tanah air berhasil didatangkan sebagai narasumber seminar literasi dan beberapa kompetisi sastra berlangsung meriah. Berbagai macam bentuk pujian dilayangkan pada Gigih atas keberhasilan kepemimpinannya hingga saat ini. Tidak ada yang tau bahwa dibalik itu semua, pemikiran-pemikiran brilian Tamara turut berpartisipasi.
“Aku hanya mengusulkan beberapa hal. Selanjutnya, semuanya bergantung padamu sebagai pemimpin dan juga rekan-rekanmu. Kalian pantas menerima semua pujian yang diberikan orang-orang.” Tamara menjelaskan ketika Gigih bertanya kenapa mantan ketua OSIS sekaligus seseorang yang dia akui sebagai penasihat pribadinya itu tidak ingin orang-orang tau bahwa selama ini Gigih mendapat banyak bantuan darinya.
“Bagaimana, Ra?” Gigih mengangkat kepala ketika Tamara memutar tubuhnya hingga mereka benar-benar berhadapan.
“Aku merasa anggarannya terlalu besar,” komentar Tamara dengan sebelah tangan sibuk memainkan pulpen. “Kita bisa memperkecil anggaran dengan mengurangi biaya sewa lapangan gor badminton dan lapangan futsal. Untuk sistem drawing badminton, bagaimana kalau kalian pertimbangkan sistem gugur dibandingkan sistem grup dan kompetisi ditujukan untuk permainan tim? Dari situ kita bisa memangkas dana untuk hadiah para pemenang.”
“Untuk pertandingan futsal, sebaiknya setiap kelas dibatasi hanya boleh mengajukan satu tim perwakilan dan jumlah anggota per tim dibatasi maksimal sepuluh orang. Dengan begitu, kita bisa mengurangi anggaran jatah snack pemain yang bertanding setiap hari.”
Tamara meraih pensil mekanik bercorak polkadot miliknya lalu mencoret beberapa bagian rancangan anggaran, menggantinya dengan perkiraan nominal yang baru kemudian memberi tanda lingkaran pada total anggaran hasil perhitungannya.
“Wow.” Gigih memandang takjub hasil revisi anggaran yang Tamara lakukan. “Kita bisa menghemat banyak sekali.”
“Kita bisa gunakan kelebihan dananya untuk acara lain,” ujar Tamara.
“Ide bagus. Aku akan diskusikan semua ini dengan panitia olimpiade olahraga dan akan segera mengumpulkan proposalnya pada Pak Firman.”
“Kalau nanti setelah rapat ada sesuatu yang ingin dibahas denganku, kabari saja lewat SMS. Kalau aku sedang tidak sibuk, pasti akan kubalas. Atau...” Tamara meletakan helai rambut yang jatuh di belakang telinga, “kalau mendesak sekali, kamu bisa menelepon.”
“Jadi aku boleh meneleponmu?”
Tamara buru-buru memberi isyarat pada Gigih untuk menurunkan nada bicaranya, tidak ingin sampai menjadi pusat perhatian para pengunjung perpustakaan.
“Boleh. Dengan catatan di atas jam sembilan dan tidak lebih dari jam sebelas”
Sebelum lupa, Gigih mencatat beberapa usulan Tamara dalam buku catatan sebagai bahan pertimbangan pada rapat panitia olimpiade olahraga yang akan diadakan lusa. Tidak lupa, dia juga menambahkan catatan ‘Menelepon Tamara: 9-11 malam’ di bagian pojok kanan bawah dan memberi kotak di sekitar catatan itu.
“Hm, Gih?”
Gigih masih berkonsentrasi penuh dengan buku catatannya.
“Aku... ingin mengingatkan sesuatu.”
Nada bicara Tamara yang berubah serius berhasil mengalihkan fokus Gigih. Lelaki jangkung itu memberi perhatian penuh pada Tamara yang masih menimbang-nimbang perlukah dia mengatakan sesuatu yang sudah sampai di ujung lidahnya atau tidak. Perpustakaan sedang cukup ramai dan Tamara tidak ingin sampai seseorang mendengar obrolan mereka.
“Mengingatkan?” Gigih tersenyum. “Tentang apa? Apakah aku melupakan sesuatu?”