Ujian tengah semester selesai sekitar seminggu yang lalu. Satu per satu daftar nilai mulai dipajang di dinding ratapan yang ada di sepanjang lorong yang menghubungkan gedung kelas reguler dengan deretan ruang guru. Tidak ada satu pun siswa-siswi yang tidak menyempatkan menepi setiap melewati lorong itu, termasuk Tamara. Hal seperti ini menjadi salah satu perubahan besar baginya, sebab nilai ujian bisa dibilang sesuatu yang amat dirahasiakan ketika dulu masih berstatus siswi kelas internasional. Bertanya nilai kepada teman bisa menjadi pemicu putusnya pertemanan dan kini beramai-ramai, Tamara menyaksikan nilainya dipajang bersama dengan nilai ratusan siswa-siswi lain.
Gigih bekerja keras menghadapi ujian tengah semester kali ini hingga berhasil meraih peringkat tiga besar seangkatan, sekaligus menjadi satu-satunya siswa kelas IPS reguler yang menempati daftar sepuluh besar terbaik di angkatannya dan otomatis menjadi yang terbaik di kelas. Gigih nyaris mendapat nilai sempurna di setiap mata pelajaran. Nyaris, sebab nilai ujian bahasa Inggrisnya sangat buruk. Sementara itu, Tamara terpaksa puas dengan posisinya kali ini, bertengger tepat satu angka di atas Gigih setelah berhasil dikahkan Joanne, mantan teman sekelasnya.
Pada jam istirahat pertama, Gigih bermaksud menyerahkan berkas revisi LPJ penyelenggaraan olimpiade olahraga. Dia terpaksa berhadapan dengan kerumunan siswa-siswi yang masih belum bosan memandangi nilai mereka terpajang di dinding ratapan. Ketika berusaha mencari celah untuk terbebas dari kerumunan, Gigih tidak sengaja menabrak seorang siswi yang kebetulan berjalan di sisi kanan dari arah berlawanan. Selang sedetik matanya bertemu dengan mata gadis yang sejak satu bulan yang lalu dia abaikan, Gigih bergegas berlalu.
Satu bulan mengabaikan Tamara seharusnya bukan sesuatu yang mudah. Terlebih selama itu pula hubungannya dengan Bono, Tio, terutama Arman kian renggang mengingat pertengkaran kecil mereka. Dengan bantuan segudang kesibukan dan tanggung jawab yang bertengger di kedua pundaknya, Gigih berhasil melalui masa-masa yang tenang dan membuatnya terlampau kesepian.
“Baiklah, kita cukupkan rapatnya sampai di sini.”
Gigih menutup rapat persiapan hari Kartini dan acara kelulusan kelas XII lebih awal dari yang dijadwalkan. Dia merasa kurang sehat selepas beberapa hari selalu tidur lewat tengah malam karena mengurusi hal-hal terkait kepanitiaan olimpiade olahraga dan urusan OSIS.
“Gih, bisa bicara empat mata sebentar?”
Bella menghampiri Gigih yang masih berkutat dengan buku catatannya setelah memastikan hanya tinggal dirinya berdua dengan Gigih di ruang OSIS.
“Kayaknya tidak bisa deh, Bel.” Gigih melepaskan pandangan dari buku catatan yang terbentang di hadapannya. “Aku mau segera pulang dan menyelesaikan—“
“Oke, aku tidak menerima penolakan.”
Bella menarik kursi di dekat kursi Gigih lalu menutup buku catatan bersampul hitam Gigih sebelum seluruh konsentrasi lelaki itu kembali terfokus ke sana.
“Aku tidak bisa lagi menunda-nunda untuk membahas tentang hal penting ini.” Bella menghela napas panjang. "Kamu sudah mengabaikan Tamara selama hampir satu bulan, Gih. Sa-tu bu-lan! Mau sampai kapan? Satu tahun? Sampai kita lulus?”
Gigih tidak menyangka Bella akan mengungkit masalah antara dirinya dan Tamara, seperti Bono yang tidak pernah bosan mempertanyakan apakah lelaki jangkung itu benar-benar menyerah atau tidak. Dan hingga saat ini, Gigih masih belum bisa menjawab pertanyaan sederhana yang hanya sebatas ya dan tidak itu.
“Gih, memangnya Tamara salah apa sampai-sampai kamu mengabaikan dia seperti ini?”
“Aku mengabaikan dia atau tidak, itu tidak berarti apa-apa. Aku ini bukan kamu, atau Renata, Kak Amelia, apalagi Kak Ridwan. Aku... Aku hanya Gigih.” Jemari Gigih terjalin di atas meja. “Sekaligus orang yang menyandang status sebagai bukan siapa-siapa-nya Tamara.”
Bella buru-buru menahan tangan Gigih yang diam-diam hendak membuka kembali buku catatannya.
“Bukan siapa-siapa?” Nada bicara Bella spontan meninggi. “Kamu pikir aku tau masalah ini dari siapa? Dari peramal? Atau kamu pikir aku bisa membaca pikiran Tamara?”
Gigih mengangkat bahu.
“Aku tau karena Tamara cerita ke aku dan Renata. Kamu tau apa artinya?”
Gigih membalas dengan deheman pelan, merasa tidak terlalu bersemangat dan antusias.
“Itu artinya Tamara terusik. Tamara tidak suka. Itu artinya kamu penting untuk Tamara.”
“Ya, karena dia perlu mengorek lebih banyak informasi tentangku untuk diberikan pada Pak Anton.”
Bella mengangkat kedua tangan dan membiarkannya menghantam meja. Butuh beberapa saat sampai gadis itu teringat dengan kata-kata yang pernah Tamara sampaikan padanya di kantin.
“Kamu yakin tidak salah dengar?”
Gigih menceritakan apa yang dia dengar. Sangat rinci sampai menirukan nada bicara Pak Anton ketika berdialog. Jika bukan karena raut mengiba yang menghiasi wajah Gigih, Bella mungkin akan kelepasan tertawa terpingkal-pingkal hingga perutnya sakit sebab Gigih berhasil menirukan gelagat Pak Anton dengan sangat baik.
“Aku tidak suka seseorang menceritakan masalah yang kuhadapi kepada orang lain tanpa seizin dariku dan itulah yang Tamara lakukan.” Gigih membenamkan wajahnya di balik telapak tangan. “Dia membantuku, menanyakan ini dan itu, meminta pendapatku, bahkan tanpa kusadari dengan lihai menyentuh sedikit demi sedikit hal-hal pribadi dan aku membiarkannya. Dia melakukan semua hal mustahil itu kepadaku. Seharusnya aku sadar, dia melakukannya untuk alasan tertentu.”
Bella menopang kepala dengan sebelah tangan. Kedua matanya yang berbinar-binar dan tidak sedetik pun berpaling berhasil membuat Gigih salah tingkah.
“Kamu...” Bella terkekeh pelan, “suka ya sama Tamara?”
“Sekarang kamu mengalihkan pembicaraan?” tanya Gigih dengan suara bergetar.
“Semakin kamu mengelak, akan terlihat bahwa perasaanmu itu sudah terlampau dalam, Gih.”
Bella melipat tangan, berlagak seperti seorang profesional yang tengah bersikukuh dengan kliennya.
“Pak Anton memang pernah meminta Tamara untuk membantumu juga mencaritau lebih banyak tentang keluargamu. Itu adalah sebuah fakta yang kurasa perlu kamu tau. Dan—” Bella sudah lebih dulu mengacungkan telunjuk sebelum Gigih sempat menyela ucapannya. “—ada satu fakta tidak terbantahkan yang perlu kamu tau. Tamara sangat pandai menjaga privasi dan rahasia orang lain. Waktu kelas sepuluh, ada teman sekelasnya yang meminta nomorku dari Tamara. Apakah Tamara langsung memberikan nomorku pada orang itu? Tidak. Tamara meminta izin dulu kepadaku.”
“Itu karena kamu adalah teman—”
Waktu seakan terhenti untuk sesaat. Ruangan sempit yang tampak remang-remang oleh cahaya senja dan penuh sesak dengan tumpukan kertas seakan menjelma mesin waktu, membawa Gigih pada momen-momen yang sempat dilupakan akal sehatnya. Kasus korupsi Mita saat SMP, konflik antara Mita dan Renata, dan kejadian di perpustakaan ketika Tamara menuliskan pesan pada secarik kertas untuknya.
“Mungkinkah... kamu salah mengartikan semua kebaikan Tamara sebagai tanda dia juga ada rasa padamu?”
Pertanyaan Bella berhasil menyadarkan Gigih bahwa sejak awal kekecewaannya bermula dari ekspektasi berlebihan yang dia ciptakan sendiri. Rasa kecewa yang terlampau besar membuatnya secara tidak sadar menyalahkan Tamara seolah gadis itu benar-benar menyakitinya.
“Gigih, Tamara itu berbeda dari kebanyakan perempuan. Dia tidak akan menunjukan obsesi atau rasa suka terhadap seseorang dan kamu tidak bisa berharap Tamara melakukannya karena itu sama saja seperti berharap hujan salju turun di tengah negara tropis. Sia-sia.”